28. Penyelesaian

338 22 0
                                    

Hari ini, tugas seni budaya yang diberikan minggu lalu hanya diminta dikumpulkan lewat sang ketua kelas. Rupanya guru seni budaya adalah tipikal guru yang jarang masuk kelas. Dia bahkan dengan mudah memberikan amanat pada sang ketua kelas untuk memberitahu rekan sekelasnya tugas minggu ini. Seisi kelas mendesah gusar saat mendengar Gilang mengatakan tugas dari pak Agus.

"Hari ini ada tugas dari pak Agus, minggu depan dikumpulkan!"

"Harusnya tadi protes! Gimana sih, Lang? Masa diam saja. Kita bayar IOT mahal, eh gurunya seenaknya sendiri!" protes Arghi yang mampu mewakili teman sekelasnya. Gilang di depan kelas mencoba menenangkan teman sekelasnya karena kelas lain tengah pembelajaran. Dia bisa kena omel kalau tidak bisa meredam kebisingan di ruang kelas.

"Eh udah-udah, jangan berisik!" ujar Gilang terus berusaha menghentikan rekannya.

"Alah, bodo amat. Siapa suruh biarin tuh guru bolos masuk kelas. Seenaknya ngasih tugas lagi!" Sahut Arghi membuat seisi kelas kembali riuh. Rio duduk diam melihat kekacauan di kelasnya dan sang ketua kelas sudah tampak mulai pening.

"Ar, udah jangan berisik!" ujar Rio ikut menghentikan Arghi yang sudah menggebu-gebu. Tapi ucapan Arghi terlanjur mempengaruhi seisi kelas membuat Rio juga tidak bisa mengendalikan Arghi.

"Ini harus dilaporin ke kepala sekolah. Masa iya tugas terus selama dua minggu! Ketua kelasnya gimana sih?"

Arghi tampak tidak peduli dan terus memprovokasi. Membuat teman-temannya bersorak setuju dan terus menuduh Gilang seenaknya. Mengatakan Gilang cari muka dan mau-mau saja menjadi tangan kanan pak Agus agar nilainya bagus. Berlebihan sekali.

BRAAKK!

Gebrakan meja yang begitu keras mampu membuat semua diam. Mereka sontak menatap ke depan di mana Gilang berdiri dengan wajah merah padam, "udah ngomelnya?" tanya Gilang yang sudah frustrasi menghentikan temannya. Dia bahkan berdiri bersandar di papan tulis menatap temannya yang kini juga tengah menatapnya dalambdiam. Kemudian ia kembali mengambil posisi berdiri dengan tegap, "kalo mau protes langsung ke guru, ngapain ngomel ke aku. Nggak akan ada hasilnya kalo protes ke ketua kelas," ujar Gilang dan duduk di kursinya. Semua diam melihat Gilang tampak marah karena disalahkan. Apalagi Arghi yang pertama kali menyalahkan Gilang.

"Satu lagi, aku nggak sekotor itu buat dapat nilai bagus," ujar Gilang dan membuat seisi kelas segera berbisik-bisik dengan wajah panik. Baru kali ini mereka membuat ketua kelas marah. Biasanya sang ketua kelaslah yang membuat mereka marah karena seenaknya mengambil buku tugas untuk dikumpulkan, padahal mereka belum selesai mengerjakan.

"Ar minta maaf sana sama Gilang!" suruh Alvin melihat atmosfer di ruang kelasnya berubah kacau.

"Bukan cuma aku kali yang nyalahin Gilang," elaknya dan membuat Jofan ikut membujuknya agar mau meminta maaf kepada sang ketua kelas. Beberapa juga bisik-bisik merasa bersalah kepada Gilang yang memang tidak patut disalahkan.

"Ar," panggil Rio. Remaja yang sejak awal berusaha menghentikan Arghi itu akhirnya bersuara. Arghi menoleh menatap Rio.

"Apa?" tanyanya dengan wajah cemberut. Dia kecewa karena tindakannya barusan malah dipermasalahkan oleh kedua temannya. Padahal yang ia lakukan itu mewakili pikiran seisi kelas, apa salahnya?

"Minta maaf sana!" suruh Rio membuat Arghi memutar matanya kesal. Rupanya Rio sama saja, menyebalkan. Dia berbalik dan  duduk di kursinya dengan benar tidak ingin menanggapi ucapan Rio. Bukan hanya salahnya. Jadi, ia tidak harus meminta maaf sendirian.

"Ar," panggil Rio berulang kali tanpa henti. Hal tersebut cukup untuk membuat Arghi muak.

"Bukan cuma salahku, lagian jadi orang baperan banget!" ketus Arghi dan tetap tidak mau menatap Rio. Alvin dan Jofan yang melihat itu hanya mengembuskan napas, tidak bisa mendesaknya.

"Kan kamu yang protes pertama," sahut Rio dengan intonasi rendahnya. Dia berusaha agar tidak membuat Arghi tersinggung dan segera menyelesaikan masalahnya dengan Gilang. Tapi, siapa sangka? Arghi malah tampak marah atas ucapan Rio. Dia tersinggung dengan suara Rio yang terdengar meremehkannya.

"Tapi kalian setuju, jangan berlebihan!"

Tak mendapat respon baik dari Arghi, Rio putar otak. Dia tidak bisa memaksa Arghi untuk meminta maaf sementara remaja itu tak sedikit pun merasa bersalah. Jadi, dia akan menggunakan cara lain.

"Lang!" panggil Rio membuat Arghi segera memutar bola matanya. Alvin dan Jofan sontak menatap Rio penasaran apa yang akan ia katakan pada Gilang. Gilang berbalik menatap Rio dengan alis berkerut.

"Kenapa lagi?" tanya Gilang ketus. Dia tidak senang kalau ternyata Rio kembali memprotes seperti yang Arghi lakukan tadi.

"Itu Arghi minta maaf soal tadi, kita juga minta maaf," ujar Rio membuat kelas yang semula riuh rendah oleh bisik-bisik menjadi kembali sunyi. Semua menatap Rio tidak percaya. Laki-laki seperti Rio bisa meminta maaf. Maksudnya, Rio sejak awal diam dan terlihat tidak ikut memojokkan Gilang lalu secara mendadak meminta maaf.

"Iya, lain kali jangan asal nuduh," ujar Gilang dengan wajah yang kembali ramah meski ucapannya masih saja terdengar ketus. Bisa dimengerti karena dia baru saja dijadikan tumbal kekesalan seisi kelas. Pasti rasanya sakit hati dan ingin mengamuk.

"Udah nggak marah kan?" tanya Rio memastikan saat Gilang kembali duduk dengan baik.

"Iya," jawab Gilang.

Semua menahan gelak tawa mendengar ketua kelas mereka baru saja ngambek. Rio tersenyum senang mendengarnya, Alvin dan Jofan juga ikut tersenyum. Sementara itu Arghi mengerucutkan bibirnya.

"Makasih," ujar Arghi dengan singkat dan suara selirih mungkin.

"Hm, lain kali kalaupun bukan salahmu. Nggak ada salahnya meminta maaf. Dan juga yang terpenting semua punya kekesalan masing-masing, jangan dianggap remeh rasa kesal mereka dengan merapalkan mantra 'baperan'. Ok?"

Nasihat dari Rio membuat Arghi mengangguk. Alvin dan Jofan kembali terkekeh melihat itu. Seperti seorang ayah yang memberikan petuah kepada anaknya yang bandel. Rio lantas mengeluarkan ponselnya.

"Ayo mabar!" ajaknya membuat siswa laki-laki di kelas menyetujuinya. Termasuk Arghi dan Gilang. Alvin yang paling bersemangat untuk main game. Jofan tidak ikut main game, dia tampak sibuk menggambar di buku gambarnya seperti biasa.

Suasana kelas menjadi kembali seperti semula. Berkat Rio yang berani membuka suara dan Gilang yang pemaaf. Masalah kecil sekalipun saat terus dihindari akan menjadi sebuah permasalahan besar. Seperti bom waktu masalah kecil itu akan menghancurkan beberapa bagian hidup di masa depan.

Kerendahan hati dan lapang dada menyembuhkan penyakit apapun. Termasuk masalah pertikaian. Harus ada yang rendah hati dan berlapang dada agar semua bisa hidup senang. Peperangan yang terjadi berasal dari rasa angkuh yang kemudian berambisi ingin menguasai, lantas orang-orang mulai kesal dan tidak lagi memiliki sikap lapang dada.

Jofan menyelesaikan gambarnya, lantas menuliskan penggalan kata yang pantas untuk menjadi pembelajaran hari ini. Mendongak menatap teman sekelasnya yang sibuk bersenang-senang. Dia mengulas senyum. Bukankah dunia menjadi indah setelah perdamaian?

 Bukankah dunia menjadi indah setelah perdamaian?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang