"Kok bisa ya..." kagum Alvin masih penasaran. Rio melotot pada Arghi yang baru saja memasukkan tulang untuk ia sapu habis. Melihat Rio manatapnya tajam membuatnya menaikkan alis seolah bertanya ada apa. Padahal jelas karena ucapan Arghi membuat Alvin berpikir keras sampai tidak melanjutkan makan siangnya.
"Mungkin saja... dari leluhur yang sama."
Sebuah suara yang lirih terdengar. Rio mengalihkan pandangannya pada orang yang duduk di sebelah Arghi. Siswa yang tengah kini menatap balik kepadanya dengan senyuman tipis yang lebar. Terlihat begitu penuh percaya diri akan jawabannya. Hal tersebut jelas membuat Alvin tertarik.
"Leluhur? Emangnya bisa?" tanya Alvin begitu bersemangat untuk mendengar penjelasan lengkap dari siswa bernama Jofan tersebut. Rio enggan untuk peduli, kesan pertamanya pada Jofan terlalu buruk. Remaja itu hanya kurang suka dengan penampilan awal Jofan yang terlalu nyentrik dan sialnya hal itu terasa membekas di pikirannya.
"Bisa, gen orang nggak semuanya berbeda. Ibarat plat motor pasti ada kemiripan. Leluhur yang sama juga bisa buat wajah orang mirip. Kalau ditelusuri mungkin saja kalian berasal dari keturunan orang yang sama. Dari orang tersebut, gen terus dikombinasi sampai beberapa ada berpeluang besar menjadi mirip," jelas Jofan dengan senyumnya yang tak jua luntur. Padahal dia terlihat seperti orang yang pemalu dan pendiam tapi begitu berbicara terlihat sangat percaya diri.
Alvin terlihat sangat terpesona dengan ucapan dan penjelasan dari Jofan, dia manggut-manggut dan mulai memikirkan hal yang sama. Sementara itu Arghi dan Rio sibuk menyantap makan siang, menghindari percakapan dengan seorang Jofan. Jofan sudah tahu akan hal itu, mungkin karena masalahnya tadi pada saat perkenalan. Dia tidak bisa meminta seseorang untuk segera menyukainya dan menerimanya menjadi teman.
"Yo, nenek moyang kamu siapa? Siapa tahu kita beneran masih satu keturunan," tanya Alvin mulai mengada-ada. Rio meneguk minumnya, menyelesaikan makan siangnya di hari pertama sekolah.
"Nggak tahu, buat apa dipikirin? Toh itu cuma teori asal tanpa penelitian," jawab Rio mematahkan semangat Alvin. Dia mempoutkan bibirnya kesal mendengar jawaban cuek dari Rio. Padahal teori dari Jofan tampak masuk akal, meskipun tanpa dasar tetap saja itu terdengar masuk akal.
Jofan yang mendengar ucapan Rio hanya bisa tersenyum tipis. Sebenarnya dia merasa sakit hati karena ada orang yang mengatainya berbicara asal secara tidak langsung. Tapi yang lakukan hanya memandang Rio yang sibuk membereskan kotak nasinya dan keluar untuk membuang sampah ke tempat sampah di depan kelas.
"Udah selesai makannya?" tanya Rio pada Alvin yang memakan habis ayamnya sedangkan terlihat nasi pada kotak nasi yang masih utuh. Alvin menandaskan air minumnya sembari mengangguk menjawab pertanyaan Rio. Rio membersekan makan siang Alvin seperti seorang kekasih. Membuat Arghi menatapnya tidak percaya.
"Yo, aku juga udah selesai, Nih!" ucap Arghi dan mendorong kotak bekalnya yang sudah kosong kepada Rio. Mengisyaratkan Rio untuk membereskan makan siangnya juga. Tapi, tatapan maut yang ia dapatkan dan membuatnya kembali menarik kotak bekalnya dengan wajah yang cemberut. Dasar pilih kasih.
Alvin mengekori Rio keluar kelas untuk cuci tangan. Arghi ikut keluar dari ruang kelas setelah membereskan sampah makan siangnya. Rasanya sangat tidak nyaman duduk berdua dengan Jofan. Sementara itu Jofan yang sudah menyelaikan makan siangnya menunggu tiga orang itu kembali ke kelas. Dia tahu diri untuk tidak bergaul dengan mereka karena Arghi dan Rio tampak tidak menyukainya. Untuk akrab dengan mereka pasti sangat sulit dan butuh waktu lama. Kalau saja Jofan memiliki keberanian lebih pasti akan mudah mendapat teman. Sayang sekali Jofan tipe orang pemalu dan selalu saja dipandang aneh oleh orang di sekitarnya.
