114. Yang Ditutup Akhirnya Terbuka

325 33 0
                                    

Sudah hampir tiga hari Jofan menginap di rumah sakit. Arghi hanya datang saat siang, dia tidak bisa menemani Alvin lama-lama dengan alasan ada kuliah. Alvin tahu itu sebuah kebohongan lain, tetapi dia membiarkannya. Membiarkan dia bertingkah bodoh yang tidak tahu menahu tentang apapun.

Tiga hari lagi dia akan melakukan operasi. Menjalani pengobatan sulit untuk bertahan hidup. Mencoba bersikap egois dan hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Percuma dia pikirkan tentang ketiga sahabatnya, mereka saja enggan berbagi dengannya.

"Kamu bisa pulang, An. Aku nggak apa-apa sendirian," ujar Alvin saat hari sudah sore. Jofan menggeleng tidak setuju untuk meninggalkan Alvin sendirian. Jofan menahan diri untuk tidak sendirian di dalam kamarnya atau luka di lengannya akan semakin bertambah. Dengan menginap di rumah sakit, setidaknya dia tidak bisa menemukan pisau atau benda tajam lainnya.

"Aku mau di sini aja," ujar Jofan dan memainkan ponselnya. Alvin membiarkannya, lebih memilih berbaring dalam diam dan menatap langit-langit kamarnya. Selama tiga hari ini, Alvin menunggu Jofan untuk bercerita. Selama tiga hari ini juga Jofan bungkam dan tak pernah bercerita apapun kepadanya. Seolah permasalahan Jofan tak ada artinya dan Alvin tak berguna. Tak bisa dipercaya untuk mendengar keluh kesah Jofan.

"Tangan kamu, luka kan?" tanya Alvin akhirnya tidak tahan lagi. Pertanyaan mendadak itu membuat Jofan menegang di tempatnya. Tangannya sudah gemetar memegang ponselnya. Lantas menoleh menatap Alvin yang masih tetap berbaring menatap langit-langit kamar. Jofan membeku, tidak tahu harus menjawab apa.

"Enggak," cicit Jofan akhirnya bersuara. Mati-matian dia menahan gemetar agar bisa menjawabnya senormal mungkin. Ingatkan dia kalau kondisi Alvin harus stabil, tidak boleh banyak pikiran.

"Aku tahu kamu bohong," ujar Alvin dan menatap Jofan. Jofan terpaku di tempatnya, pandangannya terkunci pada tatapan mata Alvin. Habis sudah, "kamu cuma bohongin aku kan? Kamu harus cerita setidaknya sama Arghi," ujar Alvin melepas kuncian tatapannya. Membuat Jofan segera membuang pandangannya ke arah lain.

"Aku nggak bohongin kamu, Na. Sama sekali nggak ada luka," ujar Jofan mengelak.

"Hm, sudah aku bilang aku tahu. Aku memang kelihatan nggak berguna, meskipun gitu aku mau coba kasih tahu kamu kalau kamu nggak boleh nyakitin diri sendri. Cerita sama Arghi atau sama Rio jauh lebih baik daripada nyayat tangan kamu," sahut Alvin. Dia lantas berbalik, membelakangi Jofan.

Jofan ingin kembali mengelak, tapi beberapa orang dari yayasan sudah datang untuk menjenguk. Jofan tersenyum menyapa mereka lantas memilih duduk di depan kamar. Jantungnya berdegup kencang memikirkan kebohongannya pada Alvin. Baru satu dan rasanya sudah menakutkan, bagaimana kalau nanti Alvin tahu terkait kebohongan Rio dan Arghi? Bagaimana dia akan membuat Alvin mempercayainya bahwa dia juga tidak tahu hal tersebut.

Tubuhnya kembali tegak saat melihat Arghi dan Rio berjalan ke arahnya. Mereka datang bersama, tetapi tanpa kata. Jelas itu hanya sebuah formalitas dan penipuan publik. Arghi penasaran alasan Jofan duduk di depan kamar bukan di dalam.

"Kenapa di luar Jo?" tanya Arghi berusaha normal. Karena kejadian itu hubungan mereka sungguh buruk. Jofan selalu menghindar sedangkan dia terlalu kaku untuk meluluhkan Jofan. Dia merasa bersalah sampai tidak bisa berhadapan dengan Jofan.

Jofan diam, enggan menjawab. Memilih memainkan ponselnya. Arghi melongok dan menemukan beberapa orang tengah mengajak bicara dengan Alvin. Sepertinya orang-orang dari yayasan. Rio sudah duduk di sebelah Jofan. Memilih ikut menunggu di luar. Rio memiliki dendamnya tersendiri kepada orang-orang yayasan yang enggan memberitahunya keadaan Alvin. Mereka menyebalkan.

"Coba gulung hodie kamu," ucar Rio lirih. Arghi menoleh mendengar itu, penasaran. Lantas berdiri tak jauh dari keduanya, ingin tahu apa yang terjadi.

"Buat apa?" tanya Jofan ketus. Rio tidak peduli Jofan tengah marah dengannya atau tidak, yang ia pedulikan hanya rasa curiganya. Dia curiga Jofan kembali melukai diri sendiri lantas menyembunyikan semua itu darinya.

"Aku ingin tahu, buka sekarang Jo," ujar Rio. Jofan tidak menurut, dia memilih bungkam enggan menanggapi Rio. Lelaki egois itu sekarang melah mencekal pergelangan tangannya membuatnya meringis. Lukanya ditekan dan bergesekan dengan bahan hodienya. Itu menyakitkan.

"Sakit!" geram Jofan membuat Arghi bergerak maju hendak membantu. Namun, dia segera membeku di tempatnya. Melihat Rio berhasil memaparkan lengan Jofan yang penuh luka.

"Jo ..." gumam Arghi tidak percaya.

"Shit!" geram Rio melihat luka yang lebih banyak dari yang terakhir ia lihat. Apa yang membuat Jofan melakukan ini lagi?

"Lepas, berengsek!" seru Jofan membuat orang yang ada di kamar Alvin menoleh terkejut, termasuk Alvin. Jofan menghentakkan tangannya lantas beranjak pergi dengan terburu-buru. Arghi masih terkejut, selama ini dia belum pernah melihat Jofan terluka sebanyak itu. Dulu saat ia kelas 10 hanya melihat luka kering dan mendengar cerita menyedihkan itu. Ini kali pertamanya melihat Jofan melakukan itu dan lukanya masih begitu merah. Bahkan setelah tidak akur dengan Rio, Jofan tidak pernah terluka. Atau dia yang tidak menyadarinya?

Rio berjalan mengejar, meminta Arghi tetap di kamar Alvin. Rio bergerak cepat mengejar langkah cepat Jofan. Lantas begitu terkejar, Rio melepas topinya. Memasangkannya pada wajah Jofan. Jofan hendak melepas topi tersebut tapi Rio menahannya.

Remaja itu hanya membuat Jofan tidak dipandang aneh karena menangis. Ah, kenapa pula Jofan menangis. Rio mengikuti Jofan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit. Membiarkan amarah itu mereda dengan sendirinya. Lantas langkahnya berhenti membuat Rio ikut mengentikan langkahnya.

"Aku nggak mau terlibat masalah kamu sama Aan. Nana bisa aja udah tahu, bahkan dia tahu luka ini," ujar Jofan tanpa membalik badannya. Rio bersandar di dinding, tidak tahu juga harus bagaimana kalau Alvin mengetahui tentangnya dan Arghi. Apalagi sebentar lagi remaja malang itu kembali melakukan operasi.

"Kenapa kayak gitu lagi?" tanya Rio mengalihkan pembicaraan. Dia mengejar Jofan untuk tahu alasan remaja itu kembali berulah dengan pisau. Jofan sama sekali tidak mau berbalik, bahkan sepertinya tetap enggan berbicara dengannya. Rio mengembuskan napasnya, "mama kamu datang lagi? Atau karena tugas kuliah kamu? Kamu harus cerita, jangan malah lukain diri sendiri. Pada akhirnya memang semua orang nggak ada yang benar-benar baik, tapi nggak ada salahnya cerita sama mereka," ujar Rio. Dia lantas berdiri tegap.

Berbalik hendak kembali ke kamar inap Alvin namun, begitu berbalik matanya bertemu pandang dengan mata bulat Alvin. Rio terpaku di tempatnya berdiri sementara Arghi di belakang Alvin hanya bisa menggeleng. Habis sudah.

"Ayo, An!" desak Alvin. Rio hanya bisa menatap kepergian kedua sahabatnya. Alvin sepertinya ingin berjalan-jalan menggunakan kursi rodanya. Sialnya kenapa harus bertemu di lorong ini?

"Biar sama aku!" ujar Jofan mencoba mengambil alih kursi roda.

"Aku mau sama Aan," tegas Alvin membuat Jofan tidak bisa berkutik, membiarkan keduanya pergi. Lantas Jofan menatap sebentar pada Rio dan melangkah ke arah lain. Rio mengusak rambutnya merasa frustrasi.

Rio ikut melangkah mengikuti Jofan. Dia akan menunggu di kamar Alvin. Mencoba menjelaskan situasinya agar Alvin tidak salah paham. Meskipun semua terasa percuma, tapi dia akan mencoba. Hanya itu cara yang bisa ia lakukan untuk membuat Alvin mau berbicara dengannya.

Meskipun Alvin selalu berbaring di tempat tidurnya, tapi kehadirannya selalu membuat Rio merasa tenang. Hanya dengan melihat senyum keringnya saja sudah membuat Rio bersyukur. Memiliki sahabat sekuat Alvin dan sepolos Alvin.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang