Pagi ini, Arghi sudah terlihat duduk di ruang makan rumah Rio bersama si tuan rumah. Rio keluar kamar dengan seragam olahraga, mengernyit heran saat mendapati Arghi tengah mengobrol dengan kakaknya. Dia lantas bergabung di meja makan untuk memulai acara sarapan karena memang dialah yang terakhir bergabung.
"Nak Arghi mau bawa susu?" tawar bunda Ica sembari membuka kulkasnya. Terlihat isi kulkas yang penuh bahan makanan dan sangat rapi. Arghi mengangguk, dia tentu tidak bisa menolak minuman enak itu.
"Makasih tante," ucap Arghi menerima susu kotak dan menyelipkannya di saku samping tasnya. Untuk bekal ke sekolah. Rio juga menerima susu tersebut, tapi langsung meneguknya habis.
"Nak Arghi diminum aja. Ambil lagi buat dibawa ke sekolah," ujar bunda Ica melihat Arghi terus memperhatikan Rio yang menyesap habis susuk kotaknya. Arghi nyengir dan mengangguk.
"Boleh, tante," ujar Arghi tak tahu malu. Rio geleng-geleng kepala. Biasanya kalau bertamu akan sungkan menerima yang disuguhkan tapi dengan tidak tahu malu Arghi menerima semuanya. Terlihat seperti menguasai rumahnya.
"Nggak tahu malu," cibir Rio mendapat delikan dari bunda dan ayahnya. Rio mengerucutkan bibirnya mendapat pelototan instan seperti tadi. Dia lantas bergegas pergi ke sekolah atau akan terlambat.
"Tungguin, Yo! Ini Arghi baru minum," ujar bunda Ica melihat putranya hendak menyalaminya. Dia benar-benar merasa tidak enak atas sifat Rio kepada Arghi. Arghi anak baik, tidak seperti Rio yang bengal dan suka melawan ucapannya.
"Nanti terlambat, Bun," ujar Rio dan ngacir keluar rumah membuat Arghi yang kepalang tanggung sudah menancapkan sedotak ke susu cokelatnya segera berdiri. Dia menyalami tangan om Ari da tante Ica lantas keluar mengikuti Rio dengan mulut sibuk menyedot susu. Sialan memang Rio.
"Ngapain nggak berangkat sendiri sih? Rusuh dasar!" geram Rio melihat Arghi nangkring di boncengan motornya. Arghi tidak peduli dan sibuk menghabiskan susu kotaknya lantas barulah tangannya memasangkan helm di kepalanya. Rio berdecak dan menyalakan mesin motornya. Menjalankan motor tersebut keluar dari pekarangan rumahnya.
Sesampainya di sekolah Arghi melepas helm dan membuang bungkus susu yang diminum di atas motor. Rio selesai memarkirkan motornya dan berjalan bersama Arghi menuju ruang kelas. Mereka bertemu pandang dengan Sila yang menyapa keduanya dengan sopan.
"Dia masih mikir kamu kakak kelasnya, Yo," bisik Arghi cengengesan. Dia hanya merasa geli melihat Sila menyapa keduanya dengan sebutan kak padahal jelas-jelas bet yang terpasang di lengan kiri tertulis X tanda kelas sepuluh.
"Berisik!" geram Rio yang mendengar ejekan Arghi. Dia melangkah lebar membuat Arghi mendengus kesal namun segera menyusulnya.
"Eh sial! Kita lupa ambil motor!"
Sesampainya di depan ruang kelas yang sudah ramai, Arghi mengentikan langkahnya. Dia baru ingat kalau motornya masih di bengkel, harusnya ia ambil saat berangkat tadi sesuai kesepakatannya dengan sang pemilik bengkel. Rio terkekeh karena dia sengaja tidak mengingatkan Arghi tentang hal itu. Dia ingat saat melewati bengkel tersebut, hanya saja jalanan begitu ramai membuatnya enggan memutar balik motornya. Toh si empu tak mengingatnya.
"Kamu inget ya? Sial. Sengaja nggak ngasih tahu!" umpat Arghi. Melihat Rio cengengesan membuatnya darah tinggi. Dia memukul punggung tegap itu guna menyalurkan kekesalannya. Teman laknat.
"Lah motor siapa? Kok aku yang repot," ucap Rio enggan disalahkan. Dia membalas pukulan Arghi dan keduanya saling kejar di dalam kelas. Membuat suasana kelas yang sudah ramai makin ramai karena kehadiran dua manusia aneh itu.
"Nggak mau tahu, nanti kamu anter aku ke bengkel!" putus Arghi dan duduk terengah di kursinya. Alvin yang melihat keduanya akan kembali berdebat membuat desisan meminta mereka berhenti berisik.
"Lihat!" bisik Alvin pada Rio yang baru duduk di kursinya dengan wajah jahil. Rio melepas ranselnya dan melihat Jofan yang duduk merebahkan kepalanya di meja. Tampak masih lemas.
"Jo, sakit?" tanya Rio membuat Arghi yang bersungut-sungut segera sadar bahwa Jofan tampak lemas di kursinya. Tidak ada balasan dari Jofan. Alvin yang ditatap dua temannya menggeleng tanda ia juga tidak tahu.
"Waktu aku sampai di kelas dia sudah begitu, aku panggil berkali-kali tapi dia cuma bilang masih ngantuk," jelas Alvin setengah berbisik.
Rio dan Arghi mengangguk, mungkin saja memang tidak enak badan. Bahkan dia menggunakan hodie putih. Sampai seorang guru masuk ke kelas mengatakan jam olahraga diganti dengan materi karena pak Niki tidak masuk menemani istrinya melahirkan.
Mereka lantas membaca buku lks sesuai yang ditugaskan. Beberapa ada yang berganti seragam termasuk keempat siswa yang kompak keluar untuk pergi ke kamar mandi. Mereka berganti bersama dan kembali ke kelas juga bersama. Namun, terlihat Jofan masih menggunakan hodienya.
"Nggak dilepas hodienya, Jo?" tanya Arghi dengan berbisik. Guru kedua sudah masuk dan tampak tatapan matanya langsung menatap Jofan. Arghi hanya khawatir temannya akan ditegur atau bahkan mendapat hukuman karena menggunakan hodie di kelas.
"Nggak," jawab Jofan singkat. Sepertinya Jofan punya masalah. Wajahnya tampak murung bahkan tidak menanggapi dengan ceria seperti biasa pada lelucon Arghi saat pelajaran. Arghi jadi sedikit diam karena teman sebangkunya tidak seperti biasanya.
"Silakan kenakan seragam di dalam kelas atau yang masih ingin menggunakan jaket bisa langsung keluar kelas!" tegas sang guru membuat Alvin dan Rio menatap Jofan. Jofan tambak berdiri. Seisi kelas memandangnya, berpikir dia akan melepas hodienya. Tetapi, ternyata dia malah keluar kelas tanpa mau melepas hodienya.
"Siapa nama kamu?" tanya sang guru sudah tampak siap dengan daftar absen di tangannya.
"Jofan Nugraha," jawab Jofan dengan santai.
"Baik, silakan keluar. Seterusnya tidak perlu mengikuti pelajaran saya," ujar sang guru tampak mencoret nama Jofan dari absennya. Semua terkejut melihat itu. Seserius itu dan Jofan nampak tidak membantah dengan melangkahkan kaki keluar kelas.
Arghi menoleh menatap kedua teman di belakangnya seolah mengutarakan keterkejutannya. Rio tidak bergeming di tempatnya. Ada apa dengan Jofan? Ini seperti dejavu saat pertama kali bertemu dengan Jofan.
Begitu istirahat pertama dimulai Arghi mengirim pesan pada Jofan karena dia sudah tidak ada di depan kelas. Dia mencarinya dan menanyakan keberadaannya. Sampai kemudian Jofan masuk ke kelas masih dengan hodienya.
"Lagi nggak enak badan, Jo?" tanya Arghi ragu-ragu.
"Enggak kok," jawabnya dan sibuk bermain ponsel. Arghi melongok apa yang dilakukan Jofan di ponselnya, rupanya tengah menggambar. Lantas menatap Rio dan Alvin mengucapkan tanpa suara apa yang dilakukan Jofan. Alvin mengangguk mengerti sedangkan Rio diam saja.
Bahkan sampai bel pulang sekolah Jofan tetap diam tidak mengatakan apa-apa. Untung saja para guru tidak ada lagi yang mempermasalahkan hodie Jofan. Bahkan saat istirahat dia tidak ikut pergi ke kantin dan tetap mendekam di kelas seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...