103. Sia-siakah?

288 34 0
                                    

Pagi ini, Alvin sudah heboh membangunkan Rio yang tertidur di sofa, meminta diantar ke kamar mandi. Rio yang belum sadar berjalan terhuyung menuntun lelaki itu ke kamar mandi. Membawanya masuk dan membantu Alvin duduk di kloset lantas mengatur tiang infuse agar tidak menghalangi pergerakan Alvin.

Setelah semua dirasa sudah aman, Rio keluar dan menutup pintu membiarkan Alvin menyelesaikan urusan perutnya. Dia berdiri menjaga pintu agar tetap tertutup rapat juga berjaga kalau-kalau Alvin terpeleset. Setelah 10 menit menunggu Alvin memanggilnya tanda sudah selesai.

Rio membuka pintu dan menuntun Alvin kembali ke ranjangnya. Bersamaan dengan seorang suster mengantar sarapan dan obat untuk Alvin. Alvin sudah muak dengan semua ini. Ingin sekali meminta Rio membawanya keluar dan membiarkan dia tidak minum obat, tetapi itu semua tidak mungkin.

Dia duduk dengan wajah sudah tertekuk. Sedangkan Rio cekatan menyiapkan sarapannya di meja ranjang. Menuang air minum dan meletakkannya di meja. Lantas duduk membiarkan dia mulai menyantap sarapan.

"Makanannya nggak pernah enak, selalu hambar," adu Alvin dan menyuap bubur encer yang begitu mengganggu. Dia sudah sangat bosan makan bubur di pagi hari. Dia ingin makan mie instan atau mie ayam.

"Makanya cepet sembuh," pungkas Rio dan terlihat memainkan ponselnya. Alvin mendengus mendengarnya. Siapa juga yang ingin berlama-lama sakit. Bahkan dia kira setelah operasi dilakukan dia segera diperbolehkan pulang. Nyatanya sampai seminggu setelahnya dia tetap mendekam di rumah sakit.

Setelah selesai sarapn dengan malas-malasan Alvin akhirnya bisa terbebas dari bubur cair tersebut. Dia selesai minum obat juga. Saatnya bersantai.

Rio membereskan meja Alvin dan kembali melipatnya, dia juga meletakkan kotak nasi di depan pintu agar sang suster dengan mudah mengambilnya. Alvin menghidupkan layar televisi. Hiburannya hanya televisi.

"Yo, tukeran topi dong," pinta Alvin. Dia melepas topinya. Rio berjalan ke sofa mengambil topi miliknya yang tergeletak di meja. Lantas memberikannya pada Alvin. Dia tidak keberatan bahkan kalau Alvin meminta topi tersebut sekarang. Hanya ingin membuat remaja itu merasa baikan.

"Oh, Arghi!" pekik Alvin melihat Arghi di ambang pintu kamar inapnya. Dia tersenyum melihat Arghi berjalan masuk meski menatap tajam pada Rio.

Dengan sigap Alvin menahan lengan Rio, kali ini dia tidak akan melepasnya begitu saja. Dia memeluk lengan itu dengan menggunakan kedua lengannya. Menahan Rio agar tetap duduk di tempatnya. Lantas menatap memohon pada Rio.

"Yo..." bujuknya memohon. Dia tidak mau ditinggal lagi. Tidak bisakah mereka duduk bersama seperti dulu? Mengapa begitu sulit.

"Aku mau pergi makan," alibi Rio. Alvin tetap keras kepala menahanannya, bahkan saat Rio menarik tangannya Alvin tetap tidak mau melepaskan tangan Rio.

"Kamu nanti jatuh, Na!" pekik Rio saat ranjang Alvin berderak tertarik Rio.

"Na, pulang dulu ya," pamit Arghi setelah meletakkan buah di atas meja. Dia tidak sudi satu ruangan dengan Rio, apalagi melihat Alvin memohon seperti itu pada laki-laki berengsek seperti Rio.

"Jangan! Ayo dong ngobrol! An! Aan!" seru Alvin mencoba menahan Arghi pergi. Tangannya masih menahan Rio sementara tatapannya menatap memohon pada Arghi.

"Ayolah! Kenapa sekarang gini? Kenapa nggak bisa kumpul bareng? Cuma duduk doang apa susahnya? Bahkan aku nggak minta kalian saling maafan atau baikan, cuma duduk!" seru Alvin dengan wajah memerah. Dia marah.

Rio melepaskan tangan Alvin dari lengannya. Lantas membenarkan topi Alvin sekaligus menghapus air mata Alvin. Alvin diam dengan mata terus mengucurkan air mata, bahkan Arghi saja tidak jadi melangkah pergi. Dia merasa kasihan dengan Alvin dan juga merasa bersalah membuat sahabatnya menangis.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang