Rio sudah keluar kelas untuk pergi latihan silat. Arghi juga tengah berjalan menuju lapangan untuk menonton Rio berlatih silat. Dia tidak mau pulang sendiri menggunakan angkot, lebih baik menunggu Rio selesai latihan dan pulang bersama. Dia duduk bersila di pinggir lapangan dan tatapannya tertuju pada Rio yang baru saja selesai berganti baju.
Rio tampak mengernyit melihat Arghi yang duduk di pinggir lapangan. Seolah menanyakan apa yang laki-laki itu lakukan di pinggir lapangan. Arghi mengedikkan bahu sebagai jawaban dan bersin merasa silau matahari. Dia seorang yang memiliki photic sneeze reflex. Akan bersin berkali-kali saat merasa silau akan cahaya matahari yang begitu terang.
Rio berlari menghampirinya karena latihan memang belum dimulai. Berdiri di depan Arghi dan secara tidak langsung menutupi sinar matahari dari Arghi. Arghi berhenti bersin dan mendongak menatap Rio.
"Ngapain di sini?" tanya Rio merasa heran.
"Ya nungguin kamu lah, motorku kan belum diambil dari bengkel," jawab Arghi dengan bersungut. Rio bergeser membuat Arghi segera bersin. Melihat itu Rio kembali menutup Arghi dengan tubuhnya.
"Kenapa bersin-bersin?" tanya Rio begitu penasaran. Padahal dia rasa udara hari ini tidak cukup buruk untuk pernapasan. Arghi mengusap hidungnya.
"Photic sneeze reflex," ujarnya membuat Rio mengernyit baru mendengar hal semacam itu.
"Emang manusia langka," gumam Rio membuat Arghi memutar bola matanya. Tidak terima dikatakan Rio tapi enggan memperpanjang.
"Tuh mulai latihannya!" tunjuk Arghi melihat beberapa anak sudah berbaris. Rio berbalik dan pergi membuat sinar matahari membuatnya kembali bersin-bersin. Merasa tidak bisa menutup paparan matahari, Arghi akhirnya menyerah dan berjalan ke gedung. Dia duduk di depan kelas. Bernaung di atap gedung demi menghindari paparan matahari.
"Belum pulang, Ar?" pertanyaan itu membuat Arghi terkejut. Itu adalah Jofan, dia tampak masih menggunakan hodie putihnya dan duduk di sebelah Arghi. Menatap lapangan tempat Rio memulai pemanasan bersama yang lain.
"Iya, nungguin Rio," jawabnya. Dia mengernyit heran, kenapa Jofan belum pulang? Dia ragu untuk menanyakannya tapi tatapan herannya disadari oleh Jofan yang menoleh membalas tatapannya, "kamu sendiri kok belum pulang?" tanya Arghi akhirnya.
"Iya, sepupuku belum pulang. Satu jam lagi baru pulang, tadi ketinggalan angkot juga," jawab Jofan dengan senyumannya yang tipis. Mereka akhirnya menonton Rio yang tengah berlatih silat.
Tubuh kekar Rio jelas tampak hebat memperagakan tendangan, pukulan, elakan, dan hindaran. Semua gerakan tampak bagus saat diperagakan olehnya. Seolah tubuh itu memang diciptakan untuk menjadi seorang pendekar.
"Oh!" pekik Arghi melihat seorang siswi lewat di seberang lapangan. Tampak berdua bersama temannya dan mengobrol dengan asik. Dia menggunakan kaca mata. Berbeda dengan penampilan yang ia lihat biasanya.
Jofan menoleh menatap Arghi yang baru saja memekik. Penasaran dengan apa yang terjadi sampai-sampai membuat Arghi memekik begitu keras. Arghi yang sadar tengah ditatap Rio tertawa garing.
"Mau lihat cewek yang disukai Rio nggak?" tanya Arghi dengan mode rumpinya. Jofan mengangkat alisnya penasaran. Arghi semangat melihat wajah antusiasme Jofan, "lihat tuh! Yang pake kacamata. Cantik kan?" telunjuk Arghi mengarah pada dua orang gadis yang berjalan di sisi lapangan.
Jofan mengangguk melihat gadis berkacamata tersebut. Dia kembali menatap Arghi yang rupanya masih terpaku melihat gadis tersebut dengan senyumannya. Jofan ikut tersenyum, "kamu suka dia juga?"
"Hah? Enggak lah. Ya kali seleraku sama kayak Rio," elaknya namun tidak membuat Jofan percaya. Lelaki itu justru manggut-manggut dengan wajah masih menggoda. Arghi berdecak melihat wajah jahil itu, "ah bodo amat kalau nggak percaya. Awas aja kalau gosipin aku bareng Rio," omelnya dengan wajah merengut lucu.
Jofan tertawa melihat itu. Senang sekali menggoda Arghi. Pantas saja Rio sering menggoda laki-laki dengan pipi tembam ini. Meskipun tampak menjijikan melihat wajah ngambek Arghi tetapi, perasaan puas saat membuatnya ngambek benar-benar melegakan. Seperti baru buang air besar di pagi hari.
"Aku duluan ya, udah ditunggu sepupu di depan," pamit Jofan dan beranjak pergi ke gerbang meninggalkan Arghi yang menjadi duduk sendirian. Dia merasa bosan dan memutuskan bermain game di ponselnya.
Ekor matanya manangkap Sila yang berjalan mendekat padanya. Kali ini dengan seorang siswa laki-laki yang mungkin seorang kakak kelas. Dia lewat di belakang Arghi membuat Arghi menoleh begitu mereka sudah melewatinya. Tangannya cekatan mengambil foto seorang Sila dari belakang. Wajahnya tersenyum puas melihat hasil jepretannya yang nampak bagus. Lantas dia mengirimkannya pada Rio.
["Yah ketikung kakak kelas."]
Begitu isi pesannya. Jelas tidak mendapat balasan dari sang empu hp. Orangnya tengah latihan di lapangan berumput, tidak sadar pujaan hatinya baru saja melewatinya dua kali. Arghi tertawa membayangkan wajah memerah Rio begitu melihat isi chatnya.
***
Latihan silat hari itu selesai sampai pukul enam. Hanya dua jam latihan namun tampak begitu menguras tenaga. Dapat dilihat tubuh Rio banjir keringat. Ah melihat itu membuat Arghi sungguh iri dengan tubuh atletis itu. Andai dia memilikinya, dia akan sangat percaya diri berganti baju di parkiran seperti yang dilakukan Rio sekarang.
Lihatlah! Tanpa tahu malu Rio mengganti kaus olahraganya dengan seragam kotak-kotaknya di parkiran sekolah yang masih ramai. Mungkin merasa gerah memakai seragam yang basah oleh keringat. Dia menyimpan kaus tersebut di ranselnya membuat Arghi geleng-geleng kepala.
"Dasar jorok!" gumamnya tidak membuat Rio berubah pikiran. Dia naik ke motor dan memasang helm. Menyerahkan satu helm lainnya pada Arghi dan membiarkan kawannya itu naik ke boncengan.
Dia menyalakan mesin motornya dan siap melaju. Arghi mengingatkan Rio untuk mampir ke bengkel. Dia bahkan mengancam Rio akan seterusnya nebeng kalau Rio tak menghentikan motornya di bengkel.
Begitu sampai Arghi membayarkan jumlahnya dan menstater motornya. Tidak mau kalau harus mogok di tengah jalan. Hampir lima menit motornya stabil dia akhirnya pulang diikuti Rio. Rio tidak meninggalkannya membuatnya tahu bahwa laki-laki itu menangkap kegelisahannya tentang motornya akan mogok di tengah jalan.
"Makasih, Yo!" ujar Arghi dan mengklakson Rio. Dia masih harus lurus menuju rumahnya sedangkan Rio berbelok masuk ke pekarangan rumahnya. Rio membunyikan klakson sebagai balasan.
Ah, Rio memang lelaki baik, meskipun kadang menyebalkan beberapa kali Rio memperlakukannya dengan baik. Sudah tampan, tubuhnya sehat, pandai olahraga, baik hati pula. Memikirkan itu semua membuat Arghi hanya gigit jari mengingat tuduhan Jofan satu jam lalu.
Meskipun dia menyukai Sila sekalipun, gadis itu jelas akan lebih memilih Rio yang sudah menjadi idaman para siswi di sekolahnya. Berbeda dengannya yang terkenal karena ketololannya di hari pertamaa sekolah dengan memakai helm sampai di ruang kelas. Pikiran negatif itu membuat Arghi diam-diam menanyakan apakah Sila melihatnya di hari pertama ia sekolah? Arghi berharap gadis itu benar-benar tidak melihatnya sehingga dia tidak perlu menanggung malu saat bertemu kembali dengannya.
Arghi masuk ke dalam rumahnya setelah memarkir motornya di garasi. Rumahnya masih gelap. Entah kemana orang di rumahnya, Arghi enggan peduli.
"Kak Arghi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Fiksi RemajaBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...