"Yo, mereka nginep kan?" tanya Ica saat Rio berjalan membawakan snak untuk keempat remaja yang ada di ruang televisi. Dia sampai mengeluarkan semua makanan yang ada di kulkas dan lemari penyimpanannya karena merasa senang Rio membawa banyak teman. Ica senang melihat pertemanan mereka."Nggak tahu juga, nanti Rio tanyain," ujar Rio dan melangkah masuk ke ruang televisi. Mereka bersorak senang melihat apa yang dibawa Rio. Lantas mulai melonggarkan perut untuk bisa segera menghabiskan snak tersebut. Sesekali mereka berseru melihat adegan action yang terpampang di layar televisi.
"Nanti jadi pada nginep?" tanya Rio. Arghi mengangguk, dia yang paling senang kalau diminta menginap di rumah Rio. Di rumah dia sendirian jadi sangat bosan. Rasanya sangat menyenangkan bisa tidur bersama seorang teman. Apalagi kalau dua orang temannya yang lain mau bergabung.
"Aku mau izin dulu sama nenek, takut dicariin," ujar Alvin. Rio mengangguk setuju mendengar itu. Bisa bahaya kalau orang rumah belum tahu Alvin akan menginap di rumahnya.
"Aku juga kayaknya nggak bisa nginep, belum izin. Takut dicariin," ujar Jofan membuat Arghi berdecak.
"Nanti tak anter pulang buat izin. Ayo dong sesekali nginep bareng. Kemarin kan tidurnya nggak pernah nyaman, nah sekarang tidur di rumah Rio kan nyaman tuh. Kapan lagi bisa tidur bareng," ujar Arghi dengan nada yang ambigu. Rio cekatan memukul bahu Arghi. Bisa bahaya kalau ada yang salah tangkap makna ucapan Arghi. Yang digeplak hanya tertawa sinting.
"Ok. Bentar aku ambil motor terus anter Jofan ke rumahnya. Kamu antar Alvin ke rumahnya," ujar Arghi berdiri. Bersiap pergi.
"Sekarang?" tanya Rio terkejut dengan rencana tiba-tiba.
"Iya lah, masa tahun depan," sahut Arghi membuat Alvin tertawa. Mereka lantas meminta izin pada Ica dan Ari yang baru pulang untuk mengantar teman mereka meminta izin sekalian mengambil ponsel. Mereka juga siap membawa pulang barang-barang mereka.
"Tidur di kamar kamu Yo?" tanya Ari memastikan. Dia takut salah mengerti tentang menginap. Dia pikir mereka akan pergi ke penginapan.
"Iya, Yah. Boleh kan?" tanya Rio meminta izin.
"Boleh, ya sudah sana pergi. Nanti Ayah tata kasur tambahan di kamar kamu," ujar Ari. Rio tersenyum senang dan mengangguk. Lantas keluar bersama Alvin yang mengekor. Arghi dan Jofan sudah pergi lebih dulu pulang ke rumah Arghi untuk mengambil motor.
***
Setelah hari itu hubungan mereka menjadi semakin dekat, bahkan ke sana ke mari selalu berempat. Sudah seperti saudara. Bahkan saat hari libur mereka akan menginap di rumah Rio. Belajar bersama dan bermain bersama.
Di hari sekolah mereka memiliki kesibukan masing-masing. Arghi yang mulai sibuk mengikuti ekstrakulikuler musik. Alvin yang sibuk bermain game di ponsel. Jofan yang menggambar tanpa henti meski memutuskan tidak ikut ekskul apapun seperti Alvin.
Arghi cukup terkejut saat tau Sila juga berada di ekskul yang sama dengannya. Mulut Arghi yang sudah mirip televisi berjalan langsung melaporkan hal tersebut kepada Rio. Jadi, diam-diam Rio selalu menunggu Arghi pulang dari ekskul musiknya di hari senin, agar bisa bertemu sapa dengan Sila.
Seperti hari ini. Entah sudah hari keberapa Rio duduk di parkiran menunggu Arghi, ah bukan! Tapi menunggu Sila. Dia rela duduk berlama-lama di parkiran hanya untuk bertemu sebentar dengan Sila. Gadis itu selalu menyapanya, membuatnya merasa kian hari kian terpikat padanya. Bahkan mereka saling tukar pesan saat malam. Meskipun Sila selalu membalasnya cukup lama, tidak masalah. Rio tetap berusaha membuat topik obrolan agar bisa terus berhubungan dengan Sila.
"Eh, Rio."