Jofan juga ingin memiliki teman. Keadaannya yang terlalu mempersulit ia mendapat apa yang ia ingin. Kesulitan bersosialisasi, perilakunya yang aneh, dan semua kekurangan dalam dirinya yang terkadang tidak mampu diterima orang lain.
Begitu Alvin masuk ke dalam kelas, Jofan berdiri dan bersiap untuk membersekan mejanya lantas melangkah keluar. Dia berpapasan dengan Rio dan Arghi di depan kelas, tapi keduanya hanya berjalan tanpa peduli kepadanya. Jofan juga tidak berharap banyak.
Saat dia kembali ke kelas Alvin tersenyum membuatnya merasa senang akhirnya memiliki satu teman. Selanjutnya Alvin mulai mengajaknya bicara. Remaja berkulit kuning langsat itu berbicara dengan antusias. Membicarakan banyak hal sampai akhirnya obrolan mereka terhenti karena panitia PLS kembali masuk ke ruang kelas, tanda jam istirahat telah berakhir.
Menghabiskan waktu dengan belajar. Para panitia memberikan materi kebangsaan dan banyak kuis berhadiah. Hadiahnya terbilang sangat sederhana yakni bolpoint. Arghi sejak awal belum mendapat hadiah bahkan tidak pernah tahu apa yang sedang dibahas. Dia berambisi untuk mendapatkan hadiah setidaknya satu buah bolpoint, lumayan untuk ia pakai sekolah.
"Pertanyaan selanjutnya," ujar panitia dan mulai berbicara dengan lambat agar para peserta gugup.
"Yo, kasih tahu dong jawabannya. Aku belum dapat hadiah nih dari tadi," ujar Arghi dengan berbisik. Rio yang melihat gelagat Arghi tidak berniat memberi contekan, dia malah melengos berpura-pura tidak dengar dan menatap panitia. Hal tersebut membuat Arghi mencebik kesal. Benar-benar tidak setia kawan.
"Pada tanggal berapa perjanjian Renville dilaksanakan?" pertanyaan sudah selesai dibacakan membuat beberapa mulai berbisik saling bertanya dan lainnya tidak peduli. Hanya bolpoint yang akan mereka dapatkan jadi percuma berpikir keras. Membuang tenaga saja.
Rio yang sejak awal tidak tertarik mulai gemas karena tidak ada yang bisa menebaknya. Sejak awal kuis Rio tahu semua jawaban, hanya saja dia terus memberikannya pada Alvin. Membuat Alvin memborong hadiah tanpa harus berpikir karena ada Rio. Alvin menoleh pada Rio mengisyaratkan bahwa dia meminta jawaban dari sang juru sejarah.
"Tanggal delapan Desember 1947 sampai 17 Januari 1948," bisik Rio cuma-cuma. Alvin mengangkat tangan tapi rupanya Arghi lebih dulu mengangkat tangan dengan wajah yang penuh semangat.
"Tanggal delapan Desember 1947 sampai 17 Januari 1948, Kak!" jawab Arghi percaya diri. Rio yang mendengar itu berdecak. Dasar licik. Menguping jawabannya untuk kepentingan pribadi. Alvin menoleh pada Rio yang tampak kesal, dia lantas menahan tawa. Membuat Rio segera sadar bahwa dia sedang ditertawakan oleh Alvin, tapi akhirnya ikut tersenyum.
"Licik banget jadi orang. Semoga aja tuh bolpoint langsung rusak," ucap Rio mengutuk. Alvin terkikik mendengar itu. Padahal dia juga licik karena bisa mendapat hadiah atas bantuan Rio. Tapi, memang Arghi sedikit menyebalkan menguping pembicaraan orang lain bahkan menatap Rio dengan menjulurkan lidah, meledek. Tidak tahu malu.
"Makasih banget lho ini, aduh jadi nggak enak," ujar Arghi sengaja mengejek Rio. Rio tidak membalasnya dan hanya melengos enggan melihat wajah jelek Arghi. Mendapat respon tersebut membuat Arghi tertawa senang karena bisa mengejek Rio. Yang ditertawai pura-pura tidak dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...