Arghi bangun kesiangan karena baru bisa tidur pukul dua pagi. Semalaman dia mengerjakan tugas seni budaya. Dia turun bersama Miko yang juga akan berangkat ke sekolah. Miko tidak memiliki seragam sekolah karena sekolah adiknya tidak memiliki berseragam tetap seperti sekolah lain. Jadi, Arghi mengambilkan baju untuk Miko dari kamar adiknya. Bocah itu tetap tak berani masuk ke kamarnya. Dia bilang kamarnya gelap, padahal itu hanya alasan saja bagi Arghi. Miko hanya enggan mengambil baju di kamarnya sendiri.
Mereka berdua turun dan langsung menuju dapur. Arghi membuat roti bakar dengan isian selai, minumnya susu. Menu sederhana untuk sarapan, karena hanya itu yang paling cepat, Arghi bisa terlambat kalau memaksa membuat menu lain yang lebih mengisi perut. Setelah memakan rotinya Arghi bergegas ke rumah Rio. Namun, siapa sangka kedua orang tuanya berada di rumah Rio.
Mereka mengobrol bersama Rio. Arghi memaku di dekat pagar. Tatapannya panik jadi dengan segera ia berjalan masuk ke dalam rumah Rio membuat kedua orang tuanya, termasuk Rio menatap terkejut kedatangannya. Arghi penasaran dengan yang mereka bicarakan. Matanya menatap Rio yang tersenyum tipis menyapanya. Perasaannya jadi buruk.
"Ya sudah, hanya itu yang kami sampaikan. Kami harap Rio bisa melakukannya, kami pulang ya..." pamit Neila. Dia memang sudah selesai berbicara dengan Rio, suaminya tidak ada hal untuk dibicarakan. Mereka berlalu dan berhenti di depan Arghi, "sekolah yang rajin, jangan malas-malasan," ujarnya dengan lembut.
Arghi terdiam di tempatnya berdiri. Suara lembut itu hanya sekedar topeng untuk menutup betapa keras suara mamanya saat bicara dengannya, di dalam rumah. Arghi bahkan baru tahu mamanya memiliki suara yang selembut itu, seperti ibu pada umumnya. Rio tersenyum saat kedua orang tua Arghi menatapnya dan pamit pulang karena harus bersiap berangkat kerja.
"Masuk Ar!" ujar Rio dengan canggung. Arghi tetap berdiri di tempatnya, lantas berbalik dan berjalan pergi. Rio membulatkan matanya melihat itu kemudian dia segera mengejar.
"Aku berangkat sendiri," ujar Arghi dan segera berlalu pergi untuk kembali ke rumahnya. Dia ingin tahu apa yang dibicarakan kedua orang tuanya kepada Rio sampai membuat remaja timggi itu tampak canggung kepadanya. Langkahnya sangat lebar dan cepat menuju rumah. Rio tidak bisa mengikutinya, sepertinya ada kesalahpahaman di sini dan dia tidak bisa ikut campur.
Mengingat itu, Rio kembali ke rumah untuk sarapan dan bersiap berangkat sekolah. Matanya tak lepas dari jalan. Dia harap, Arghi memang berangkat sendiri dan tidak berbohong. Tetapi, sampai dia selesai mengenakan sepatu, Arghi tidak kunjung berangkat sekolah. Tidak mungkin remaja tembam itu memilih jalan memutar.
"Jemput aja, siapa tahu kuncinya hilang lagi," usul bunda Ica melihat putranya tidak juga berangkat bengong memandang jalanan dibdepan rumah. Rio mengangguk setuju dengan usul bundanya. Tadi malam dia cerita alasan Arghi memboncengnya adalah karena kecerobohan bocah itu yang lupa meletakkan kunci dimana.
Dia menyalami bundanya dan pergi ke rumah Arghi menggunakan motornya. Tatapannya langsung membulat begitu melihat Arghi dijambak dan diseret masuk oleh papa Arghi. Dia terkejut namun hanya bisa diam di depan pagar rumah Arghi. Jalanan sepi, orang-orang sudah berangkat bekerja dan sekolah. Hanya dia yang melihat kejadian ini. Rio gemeteran di atas motornya, dia bingung harus apa.
["Arggghhhh!!!"]
Geraman dari Arghi membuat Rio segera menstandar motornya dan reflek melepas helm. Namun, tidak masuk menerobos pagar rumah Arghi. Kepalanya celingukan mencari orang lain yang mungkin saja lewat dan juga mendengar teriakan Arghi. Dia hanya seorang remaja SMA, tidak bisa menengahi pertengkaran dalam keluarga.
