Hari senin merupakan hari yang selalu dinantikan para siswa. Ah, tidak semua. Karena yang sebagian mengatakan hari senin adalah hari yang paling buruk dari yang terburuk. Di hari senin ini semua pelajaran akan terasa sulit ditambah lagi upacara bendera dan bahkan pemeriksaan seragam juga dilaksanakan pada hari itu. Level tertinggi dari buruknya hari senin adalah, jam masuk dimajukan. Yang semula jam tujuh gerbang masih buka tetapi, di hari istimewa ini gerbang ditutup pukul tujuh kurang 15 menit.
Belum lagi ada agenda hukuman yang biasanya dilaksanakan hari itu juga atau sampai lima hari ke depan. Hukuman ini beragam jenisnya. Mulai dari yang level teringan yakni hormat pada bendera sampai selesai jam pertama, level sedang seperti membersihkan area sekolah, dan terakhir level tersulit yakni satu minggu membersihkan toilet.
Percayalah toilet di sekolah lebih buruk dari gudang di rumah. Selain kotor aroma di toilet sekolah juga tak pernah mau diajak kompromi. Aroma itu seperti duri, menusuk ke indra penciuman.
Arghi yang ketakutan membayangkan dirinya harus membersihkan toilet berlari ke halte bus. Sialan sekali Rio berangkat sendirian. Dia ditinggal. Apalagi rumah mereka sepi, sepertinya kedua orang tua Rio juga sudah berangkat kerja.
Dengan wajah bingung Arghi celingukan menunggu bus atau angkutan. Dia mengirim pesan pada Alvin untuk menanyakan bagaimana cara naik bus atau angkot. Dia sungguh tidak pernah tahu bedanya apa.
"Eh, Sila!" pekik Arghi melihat orang yang ia kenal melintas. Tanpa pikir panjang, dia memanggil gadis itu berulang kali dengan suara yang keras. Beberapa pengendara motor ikut menoleh heran pada Arghi. Arghi tidak peduli.
"Sila!" serunya makin keras saat Sila melajukan motornya makin jauh darinya. Aih, kenapa dia selalu mendapat kesialan.
Tak disangka, Sila meminggirkan motornya lantas berhenti di tepi jalan. Kepalanya celingukan, kesempatan itu digunakan Arghi untuk melambaikan tangan sembari bersiap menyebrang jalanan. Dia selesai menyebrang, lantas kakinya mengayun cepat berlari menghampiri Sila.
"Nebeng ya," pintanya dengan napas tersenggal.
"Tapi, helmnya ..." Sila hanya membawa satu helm yang ia pakai. Tidak menyangka juga kakak kelasnya akan memanggilnya untuk nebeng ke sekolah.
"Udah santai aja. Sini aku yang nyetir!" ujar Arghi mengambil alih kendaraan. Sila menurut saja karena jam masuk sudah akan berlangsung. Dia duduk membonceng dengan gugup, bahkan berpegangan pada ujung ransel Arghi. Ini kali pertama baginya membonceng kakak kelas dan itu adalah laki-laki.
"Makasih ya," ujar Arghi saat sampai di dekat gerbang. Tidak mungkin membawa motor Sila masuk sekolah, bisa-bisa dia kena peringatan dari guru yang berdiri di dekat gerbang sekolah. Dengan segera dia turun dari motor, membiarkan Sila kembali mengendarai motornya.
"Sama-sama kak," balas Sila dengan wajah sudah memerah karena gugup. Arghi lantas melangkah masuk ke gerbang, Sila juga menjalankan motornya ke parkiran.
Arghi sampai di kelasnya saat semua teman bersiap pergi ke lapangan. Matanya mendelik kesal pada Rio yang mengangkat bahunya. Tidak merasa bersalah sedikitpun karena meninggalkannya, benar-benar makhluk setan.
Seperti biasa, Rio berdiri paling belakang, setelah barisan ketiga temannya. Dia kali ini berdiri bersama Gilang dan seorang siswi yang baru saja datang dan tak bisa mendesak ke depan. Bisa saja mendesak ke depan, tetapi akan sangat terlihat bahwa dia terlambat.
Siswi itu terlihat berdiri gugup diantara Rio dan Gilang, padahal dua jempolan di kelas 10 Mipa-2 itu terlihat biasa saja. Terkesan tak menganggap hal yang luar biasa berdiri di sebelah seorang siswi itu. Beberapa kali Rio memergoki siswi di kelasnya itu meliriknya. Dia tidak peduli, karena dia sendiri meliriknya. Melirik karena merasa ditatap tentu saja.
***
Seusai upacara seluruh siswa masuk ke ruang kelas masing-masing. Arghi tampak berjalan menghentak layaknya bocah tk. Dia tampak marah kepada Rio, padahal Rio sendiri tidak tahu letak kesalahannya ada di mana. Ah, apa karena wingko babat yang ditinggalkan Arghi? Bukankah itu salah Arghi sendiri yang terburu-buru pulang?
Rio dan Alvin baru sampai di kelas, sementara Arghi sudah tampak duduk sendirian di kursinya. Jofan pergi ke toilet sendiri karena menolak tawaran Rio dan Alvin untuk diantar. Arghi berbalik menatap Alvin ingin bertanya kemana Jofan pergi, kenapa tidak masuk bersamanya. Tetapi, Rio lebih dulu mengajak Alvin berbincang membuat Arghi mengerucutkan bibirnya.
"Vin, nggak lupa ngerjain tugas seni budaya kan?" tanya Rio mengingatkan Alvin. Sudut matanya melihat Arghi berbalik namun saat ia menoleh remaja itu tampak duduk menatap ke depan. Dia salah lihat atau bagaimana.
"Udah," ketus Alvin. Dia masih ingat kejadian kemarin yang hampir saja membuatnya canggung bersama Arghi. Rio yang mendapat respon demikian menaikkan sebelah alisnya seolah mengingat Alvin masih menyimpan kesal padanya. Ah, kenapa pula orang-orang menjadi melampiaskan marah padanya? Apakah dia sering membuat masalah sampai mereka memperlakukannya seperti sekarang.
Gilang masuk ke kelas, tak lama Jofan juga masuk. Sepertinya sama-sama dari kamar mandi. Jofan duduk dan diam di kursinya. Rio mengamati ketiga temannya yang tampak begitu diam dengan wajah tertekuk hari ini. Apa Jofan juga akan ketus padanya? Kalau sampai itu terjadi Rio benar-benar harus tahu apa yang terjadi. Karena selama libur dia tak menghubungi Jofan. Akan sangat mencurigakan kalau Jofan juga mendadak marah padanya.
"Jo!" panggil Rio, mengetes. Dia penasaran dengan respon Jofan. Tetapi, laki-laki itu berbalik merespon dengan senyum tipis.
"Kenapa, Yo?" tanya Jofan penasaran dengan apa yang akan dikatakan Rio kepadanya.
"Nggak jadi," ujar Rio. Dia tidak ada tujuan lain selain mengetes respon Jofan kepadanya. Ternyata kawannya itu masih normal dan tidak kesal padanya. Syukurlah.
Seorang guru masuk ke kelas dan memulai pembelajaran. Siapa sangka guru Fisika itu memberikan soal latihan untuk siswanya dan beberapa siswa akan ditunjuk maju mengerjakannya di papan tulis. Arghi panik bukan main mendengar itu, apalagi masih ada satu jam pelajaran fisika yang tandanya tidak bisa menunggu bel selesai. Dia mau tidak mau harus mengerjakan 10 soal tersebut sembari berdoa agar tidak ditunjuk maju.
Rio mengerjakan dengan wajah panik. Membolak-balik buku paket yang ada di mejanya untuk melihat rumus pengerjaan. Alvin di sebelahnya tak kalah panik. Salahnya sendiri yang tak pernah memerhatikan saat diajar ditambah dia sok-sokan sebal dengan Rio. Melihat Rio yang tampak luwes mengerjakan soal membuatnya mengerucutkan bibirnya dan menggaruk kulit kepalanya.
Dia memang selalu dirugikan saat marahan dengan Rio. Ah, salah sekali kalau dia mendiamkan Rio seperti tadi. Ingin meminta bantuan juga terasa gengsi. Dia hanya bisa celingukan melihat siswa lain terpaku pada buku. Entah benar-benar mengerjakan atau bahkan hanya pura-pura menulis di buku. Dia mendongak menatap Arghi dan Jofan yang juga tampak panik tidak bisa mengerjakan latiahan soal yang diberikan.
"Udah selesai?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...