Bertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku.
Melewati masa remaja bersama dengan berb...
Sesuai janji, sore ini Rio membolos latihan silat demi menemani Sila menonton film di bioskop. Rio tidak pernah menyesal membolos silat demi menonton film, hal itu karena film yang mereka tonton sangat bagus, sampai-sampai tidak terasa tiga jam berlalu. Sila berjalan di depan Rio keluar studio film. Rio langsung memberikan es yang ia bawa, itu milik Sila.
"Makasih," ujar Sila dan tersenyum manis seperti biasa. Rio mengangguk menjawab, lantas mereka keluar bioskop berkeliling di mall untuk melihat-lihat hal menarik. Sila seperti gadis pada umumnya yang tak akan pernah lelah berkeliling mall ratusan kali. Rio di belakangnya ikut tersenyum senang karena Sila beberapa kali menyoba barang-barang dijual.
"Bagus nggak?" tanya Sila. Menunjukkan jepit rambut kepada Rio. Dia lantas memakainya dan menatap pantulan cermin kemudian kembali menatap Rio kembali karena tak kunjung mendapat respon. Rio sendiri terdiam karena terpesona melihat Sila. Tak henti dia memuji Sila dalam diam.
"Bagus kok, cantik dipakai kamu," ujar Rio membuat Sila tersenyum malu-malu. Dia lantas memikirkannya. Rio memperharikan Sila yang tengah menimbang apakah harus membelinya atau tidak. Wajahnya makin imut saat berpikir. Rio mengambil alih jepit rambut tersebut, membawanya ke kasir.
"Lho, Rio!" pekik Sila terkejut, dia lantas mengejar Rio ke kasir. Menatap tidak enak pada Rio yang membayar barang untuknya.
"Ini!" ujar Rio memberikan paperbag berisi jepit rambut. Sila menerimanya dengan tidak enak hati.
"Ini aku bayar ya," ujar Sila hendak mengganti uang Rio, Rio menggeleng.
"Nggak usah, dipake aja," jawab Rio. Sila menatap tidak enak, membuat Rio tersenyum, "dipake aja, cantik kok," ujarnya meyakinkan. Sila memakainya dan mendapat jempol dari Rio. Keduanya lantas kembali berjalan-jalan di mall.
"Lagi nyari apa, Sil?" tanya Rio. Hari ini Sila tampak mencari sesuatu di mall ini sampai berkeliling dengan wajah serius, tidak seperti bisanya yang enjoy. Sila menoleh dan nyengir ditanya seperti itu. Gelagatnya rupanya mudah dibaca oleh Rio.
"Nyari hadiah buat seseorang, sebentar lagi dia ulang tahun," jawabny. Rio tersenyum dan mengangguk.
"Cowok?" tanya Rio. Pasalnya sejak tadi Sila berkeliling di area perbelanjaan khusus laki-laki. Melihat jam tangan, topi, kemeja, sepatu, bahkan barang khusus untuk laki-laki lain.
"Iya, bantuin milih ya... Kayaknya seleranya sama seperti kamu," ujar Sila memberi tahu. Rio mengangguk setuju. Dia mulai menanyakan apa kiranya yang biasa dipakai orang tersebut. Sila menyebut seperti ciri-ciri laki-laki pada umumnya. Membuat Rio bingung harus membeli apa.
"Dia sering pake jam tangan," ucap Sila mengingat sesuatu. Rio mengangguk dan mereka mulai menyusuri etalase jam.
Dalam hati Rio curiga apakah itu hadiah untuknya? Tetapi, bahkan ulang tahunnya sudah kelewatan beberapa bulan lalu. Atau mungkin orang lain yang Sila suka? Ah, benarkah Sila menyukai orang lain? Memikirkan itu membuat Rio ragu memilihkan hadiah.
"Ini bagus nggak, Yo?" tanyanya menunjuk sebuah jam hitam. Itu jam yang sama seperti milik Rio. Rio sering memakainya, tapi, hari ini dia memakai jam merk lain.
"Dia ... sering pakai jam tangan ini?" tanya Rio ragu-ragu. Sila mengangguk tampak membenarkan pertanyaannya. Rio diam, itu dia? Pikirannya mengelana mencari siapa lagi kiranya yang memiliki dan selalu mengenakan jam tangan dengan merk yang sama. Tapi, kebanyakan siswa di sekolahnya enggan mengenakan jam tangan, kalaupun pakai itu dengan merk dan jenis lain.
"Kalau warna cokelat gimana? Soalnya aku lihat dia pakai warna hitam terus," tanya Sila. Rio kali ini menelan ludahnya. Dia menatap Sila membuat gadis itu balas menatapnya, lantas Rio memgangguk. Benarkah ini untuk dia?
Sepanjang perjalanan pulang Rio memikirkan siapa lagi orang yang dekat dengan Sila dan memakai jam tangan hitam. Tapi, pikirannya selalu terhenti kepadanya. Dia selalu bersama Sila dan memakai jam tangan berwarna hitam.
Sesampainya di sekolah, Rio turun dan membiarkan Sila pergi lebih dulu. Dia berjalan ke parkiran, mengambil motornya. Lantas melajukan motornya membelah jalanan menuju rumah Alvin. Dia ingin bertanya sesuatu kepada Alvin. Siapa tahu remaja itu bisa membantunya.
"Lho, tumben nih malam-malam baru main. Masih pakai seragam pula," ujar Alvin terkejut melihat Rio datang dengan cengiran lebarnya. Dia membiarkan Rio masuk, sementara dia kembali menutup pintu.
"Lho nenek Anti dimana, Na?" tanya Rio melihat rumah yang cukup sepi. Rumah ini berlantai tegel polos. Masih sangat tradisional. Aromanya juga masih khas bau kayu.
"Udah tidur, lagi nggak enak badan," jawab Alvin dan pergi ke dapur mengambil minum. Rio duduk di kursi rotan. Tidak ada yang berubah dari rumah Alvin. Dulu saat mereka masih kecil beberapa kali pernah bermalam di rumah tradisional ini. Rio dulu takut untuk tinggal di rumah nenek Anti, baginya terlalu gelap dan lantainya terasa sangat dingin. Terasa mencekam saat malam.
"Nggak usah, Na. Cuma mau curhat, hehehe..." ucap Rio saat melihat Alvin membuka lemari makanan hendak menghidangkan cemilan untuknya.
"Cerita apa?" tanya Alvin. Dia duduk memberikan segelas teh hangat buatannya. Hanya ada teh di dapur. Dia jarang membeli sirup atau bahkan kopi.
"Tadi Sila minta dipilihin kado. Nah dia bilang beli buat cowok. Nggak bilang siapa cowok itu, tapi yang aku curigain itu adalah aku," cerita Rio. Alvin tertawa mendengar betapa percaya diri seorang Rio.
"Kenapa kamu nebak itu buat kamu?" tanya Alvin berusaha menahan gelak tawanya. Lagipula masalah percintaan Rio kenapa begitu rumit? Padahal Rio hanya perlu mengungkapkan perasaannya segera agar mendapat kejelasan. Daripada bolak-balik tanpa status yang jelas lebih baik langsung menentukan seorang teman atau seorang kekasih.
"Ya... karena dia bilang cowok itu suka pakai jam tangan. Kamu tahu kan aku sering pake jam tangan. Dia bahkan beli model yang sama bahkan merk yang sama dengan yang aku punya. Cuma dia pilih warna cokelat karena menurutnya cowok itu keseringan pake jam tangan warna hitam. Dan kamu tahu kan kalau selama ini aku selalu pakai jam tangan warna hitam," jelas Rio dengan spekulasinya. Alvin diam mendengar itu. Memang semua yang diceritakan Rio seperti tengah mendeskripsikan Rio, tapi bisa saja ada orang lain. Kalau hanya jam tangan Arghi juga sering pakai.
"Aan sering pakai jam tangan," cetus Alvin membuat Rio baru ingat sahabatnya itu sering pakai jam tangan sepertinya. Hanya saja dalam beberapa waktu Arghi tidak menggunakannya. Rio diam. Benarkah itu untuk Arghi? Tapi, mereka bahkan tak sedekat itu. Sila tampak lebih dekat dengannya. Selalu memintanya mengantarnya ke suatu tempat atau memintanya membantu mengerjakan sesuatu.
"Daripada mikir macam-macam, mending besok langsung nyatain aja. Toh kamu udah banyak jasa buat dia. Nggak mungkin dia langsung nolak kamu, paling nerima terus putus beberapa hari setelahnya. Setidaknya udah jelas dia beneran suka kamu atau engga," usul Alvin. Rio mengangguk setuju. Dia memang akan menyatakan perasaannya pada Sila, hanya saja tidak besok. Dia menunggu sampai liburan akhir semester. Tapi, karena perasaannya kian lama kian gundah gulana akan dia ajukan untuk besok saja.
"Ya, sudah. Makasih ya saranmu," ujar Rio akhirnya berpamitan pulang. Alvin mengantar Rio sampai depan rumah. Membiarkan remaja seusianya itu pulang ke rumah. Percintaan memang serumit itu, itu juga menjadi alasan Alvin tidak suka menyukai orang lain. Ada dua kemungkinan, bahagia dan sedih. Daripada ambil resiko lebih baik menghindarinya. Toh rasa sayang tak harus dari seorang kekasih. Ketiga sahabatnya memperlakukannya dengan baik, apalagi Rio. Dia tidak butuh gadis yang malah akan menjadi benalu untuknya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.