Tidak lama, Arghi keluar dengan seragam berantakan beserta pipinya yang lebam. Rambutnya juga tak kalah kacau. Rio membuka mulutnya tetapi, tak mengucapkan apapun. Sampai Arghi mendongak dan tatapan keduanya bertemu. Arghi menghentikan langkahnya di depan pagar karena terkejut melihat kehadiran Rio tak jauh dari tempatnya berdiri.
Beberapa detik kemudian Arghi menyambar helm yang tergeletak di atas paving halaman rumahnya. Helm itu yang sempat terbang dan mengenai lengannya. Menyebalkan sekali.
Dia mendekat ke tempat Rio dan memboncengnya, membuat Rio tersadar dan segera mengenakan kembali helm miliknya. Arghi diam saja di boncengannya membuat Rio mengendarai motornya dengan canggung. Bahkan sepanjang perjalanan mereka diam saja. Rio melirik Arghi yang ada di spion melihat wajah tidak bersemangat yang sungguh berbeda dengan hari biasanya.
"Makasih, Yo," ujar Arghi dan menenteng helmnya. Rio menarik helm tersebut dan meletakkannya di motornya. Memangnya mau dibawa kemana helm tersebut? Ke kelas? Yang benar saja.
Arghi tidak protes, lantas keduanya berjalan bersama ke kelas. Alvin dan Jofan sudah ada di kelas. Tampaknya Alvin ribut dengan tugas seni budayanya. Masih mencari cat air. Rio mendengus dan membuka ranselnya. Memperlihatkan dua buah buku gambar di ransel tersebut, lainnya buku tulis.
"Nih!" ujar Rio menyerahkan buku gambar tersebut. Alvin tersenyum senang dan membuka buku gambar tersebut. Senyumnya makin lebar saat sudah ada gambaran di dalamnya. Rio memang terbaik.
"Gila, digambarin?" tanya Arghi tidak percaya. Jofan juga ikut melihat hasil gambaran Rio. Memandang Rio yang sibuk menutup ransel dan meletakkannya di kursinya.
"Rio gitu loh," puji Alvin dengan senyuman bangganya. Itu mengundang decak iri dua orang di depannya. Segila itu Rio menganggap Alvin sahabat sampai mau mengerjakan tugas Alvin.
"Tutup mulut, atau aku buat kalian tutup usia!" ancam Rio kepada dua nyawa lain yang menjadi saksi. Keduanya hanya mengangguk membuat Alvin tertawa ngakak. Bahagia sekali karena Rio dengan senang hati membantunya tanpa diminta. Semalam dia hanya mengeluh tidak menemukan toko alat tulis dan tidak bisa beli cat air. Rio mengatakan nama toko namun letaknya cukup jauh, harus menggunakan motor atau setidaknya sepeda. Sedangkan Alvin tidak memiliki keduanya. Lantas Rio hanya mengatakan akan membantu Alvin hari ini, siapa sangka Rio malah menyelesaikan tugasnya.
"Makasih, Yo ..." ujar Alvin menelengkan kepalanya dengan gaya centil. Arghi geleng-geleng kepala melihat kelakuan absurd Alvin. Sejak awal dua orang di belakangnya memang dapat dikatakan abnormal. Alvin yang bertingkah sok imut dan Rio yang bersikap posesif. Benar-benar seperti pasangan kekasih saja.
Jofan menatap keduanya dengan senyuman lebar. Sedikit gemas melihat Rio yang hanya manggut-manggut menanggapi kecentilan Alvin. Seperti sudah terbiasa dengan tingkah aneh seorang Alvin.
"Jo, nggak lepas hodie?" tanya Arghi melihat teman sebangkunya tetap menggunakan hodie, kali ini berwarna cokelat. Jofan ini pengoleksi hodie atau memiliki toko hodie sampai-sampai tiap hari bisa gonta-ganti hodie.
"Nanti dia lepas waktu pelajaran," jawab Rio. Jofan yang sudah akan menjawab lantas menutup kembali mulutnya dan mengangguk membenarkan. Kemarin dia sepakat akan membuka hodie saat jam pelajaran dimulai. Meskipun ada kemungkinan Arghi akan melihat lukanya, tapi kemarin Rio menjamin Arghi tak banyak omong. Hal itu membuat Jofan merasa tenang. Tak salah ia memilih Rio sebagai teman curhat.
Arghi menatap heran kepada Rio yang menjawab pertanyaannya. Dia bertanya pada Jofan, bukan pada Rio. Lagipula sok tahu sekali Rio tentang Jofan.
"Emang iya Jo?" tanya Arghi tidak percaya.
"Iya, nanti aku lepas," jawab Jofan dan membuat Arghi mencibir Rio yang menaik-turunkan alisnya seolah mengoloknya yang tidak percaya. Alvin tertawa melihat dua orang mulai aksi bertengkar mereka. Benar-benar hiburan di pagi hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...