44. 10 Mipa-2

283 23 0
                                    

Setengah jam berlalu diisi dengan suara deru napas kedua remaja di lapangan indoor. Sudah tidak ada lagi isak tangis, Jofan hanya diam. Dia bahkan tak memerontak padahal kedua tangannya masih setia di cekal oleh Rio. Rio yang merasa pegal karena terlalu lama berdiri, akhirnya beranjak duduk. Kedua tangannya masih setia mencekal tangan Jofan. Matanya bahkan terus tertuju pada lengan Jofan. Luka yang beberapa menit lalu terbentuk itu masih memerah dan mengeluarkan darah segar, beberapa bagian terdapat darah yang sudah mengering.

"Udah, Yo. Aku nggak akan berontak lagi," pinta Jofan lirih. Rio tidak percaya dan tetap bertahan untuk mencekal pergelangan tangan Jofan membuat Jofan terkekeh, "serius udahan," tanggap Jofan meyakinkan. Rio lantas melepas cekalan tangannya. Membiarkan Jofan bebas dan bisa meregangkan tangannya.

"Makasih, Yo..." ungkap Jofan terdengar begitu tulus. Rio menatap Jofan merasa tidak mengerti ucapan itu untuk apa. Jofan kembali tersenyum melihat wajah cengo seorang Rio, "makasih nggak jijik sama aku, bahkan mau nahan aku yang hilang kendali," jelas Jofan dan hanya diangguki Rio.

"Jijik buat apa? Sama-sama manusia, kecuali kamu buat salah sama aku, mungkin aku males nemenin kamu bolos," jawab Rio membuat Jofan tertawa. Padahal yang mengajak bolos itu Rio. Tetapi, biarkan saja anggap dia yang membawa pengaruh buruk kepada Rio.

"Mau bolos sampe akhir?" tanya Jofan menawarkan. Rio terkekeh dan hanya bisa geleng-geleng kepala dengan ide gila itu.

"Kamu udah kena blacklist satu guru, mau kena blacklist guru lainnya?" ledek Rio membuat Jofan tertawa. Rio mengulas senyum, "makanya kalau ada masalah cerita, bukan diem aja. Nggak bisa apa-apa kan kalau sendiri," ujar Rio menasehati bak seorang ayah.

Jofan manggut-manggut saja, membiarkan Rio mengomelinya. Akhirnya Jofan merasakan bagaimana menjadi Alvin dan Arghi saat Rio mengomel dengan bahasanya yang terdengar sangat dewasa. Tetapi, anehnya Rio selalu mengomel seperti berbicara pada anak kecil. Padahal usia mereka sama saja.

"Rio hobi banget ngomel, nggak capek apa," gumam Jofan. Rio yang mendengar itu mendelik galak tidak akan membiarkan Jofan terbebas dari omelannya.

"Makanya kalau nggak mau diomeli jangan buat masalah! Pake ngajak bolos, dasar," decak Rio. Jofan tertawa mendengar omelan Rio yang terasa tak ada ujungnya. Tetapi, dia senang mendengar omelan Rio yang menunjukkan betapa dia dipedulikan sebagai manusia. Dia tidak pernah mendapat nasihat sebanyak ini sejak orang tuanya bercerai.

Sejak datang ke Indonesia empat tahun lalu, Jofan sekalipun tak pernah diomeli. Berkat Rio dia kembali merasakan kehangatan ucapan seseorang yang peduli padanya. Bahkan setelah empat tahun memendam kisahnya perlahan dia mulai terbuka kepada seorang Rio. Dengan keluarga pamannya dia tidak bisa melakukan itu.

Baginya hidup di keluarga orang lain saja sudah sangat beban. Apalagi kalau harus mengeluh tentang banyak hal sampai minta diperhatikan. Secara perlahan Jofan juga merasa dia tidak boleh bergantung pada sepupunya untuk pergi ke sekolah. Dia mungkin bisa mulai naik angkot atau menabung untuk membeli motor sendiri.

"Ngelamun terus! Ayo ke kelas!" ajak Rio melihat Jofan malah melamun di kursinya. Jofan tersentak dan sadar dari lamunannya lantas ikut bangkit dan melangkah keluar dari lapangan indoor.

Mereka berjalan bersama diselingi percakapan ringan. Sekali lagi, Jofan meminta agar Rio tidak mengatakan kejadian ini kepada siapapun, termasuk Alvin dan Arghi. Rio tentu saja setuju dan akan menutup cerita hari ini dengan syarat Jofan selalu menceritakan apapun yang ia alami agar tidak sendirian menghadapi para perundung.

"Bolos nggak ajak-ajak," protes Arghi saat melihat dua batang hidung kedua temannya itu. Rio duduk di kursinya dan melihat Alvin yang menulis di bukunya. Jofan melempar cengiran pada Arghi sebelum duduk.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang