41. Sebuah Maaf

316 21 0
                                    

"Udah selesai?"

Tubuh Alvin menegang saat telinganya mendengar suara tepat di belakangnya. Bulu kuduknya otomatis langsung berdiri ditambah keringat dingin yang mendadak mengucur dengan sangat deras. Punggungnya sudah sangat basah terkena keringat upacara pagi tadi dan ditambah rasa gugup karena mendapat pertanyaan barusan. Pak Yadi sudah berada di sebelahnya melihat buku tulisnya yang belum terisi apapun.

"Sudah pak, seperti ini ya?"

Alvin yang semula kesulitan bernapas, akhirnya bisa dengan mudah bernapas. Dia meneguk ludahnya mencoba menenangkan diri. Berkat Rio dia terhindar dari ceramahan pedas oleh sang guru fisikanya itu. Dia melihat catatan Rio yang disodorkan kepada pak Yadi. Sudah ada banyak catatan di lembaran tersebut.

"Iya ini sudah bagus, lanjutkan saja dulu nanti kamu maju nomor satu ya," ujar pak Yadi dengan wajah bangga. Akhirnya setelah berkeliling kelas ada juga yang bisa mengerjakan soal latihan darinya. Dia memandang buku lainnya yang masih kosong, "siapa nama kamu?" tanya pak Yadi pada Alvin.

"Alvin pak," jawab Alvin yang terdengar mencicit layaknya tikus terjepit. Itu karena dia kembali gugup. Takut kalau ditunjuk dan diminta mengerjakan soal yang tidak ia mengerti satupun. Rio tidak bisa membantunya kali ini. Dia harap kali ini Tuhan yang membantunya.

"Kalau kamu?" tanya pak Yadi, kali ini pada Rio yang sudah akan fokus mengerjakan nomor lainnya.

"Rio pak," jawab Rio.

"Minta tolong sama Rio buat ngajarin, nanti kamu maju nomor dua. Rio ajari Alvin ya, jangan diconteki tapi diajari biar paham," pesan pak Yadi dan diangguki keduanya. Lantas pak Yadi kembali berkeliling. Tentu saja kali ini bangku Jofan dan Arghi yang akan diteliti. Keduanya bahkan sudah duduk dengan punggung membeku. Sangat gugup karena keduanya sama-sama tidak ada yang bisa diandalkan. Alvin sangat beruntung bisa duduk dengan Rio yang memiliki otak cemerlang. Jadi, saat ada hal mendesak seperti ini bisa memanfaatkan Rio.

Rio diam sejenak dan mulai fokus mengerjakan. Sementara Alvin sudah gugup karena harus maju nomor dua. Dia sangat malu untuk meminta tolong pada Rio. Tapi, dia takut kalau nantinya sampai akhir Rio tidak juga mengerjakan soal nomor dua untuknya. Aish, bagaimana ini?

"Yo, kamu bisa ngerjain nomor tiga?" tanya Jofan. Dia berbalik memandang Rio membuat si empu mendongak dan mengangguk. Dia sudah selesai sampai soal nomor tujuh, kurang tiga nomor lagi untuk menyelesaikan tugas tersebut. Jadi, ia bisa mengajari Jofan.

"Bentar," ujar Rio menuntaskan jawaban nomor tujuh. Dia lantas menyingkirkan buku tulisnya untuk mengajari Jofan yang sudah siap dengan alat tulisnya.

Diam-diam Arghi dan Alvin memerhatikan Rio dan Jofan. Arghi juga mendapat jatah nomor empat, ia juga diminta bertanya pada Rio kalau kesulitan. Justru kesulitannya yang sebenarnya adalah bertanya pada Rio. Lagipula kenapa dia harus mengambek tidak jelas seperti sekarang sih? Kalau dia bersikap biasa saja pagi ini kan tidak perlu pusing memikirkan cara untuk menanyakan jawaban atas tugasnya.

"Oh gini, makasih ya Yo. Aku hitung dulu, nanti dikoreksi ya jumlahnya," ujar Jofan dengan perasaan senang setelah mendapat penjelasan dari soal nomor tiga. Rio menjelaskan maksud soal cerita dan memintanya menyamakan dengan keterangan yang seharusnya. Lantas mencari rumus yang tadi sempat dijabarkan pak Yadi dan bagusnya ia selalu menulis apa yang ada di papan tulis. Jadi, tidak kesulitan mengerjakan tugas. Hanya perlu pencerahan atas soal cerita.

"Iya sama-sama," ujar Rio dan sudah akan membuka buku tulisnya. Namun, Alvin mencicit.

"Yo minta tolong ajarin," pinta Alvin dan diangguki Arghi. Dua orang yang pagi ini menunjukan wajah sebal padanya sekarang tengah menatapnya memohon. Rio memutar bola matanya kesal namun, segera menutup kembali buku tulisnya untuk menjelaskan kepada Alvin.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang