"Rio yang salah."
Setelah cukup lama diam, akhirnya Arghi bersuara. Pernyataan darinya itu cukup membuat pak Iwan, yang merupakan guru bk kelas 12 terkejut. Nama yang tidak asing diseret dalam masalah hari ini. Tentu saja ada rasa tidak percaya, tapi pak Iwan harus bisa bersikap netral.
"Rio? Apa yang dia lakukan?" tanya pak Iwan mencoba setenang mungkin menghadapi Arghi yang tampak kalut. Remaja berkacamata itu terus saja tertunduk dengan keringat bercucuran membasahi wajahnya. Bahkan deru napasnya terdengar tidak stabil.
"Gara-gara Rio, Jofan sampai pingsan pak! Dia ngerisak Jofan di kantin sekolah. Rio yang harusnya bapak interogasi, bukan saya!" geram Arghi dengan suaranya yang bergetar dan sumbang. Pak Iwan bimbang harus mempercayai ucapan Arghi atau spekulasinya sendiri. Sementara belum ada kabar apakah Jofan masih pingsan atau sudah siuman.
"Baiklah, tenangkan diri kamu. Bapak akan panggil Rio ke sini," pamit pak Iwan dan meninggalkan Arghi di ruang bk sendirian. Arghi mengusap wajahnya. Dia ingin melihat Jofan sekarang, tapi rasanya tidak sanggup. Setelah melihat Jofan yang kambuh sendirian, dia menjadi takut. Takut tidak bisa bersikap biasa di hadapan Jofan.
Beberapa saat kemudian, pak Iwan datang bersama dengan Rio di belakangnya. Awalnya Arghi hanya melirik sekilas kehadiran Rio, tapi kemudian dia menoleh cepat saat sadar ada siswa lain yang masuk, "Jo..." gumam Arghi dan memandang tidak percaya pada Jofan. Jofan menoleh dan mengulas senyum tipis. Sementara Rio sudah duduk di kursi lain membuat Arghi berdecak. Hanya ada dua kursi dan tanpa perasaan Rio duduk tanpa menghiraukan Jofan yang baru saja siuman.
"Sini, Jo!" ujar Arghi dan segera berdiri untuk memberikan tempat duduknya kepada Jofan. Jofan tidak menolak dan segera duduk. Membiarkan Arghi berdiri di sisinya.
"Jadi, alasan bapak memanggil Rio kemari karena mendapat laporan kala-...."
"Siapa yang ngelapor?" pungkas Rio dan bersandar di kursinya. Memandang lekat pada sang guru yang tampak terkejut atas pungkasannya. Pak Iwan tidak pernah bersinggungan secara langsung dengan Rio, dia jadi tidak tahu kalau Rio setegas ini. Bahkan dia yang seorang guru merasa tertekan dengan Rio, "kalau laporan itu dari mereka, saya keluar sekarang. Karena itu masalah pribadi dan sudah saya anggap selesai," ujar Rio karena pak Iwan tetap tak bersuara.
"Begini, baru saja nak Jofan pingsan di halaman belakang. Ada banyak luka di tangannya dan ada Arghi di tempat itu. Setelah itu nak Arghi bersaksi kalau nak Rio yang bersalah. Apa benar kalau nak Rio meris-...."
"Buktinya mana?" tukas Rio membuat pak Iwan gagap seketika. Jofan dan Arghi hanya bisa diam. Jofan yang masih sedikit pusing sementara Arghi yang panik. Dia takut kalau nantinya pak Iwan memihak kepada Rio. Terlebih dia hanya asal menyebut Rio sebagai pelaku.
"Kalau saya bilang, saya pernah dipukul orang tua Arghi, bapak percaya? Atau Jofan yang dilecehkan oleh laki-laki, apa bapak bisa langsung percaya?" tanya Rio membuat baik Arghi atau Jofan membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin Rio membahas rahasia mereka di depan guru bk. Pak Iwan diam seribu bahas, bingung harus menjawab apa. Rio menegakkan punggungnya, "nggak percaya kan? Karena nggak ada bukti. Jadi, apa bedanya sama omongan Arghi? Kalau mau menuduh orang, setidaknya siapkan bukti."
"Bacot! Kenyataannya kamu kan yang bully Jofan di kantin? Semua lihat dan Jofan yang merasakan. Lihat!" Arghi menarik lengan Jofan secara paksa membuat sang empu meringis kesakitan tapi hanya bisa pasrah. Arghi memperlihatkan luka cakaran yang sudah bersih dari darah kepada Rio, "gara-gara kamu, Jofan luka!"
"Bagaimana maksudnya?" pak Iwan mengintrupsi. Situasi saat ini sama sekali tidak dapat dipahami olehnya. Rio diam saja melihat Arghi yang berdiri sembari menunjuk-nunjuk ke arahnya dengan menggebu-gebu. Pak Iwan memandang Rio, "Rio?" tanya pak Iwan meminta penjelasan dari Rio yang memandangnya sebentar.
"Dia ganggu makan siang saya pak, wajar saya usir. Kalau masalah dia luka itu bukan urusan saya dan tidak ada hubungannya dengan masalah di kantin," jelas Rio akhirnya. Arghi sudah hendak menghantam kepala Rio dengan buku milik pak Iwan yang tergeletak di atas meja, tapi Jofan dengan cekatan menghalanginya.
"Jofan, siapa yang lukai kamu?" tanya pak Iwan memandang serius pada anak muridnya yang berwajah pucat. Di tahun pertama Jofan masuk SMA, pak Iwan sudah sering mendengar keanehan Jofan. Banyak guru yang mengeluh tentang betapa aneh tingkah Jofan di kelas. Sering melamun, sibuk menggambar di buku tulis, bahkan melanggar tata tertib sekolah, salah satunya mengenakan hodie saat pembelajaran dilaksanakan.
"Saya sendiri pak, bukan salah siapa-siapa. Rio dan Arghi sama sekali tidak bersalah," jawab Jofan dengan suara lirih. Tenggorokannya sakit karena menangis cukup lama. Kalau dipikir itu kejadian paling memalukan. Dia menangis seperti orang sinting di depan Arghi dan berakhir di ruang uks. Bahkan Arghi yang ada di sekitarnya harus terlibat dan masuk ke ruang bk.
"Kenapa kamu lukai tang-...."
"Saya kira permasalahan saya sudah selesai, bel masuk sudah berbunyi, saya harus masuk kelas," pungkas Rio dan berpamitan masuk ke kelas. Pak Iwan mengizinkan karena Jofan telah menjelaskan bahwa tidak ada yang terlibat.
Sepergian Rio, ruang bk menjadi senyap. Jofan menelan ludahnya merasa cemas kalau Pak Iwan memaksanya menjelaskan luka-luka di tangannya. Arghi yang duduk di sebelah Jofan juga menjadi cemas dan gugup. Dia seharusnya tidak menyeret nama Rio. Remaja seusianya itu sangat menakutkan kalau sedang serius. Bahkan guru di depannya tidak bisa berkutik dengan ucapan logis dari Rio. Sekarang, dia harus terjebak dengan Jofan di ruang bk karena luka-luka di tangan Jofan.
Jofan dan Arghi keluar dari ruang bk setelah melalui pembicaraan yang panjang. Mereka harus berbohong dengan saling menimpali satu sama lain. Membuat Pak Iwan curiga namun akhirnya membiarkan dua siswanya itu keluar untuk mengikuti jam pelajaran.
Jofan melangkah dengan lesu. Arghi berjalan di depan Jofan. Melangkah dengan pikiran berkelana jauh dan rasa penyesalan yang membuatnya bungkam. Di ingin meminta maaf pada Jofan, tapi rasanya lidahnya kelu sampai tak mampu berucap. Bahkan sampai di ruang kelas, keduanya tak mengeluarkan sepatah katapun. Jofan duduk di kursinya dan begitu juga dengan Arghi. Mereka mengikuti pembelajaran dalam diam tanpa berinteraksi.
Sampai jam pelajaran selesai dan bel pulang sekolah terdengar, Jofan dan Arghi tidak berbicara satu sama lain. Ada perasaan bersalah di benak masing-masing yang tidak bisa diutarakan. Gengsi. Mungkin saja karena gengsi sialan.
"Aku pulang duluan," ujar Jofan dengan suara lirih. Arghi menggumam sebagai jawaban dan segera mengambil ponsel dari sakunya. Mengetikkan beberapa kata dan beranjak berdiri.
Sementara Jofan yang baru keluar kelas mengecek ponselnya yang bergetar menandakan ada pesan masuk. Dari Arghi. Kenapa Arghi mengiriminya pesan padahal mereka berdekatan.
[Maaf udah bentak kamu. Maaf juga udah buat kamu luka. Sekali lagi maaf buat kamu masuk ke ruang bk.]
Saat selesai membaca pesan dari Arghi dan hendak mengetikkan balasan, Arghi lewat di sebelahnya. Jofan bergegas mencekal lengan Arghi membuat sang empu berbalik dan menyadari keberadaan Jofan. Jofan tersenyum, "nggak perlu minta maaf. Aku yang salah, maaf buat kamu masuk ruang bk dan berantem sama Rio," ujar Jofan. Arghi tersenyum dan mengangguk. Lantas mereka akhirnya pulang bersama. Arghi mengantar Jofan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...