Rio tersenyum ramah dan menegakkan punggungnya saat melihat Sila datang menenteng tas biolanya. Di belakangnya Arghi sudah mengejek Rio diam-diam, membuat Rio mendelik memperingati Arghi agar berhenti mengganggunya.
"Belum pulang?" tanya Sila menggantungkan tas biola di motornya, lantas memakai helm.
"Belum, nunggu Arghi," jawab Rio menahan senyum. Hatinya sungguh berbunga-bunga sampai merefleksikan diri dengan senyuman super lebar. Bisa-bisa bibirnya sobek kalau terus tersenyum selebar itu.
"Oh kalian searah ya rumahnya?" tanya Sila dan dijawab Rio dengan anggukan. Sila berhasil mengeluarkan motor yang terparkir. Biasanya Rio akan sigap membantu, tetapi karena parkiran telah sepi, motor Sila dengan mudah dikeluarkan.
"Kalau gitu aku duluan ya," pamit Sila dan menjalankan motornya. Membunyikan klakson dan pergi keluar gerbang. Arghi menghampiri motornya lantas memakai helmnya.
"Modus dasar. Lain kali kalau memang mau nunggu bilang kek, kan aku nggak perlu bawa motor," omel Arghi membuat Rio hanya mengangkat bahunya. Lantas memakai helmnya. Menyalakan mesin motornya dan melaju. Arghi mengikutinya.
"Sila pemain biola?" tanya Rio memelankan laju motornya agar bisa mengobrol dengab Arghi. Arghi mengangguk dan menyejajari motor Rio.
"Baru mulai belajar, dia juga les biola di luar sekolah," jelas Arghi membuat Rio manggut-manggut mendengarnya. Senang sekali melihat Sila mengikuti ekskul musik, dia jadi bisa mencari informasi dari Arghi dengan mudah.
Rio masuk ke pekarangan rumahnya lantas memasukkan motornya ke dalam garasi. Rumahnya tampak sangat sepi, sepertinya bundanya ikut ke acara sang ayah, sedangkan kakaknya masih ada kuliah. Rio masuk ke kamarnya. Tidak mandi, langsung mengecek ponselnya. Melihat nomor kontak Sila.
Lelaki itu mengulas senyum. Otaknya memutar ide mencari topik pembicaraan agar bisa kembali berkirim pesan. Tetapi, sejauh ini otak cerdas Rio tidak bisa menemukan satu topik menarik. Akan sangat aneh kalau dia secara tiba-tiba mengirim Sila pesan. Murahan sekali.
Tidak menemukan ide, Rio akhirnya menyerah. Dia pergi mandi dan membiarkan pikirannya berkelana memikirkan cara agar bisa melakukan pendekatan kembali. Dia bahkan sempat berpikir akan mengirim pesan pada Sila dengan percaya diri. Mengatakan ingin mengajak gadis itu jalan, tetapi dipikir ulang itu begitu tidak epik.
"Aish!" keluhnya mengusak rambutnya yang basah tersiram air dari shower.
Setelah melewati pemikiran sulit, akhirnya Rio menyerah lagi dan memilih keluar dari kamar mandi. Segera berganti baju bersih untuk mengistirahatkan tubuh. Besok ada sparing dengan SMA lain. Harus segera istirahat sebaik mungkin.
Tetapi, dia mana bisa istirahat disaat ponselnya yang memaparkan nomor ponsel Sila terus menerus menggodanya. Dengan wajah frustrasi dia lantas membuka sosial media mencoba mencari akun Sila. Dia menemukan banyak akun karena tidak tahu nama lengkap Sila.
Tanpa pikir panjang dia menanyakan nama lengkap Sila dengan alasan akan menyimpan nomor ponsel Sila lengkap dengan nama panjangnya. Akan memalukan kalau dia mengaku akan mencari tahu tentang Sila di media sosial. Bertanya pada Arghi saja sudah banyak resiko.
["Cie Rio tanya nama lengkap Sila. Mau langsung daftar ke KUA ya."]
Begitu mendengar notifikasi di ponselnya, Rio segera membuka ponselnya. Membelalakan matanya melihat dia salah mengirim pesan. Harusnya kepada Arghi malah terkirim ke grup. Dia menarik pesan tersebut, tetapi itu malah terasa makin memalukan.
["Ada yang malu-malu kucing nih..."]
Rio mengacak rambutnya frustrasi melihat grup mereka ramai mengolok-oloknya. Sial. Betapa cerobohnya dia. Besok dia harus bagaimana menghadapi ketiga temannya?
Harusnya dia tidak usah mencari akun sosmed Sila. Harusnya dia tidak perlu bertanya nama lengkap Sila. Aish! Bagaimana ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...