50. Sahabat

250 22 0
                                    

Keempat remaja tersebut segera asik bersenda gurau di lesehan salah satu angkringan di dekat alun-alun Jogja. Mereka telah menghabiskan makan malam dan memilih mengobrol santai ditemani wedang ronde dan mendoan yang baru keluar dari penggorengan. Sesekali obrolan terhenti karena tanpa sadar mereka serentak menikmati suasana di alun-alun kota.

"Jadi serius nih kalian berdua nggak ada rencana cerita? Nggak anggap aku temen nih?" tanya Alvin saat ketiga temannya tampak menikmati suasana alun-alun. Meskipun sejak pulang sekolah dia tak mengatakan apa-apa namun, sebenarnya dia sungguh penasaran dengan yang terjadi siang tadi di kantin.

"Jofan yang punya cerita," jawab Rio saat Alvin justru menatapnya dengan tatapan yang menuntut. Pandangan Alvin segera beralih pada Jofan yang kini tengah menatap Rio. Ah, drama tatap-tatapan benar-benar membuat Alvin hilang rasa sabarnya.

"Ayo dong cerita," tuntut Arghi yang ikut merasa gemas dengan tingkah kedua temannya.

"Em, tapi jangan ada yang ember ya mulutnya. Bahkan kalau muak denger cerit–..."

"Belum cerita masa udah muak. Ayo dong, nggak sabar nih," pungkas Arghi makin tak sabaran. Jofan menarik napas dan mulai membuangnya secara perlahan. Dia lantas mulai menceritakan tentang kehidupan masa SMP-nya bahkan sampai kejadian di toilet SMA yang tidak secara detail ia ceritakan. Dia juga mengatakan bahwa menderita self-harm. Arghi terlihat tidak percaya apalagi saat Jofan dengan wajah tegang menunjukkan lengannya yang memiliki bekas seperti cakaran.

Dalam gelap, Alvin dan Arghi memperhatikan tangan Jofan. Mencoba melihat dengan jelas bekas luka di lengan teman mereka. Sampai kemudian Rio menyalakan lampu senter dari ponselnya, agar memudahkan keduanya melihat itu semua. Alvin mendelik melihat luka tersebut dengan jelas, Arghi terpaku menatap banyaknya bekas luka di lengan teman sebangkunya. Dia yang selama ini buta atau memang luka tersebut ditutupi Jofan dengan rapi?

"Jadi, kamu suka gambar karena ini?" tanya Alvin masih dengan wajah syok. Sama seperti saat Rio pertama kali tahu tentang Jofan. Jofan hanya mengangguk singkat dengan senyum tipisnya. Alvin menelan ludahnya, "dan tadi yang di kantin itu..."

"Kita jauhin Jofan dari mereka. Kalau bisa hapus isi ponsel mereka karena bisa kapan aja mereka share video itu," potong Rio. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membuat Jofan tenang. Setidaknya vidio itu jangan sampai tersebar lebih jauh lagi.

"Bener. Tapi, kenapa nggak kita laporin mereka ke guru atau ke kantor polisi aja sekalian," usul Arghi. Hanya ada ide itu yang terlintas di otaknya.

"Video itu bukan cuma mereka yang punya. Jelas ada beberapa orang yang belum kita kenal menyimpan video itu. Kalau kita lapor ke guru bisa aja mereka share video itu lewat orang lain. Kadang, pengadilan di Indonesia nggak bisa memberi rasa aman buat korban," jelas Rio. Alvin dan Arghi seperti baru diciprati air dari sumber mata air langsung dan merasa begitu segar. Pikiran mereka segera mengerti alasan Jofan dan Rio hanya diam saja.

"Kamu, nggak cerita sama keluarga kamu, Jo?" tanya Arghi ragu-ragu. Rio menatap Arghi dalam membuat remaja berisi itu menatap Rio balik dengan gugup. Rio diam saja membiarkan Arghi berbicara.

"Em, nggak mungkin aku bebanin keluarga paman aku. Bahkan dikasih tempat aja udah bersyukur. Kadang mama-papa suka kirim uang tapi nggak pasti. Itu yang buat aku nggak bisa banyak bebanin mereka. Orang tua aku aja sibuk ngurus keluarga baru mereka, masa aku malah rusuh di keluarga orang lain," jawab Jofan. Wajahnya sendu membuat Arghi paham rasanya.

Ternyata bukan hanya dia yang mengalami kehidupan sulit. Jofan yang selalu tersenyum dan merespon candaannya juga memiliki kesulitan hidup di dunia ini. Arghi seketika merasa hidupnya beruntung. Setidaknya dia ada Rio yang keluarganya mau menerimanya dengan kisah sulitnya. Tetapi, Jofan bahkan tidak tinggal dengan orang tuanya.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang