99. Perubahan Seorang Rio

313 30 0
                                    

Alvin menggerakkan tangan besar digenggaman tangannya. Masih mencoba merayu Rio agar mau menemaninya operasi. Sama seperti dulu Rio memintanya menemani Rio bertanding. Alvin harap Rio tak melupakan masa-masa itu.

"Yo, cuma sehari. Ah, enggak sehari, satu jam aja. Kalau udah satu jam pulang aja walaupun operasiku belum selesai. Mau ya..." ucap Alvin masih merayu Rio. Dia bahkan mempoutkan bibir keringnya menatap Rio mencoba bersikap imut agar Rio kau menyetujui permintaannya. Tetapi, bahkan Rio tak menatapnya dan lebih memilih membuang pandangannya ke arah lain.

Alvin cemberut. Perlahan dia mengembalikan tangan Rio di sebelah tubuh tegap berbalut setelah jas tersebut. Melepas genggaman tangannya dan mengembuskan napas. Dia sadar terlalu banyak meminta pada Rio, Rio pasti lelah menghadapinya. Bahkan sudah lama Rio enggan menjenguknya, Rio pasti sangat muak dengannya.

"Ya udah, Yo. Maaf ganggu kamu, sekali lagi selamat ya atas kelulusan kamu," ujar Alvin menyerah. Dia mengulas senyum meski tak dilihat Rio. Lantas menatap kedua orang dewasa tak jauh darinya, "maaf om-tante udah ganggu. Makasih juga selama ini mau direpotin," lanjut Alvin.

"Nak Alvin kapan operasinya?" tanya Ica segera melangkah mendekati Alvin. Dia merasa bersalah karena putranya bersikap arogan. Dia berlutut di depan Alvin berusaha membuat remaja itu tak sakit hati. Meski wajah pucat itu sudah nampak begitu terluka karena sikap Rio kepadanya.

"Masuk ke kamar, Yo! Jangan pernah keluar sebelum kamu bisa belacar cara menghargai orang lain!" tegas Ari dan mendekat pada Alvin. Dia kecewa dengan sikap Rio. Semakin didiamkan semakin menjadi-jadi. Rio enggan beranjak, dia mengalami pertarungan dengan dirinya sendiri. Ari yang melihat putranya tak kunjung beranjak masuk kamar segera mendorongnya agar pergi dari ruang tamu.

"Pergi! Kamu nggak mau lihat Alvin kan? Jadi, pergi jangan sampai Alvin malah terluka ngelihat kamu!" Ari mendorong putranya masuk ke kamar. Menutup pintu tersebut keras membiarkan putranya tak lagi ada di hadapan Alvin.

Alvin menunduk menangis seperti anak kecil. Dia merasa sakit karena Rio enggan menatapnya. Bahkan memilih membuang pandangan, tidak membalas genggaman tangannya, dan tidak peduli pada rengekannya. Rio memang sudah berubah.

"Nggak usah dipikirin, Vin. Nanti om sama tante datang kok nemenin kamu. Jangan nangis cuma karena Rio," ucap Ari. Dia ikut berlutut di sebelah istrinya menghadap Alvin yang tertunduk terisak. Dengan lembut dia membelai kepala Alvin yang tertutup kupluk. Mencoba menenangkan remaja seusia putranya yang nasibnya begitu menyedihkan.

"Nanti tante bawain buah anggur ya," ucap Ica menghibur Alvin. Alvin mencoba menghentikan tangisnya meskipun dadanya terasa sesak. Lantas dia mendongak menghapus air matanya. Menatap wanita yang selama tiga tahun ini menjadi ibunya dengan senang hati serta pria yang tak kalah baik memberikan dukungan moral layaknya seorang ayah.

"Nggak apa-apa tante, Alvin bisa sendiri kok. Nggak mau ngerepotin tante sama om lagi," ujar Alvin dengan berat hati.

Setelah itu dia minta kembali ke rumah sakit karena tubuhnya mulai bereaksi lemas dan pegal-pegal. Kepalanya juga pening karena menangis bahkan tenggorokannya sudah begitu kering ingin segera meneguk air minum. Alvin dan nenek Anti diantar sepasang suami istri masuk ke mobil. Mereka melihat mobil yang membawa keduanya pergi menjauhi pelataran rumah dan menghilang di pertigaan jalan.

Ari segera pergi ke kamar putranya. Dia harus memberi pelajaran pada putranya. Setidaknya putranya itu harus sadar bahwa Alvin tidak pernah terlibat dengan perselisihan antara Rio dan Arghi. Alvin sekarang butuh orang-orang terdekatnya untuk kesembuhannya. Bukan malah dijauhi tanpa sebab yang jelas dan terlihat seperti menjadi korban.

"Buka pintunya!" teriak Ari sembari menggedor pintu kamar putranya yang terkunci rapat. Ica yang baru masuk segera menenangkan suaminya agar tidak bertindak mengikuti emosi. Rio lelah, butuh istirahat. Nanti malam bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa perlu teriak-teriak.

***

Malamnya Rio keluar kamar dengan pakaian rapi, sepertinya hendak pergi keluar rumah. Ica yang melihatnya segera mencegah Rio keluar. Dia ingin tahu putranya itu hendak pergi kemana. Kalau memang pergi menjenguk Alvin dia akan mengizinkan tetapi, kalau hanya pergi hangout dengan teman basketnya dia tidak akan membiarkan putranya pergi.

"Mau kemana, Yo?" tanya Ica menarik tangan putranya.

"Keluar," jawab Rio singkat. Dia terburu-buru, takut ketahuan ayahnya. Bisa bahaya kalau ketahuan oleh pria tersebut.

"Nggak, bunda nggak izinin kamu keluar. Kamu bahkan udah ngecewain bunda sama ayah siang ini," tegas Ica tetap menahan putranya yang memaksa keluar. Dia bahkan harus menahannya sekuat tenaga, "kamu kenapa sih, Yo? Masalah kamu itu cuma sama Arghi. Lagipula permasalahan kalian itu nggak perlu dibesar-besarin! Kamu nggak ngerasa sayang sama pertemenan kalian? Sebelum perempuan itu muncul kalian itu temen baik, bahkan sahabatan. Singkirin ego kamu Rio!"

"Terus Rio nggak boleh suka sama perempuan? Gitu maksud bunda?" tanya Rio menatap tajam bundanya. Ini kali pertama dia membangkang sekeras ini kepada orang tuanya. Dia hanya merasa dunia begitu tidak adil kepadanya. Ah, bukan dunia tetapi orang-orang terdekatnya. Arghi bahkan selalu meminta bantuannya, lalu kenapa lelaki itu tega mengkhianatinya dengan memacari gadis pujaan hatinya?

"Arghi udah putus sama Sila, kamu bisa pacaran sama perempuan itu kalau mau. Tapi, kamu juga harus ingat persahabatan itu lebih abadi dibanding hubungan pacaran," nasihat Ica.

"Aku nggak akan pake barang bekas–...."

"Dia manusia Rio! Bukan barang! Sejak kapan kamu nggak bisa menghargai seseorang? Dan juga, Arghi nggak ngelakuin sesuatu sama Sila sampai bisa kamu sebut barang bekas," pungkas Ica diambang kesabaran.

Rio tidak peduli, dia menghentakkan tangannya sampai melepas cekalan bundanya pada pergelangan tangannya. Dia menatap bundanya, "dan sampai kapan bunda belain orang lain?"

Ica tergagap, tidak bisa membalas ucapan Rio. Rio berlalu pergi memasuki garasi dan keluar dengan mengendarai motornya. Napas Ica naik-turun menahan gejolak emosi pada dirinya. Jadi, Rio menganggapnya tak pernah berpihak kepadanya?

Perempuan itu benar-benar sudah mengacak-acak semuanya. Dia sungguh ingin menghakimi perempuan bernama Sila itu. Persahabatan putranya diobrak-abrik sampai menimbulkan perpecahan dan sekarang keluarganya ikut diambang kerusakan. Rio berubah sejak hari itu, hari, dimana Arghi menerima perasaan Sila.

Awalnya Ica memahami rasa sakit seorang Rio namun, lambat laun dia tidak mengerti apa-apa tentang putranya. Rio jadi tidak pernah membuka mulut, sedangkan Arghi jarang main ke rumahnya sekedar menceritakan bagaimana Rio di sekolahnya. Alvin juga sakit dan tidak tahu bagaimana perasaan seorang Rio. Jofan yang lebih sering datang ke rumah mengatakan bagaimana Rio bersikap di sekolah. Tetapi, Jofan malah menjadi korban atas kelakuan putranya membuat remaja kecil itu tidak pernah lagi mengunjungi rumahnya.

Entah sekarang bagaimana caranya membuat Rio sadar agar tidak lagi memikirkan permasalahan yang sudah berlalu itu. Dia bahkan tidak ada ide untuk membujuk Rio hadir di hari operasi Alvin. Dia merasa buruk karena itu semua. Karena Rio kini melupakan kebaikan semua orang dan hanya terpaku pada permasalahan sepele.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang