7. Cinta Pandangan Pertama

385 25 0
                                    

"Cie... Roman-romannya ada yang jatuh cinta nih," soral Arghi langsung mendapat lirikan tamaj sebagai peringatan dari Rio. Arghi mana mau peduli, dia malah tertawa terbahak-bahak di atas motor. Tanpa bicara apapun Rio menarik gas motornya membuat Arghi di kursi penumpang hampir terjungkal. Untungnya Arghi memiliki reflek yang baik saat ini, sehingga dengan cepat ia mendekap tubuh Rio.

"Dih, najis!" omel Rio melepas tautan tangan Arghi yang ada di perutnya. Arghi tertawa kembali meski dengan wajah pucat pasi. Sialan sekali Rio, karenanya dia kembali menjadi pusat perhatian, kali ini di pintu gerbang. Memalukan.

"Kamu beneran suka sama cewek tadi?" tanya Arghi di perjalanan pulang. Rio bungkam enggan untuk menjawab, lebih tepatnya tidak mau mengurusi makhluk aneh yang ada di belakangnya. Bukan Arghi namanya kalau puas diabaikan. Dengan berani dia mencondongkan tubuhnya hingga dapat melihat wajah Rio di depan. Rio melirik Arghi dengan lirikan mautnya, "idih galak amat tuh muka," ucap Arghi dan segera menarik kepalanya kembali ke asalnya sebelum Rio melakukan tindakan kekerasan di atas motor. Meskipun nampak mustahil.

Sampai di rumah bahkan tanpa tahu malu Arghi menawar agar diantar sampai depan rumahnya yang letaknya di sebelah rumah Rio. Dengan tegas Rio menolak permintaan itu, dia tidak mau diperbudak apalagi oleh oknum bernama Arghi. Arghi mengerucutkan bibirnya dan berjalan dengan langkah menghentak. Bahkan setelah dua langkah menjauh dari motor Rio, dia berbalik dan menendang ban depan motor milik Rio. Meluapkan kekesalan.

"Nak Arghi nggak mampir dulu?"

Seperti mendapat siraman menyegarkan, Arghi berbalik cepat. Tersenyum lebar melihat ibu dari Rio berdiri di ambang pintu menatapnya yang baru beberapa langkah dari pagar rumah mereka. Rio menatapnya kesal dan beralih pada bundanya.

"Nggak usah, Bun!" ujar Rio memberi kode lewat tatapan matanya agar sang bunda tidak mengundang Arghi untuk datang ke rumah. Bunda Ica yang melihat putranya malah melotot memperingatinya untuk tidak bersikap tidak sopan dengan mengusir Arghi seperti itu.

"Ayo masuk, tante beli banyak buah, takut nggak habis!" ajak bunda Ica dengan wajah murah senyum. Arghi berjalan riang melewati Rio yang masih di luar pagar bersama dengan motornya. Bahkan Arghi tanpa malu segera masuk ke rumah Rio. Kehadiran Arghi segera disambut baik sang kepala keluarga, ayah Rio. Pria tersebut tampak tengah memperbaiki jam dinding di ruang tamu.

"Oh ini Arghi ya?" tanya pria tersebut melihat remaja seusia putranya yang baru saja masuk ke rumahnya. Arghi tersenyum dengan sopan dan mencium tangan pria tersebut. Ayah Rio sering mendengar nama Arghi berkali-kali, itu karena istrinya heboh meminta Rio agar sekolah bersama dengan Arghi. Agar dia bisa memantau Rio lewat agen mata-mata Arghi. Menurut istrinya, sang putra akan berubah menjdi remaja liar saat di sekolah dan bahkan terlihat tidak pernah mau belajar. Jadi, dia memaksa suaminya untuk menyekolahkan Rio di sekolah yang sama dengan Arghi.

Keluarga Arghi terkenal dengan keharmonisan bahkan kekayaannya. Putra mereka juga sering mengikuti perlombaan musik. Selalu sekolah di sekolah ternama yang biayanya sungguh mahal, benar-benar impian semua orang tua untuk menyekolahkan putra mereka di tempat terbaik.

"Gimana sekolahnya? Kamu satu kelas tidak dengan Rio?" tanya ayah Rio -Ari- dengan penuh semangat. Dia baru menyelesaikan perbaikan jam dan menatap puas hasil tangannya. Ari merupakan pria pekerja kantoran yang kebetulan sejak masih muda suka dengan peralatan elektronik. Dia akan memperbaiki peralatan elektronik di rumahnya tanpa menunggu rusak. Bahkan  sudah beberapa kali dia membantu rekannya memperbaiki peralatan elektronik di rumah mereka. Kalau saja Ari mau mematok harga pasti penghasilannya lumayan untuk belanja bulanan, tapi bagi pria tersebut memperbaiki peralatan elektronik adalah hobi. Kalau hobi disangkutkan dengan uang maka namanya bukan lagi hobi.

"Iya om, saya satu kelas sama Rio," jawab Arghi dan duduk di depan ayah Ari. Dia duduk tenang dan bertahan dengan senyum sopannya. Rio baru saja masuk dan segera meletakkan kunci motornya di gantungan dekat pintu. Menatap kesal pada Arghi yang sudah duduk di depan ayahnya.

"Bagus dong! Tolong awasi Rio ya, dia itu paling males belajar. Walaupun hasilnya bagus, tetap saja harus belajar dengan baik," sahut bunda Ica dari dapur. Dia datang membawa dua piring buah yang siap diimakan. Mangga dan buah naga.

"Aku bukan hewan, nggak perlu diawasi," pungkas Rio dan menghilang masuk ke kamarnya. Moodnya sangat buruk karena harus berlama-lama melihat Arghi.

"Lho kamu memang bukan hewan, tapi kalo nggak mau diatur jadi kayak hewan," sahut ayah Ari dan meletakkan jam dinding di bawah kolong meja. Memberikan ruang agar dua piring buah serta empat gelas jus tersusun di meja tamu.

Arghi senyum-senyum malu untuk mulai menyomot buah mangga yang warnanya begitu menggoda. Ditambah aroma khas yang tercium begitu manis membuat Arghi tidak bisa menahan diri untuk tidak segera menyantapnya. Bunda Ica yang melihat Arghi diam saja segera menawarkan.

"Ini dimakan, Nak. Enak kok," ujarnya sembari menyodorkan garpu kecil yang sebelumnya sudah mencolok potongan mangga.

"Eh, iya tante. Terima kasih," ujar Arghi dengan wajah malu-malu.

Padahal sedetik setelahnya dia sangat siap untuk menghabiskan buah dua piring. Rio datang saat buah naga di piring hanya tersisa satu potong. Arghi nyengir melihat Rio tampak tidak percaya buah yang disiapkan bundanya sudah habis.

"Eh, ini masih ada kok, Yo," ujar Arghi dengan sigap menyolok buah naga dan menyodorkannya kepada Rio.

"Itu garpu bekas jigongmu!" geram Rio dan hal tersebut mampu membuat kedua orang tuanya tertawa. Arghi terkekeh malu dan memasukkan buah naga ke dalam mulutnya dengan cepat.

Tidak tahu malu.

"Oh iya tante, kayaknya Rio lagi jatuh cin...."

"Bun, laper!" seru Rio dari dapur. Arghi yang siap melaporkan kejadian di sekolah mengatupkan mulutnya.

"Ayo nak Arghi makan bareng!" ajak Ica dengan ramah. Arghi mengangguk. Ica dan Ari berjalan ke dapur. Tinggal Arghi seorang yang dengan gerakan lambat melirik pada Rio yang berdiri menatapnya tajam di dapur. Hal tersebut membuat Arghi nyengir kuda.

"Aduh, maaf om-tante, Arghi mau makan di rumah aja," ujar Arghi segera berpamitan. Bisa habis dia lama-lama di rumah Rio. Meskipun kedua orang tua tersebut ramah tapi mereka memelihara seorang singa yang siap menerkamnya kapanmu, mengerikan.

"Lho, nggak mau sekalian, Nak?" tanya Ica menawarkan.

"Enggak, Tante, kapan-kapan aja. Arghi pulang dulu ya om-tante," pamit Arghi dan menyalami kedua orang tua Rio. Rio menatapnya saja dan mencebik. Awas saja kalau Arghi berani cepu ke orang tuanya. Akan dia pastikan selanjutnya Arghi menyesal mengenalnya.

Teruntuk pembaca yang sempat mampir, terima kasih sudah membaca dan meninggalkan vote

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Teruntuk pembaca yang sempat mampir, terima kasih sudah membaca dan meninggalkan vote.

Sekedar informasi, novel ini ringan dan alurnya lambat. Total lebih dari 100 bab. Dengan permasalahan yang ringan juga. Cocok untuk dikadikan sebagai hiburan, karena memiliki komedi di setiap bab.

•••FebriDRF•••

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang