89. Rawat Inap

349 17 0
                                    

Sudah sejak seminggu yang lalu Alvin dirawat di rumah sakit. Dia menjalani pengobatan intensif karena desakan dari sang nenek dan dari beberapa rekan ayahnya. Mereka mendapat info tentang penyakit yang di derita Alvin dan segera melakukan penggalangan dana bahkan meminta bantuan dari atasan mereka untuk membiayai pengobatan Alvin.

Rio hari ini sudah mulai berangkat sekolah. Tidak bisa menemani Alvin saat siang hari. Tetapi, Rio berjanji akan selalu menjenguk Alvin sepulang sekolah. Alvin setuju dengan janji itu dan meminta Rio tidak perlu memberitahu semua orang, termasuk dua sahabat mereka. Sejak awal Rio tidak ada niatan memberitahu mereka. Untuk apa? Toh hidupnya dan hidup mereka sudah berjalan sendiri.

Pagi-pagi sekali Rio mengirim surat ke kelas Alvin yang letaknya di sebelah ruang kelasnya. Kelas itu masih sepi, jadi dia tidak perlu bertemu Arghi atau Jofan. Rio kembali ke kelasnya hanya untuk meletakkan buku-bukunya.

Mereka bertiga mendapat kelas 12 Mipa-2 sedangkan dia sendiri ada di kelas 12 Mipa-1. Rio cukup bersyukur dengan hal itu, meskipun setitik hatinya berharap agar Alvin masuk di kelas yang sama dengan dirinya. Meski begitu Rio lebih banyak bersyukur karena tidak perlu bertemu dua orang yang membuatnya sakit hati. Arghi yang merebut orang yang ia suka dan Jofan yang membalas kebaikannya dengan hal yang buruk, memilih berpihak pada Arghi.

Semester baru ini jadwal Rio sangat padat. Akan ada olimpiade fisika yang akan Rio ikuti, kemudian yang dekat adalah jadwal pertandingan basketnya. Itu pertandingan tingkat nasional. Timnya masuk mewakili provinsi. Waktunya masih satu bulan lagi, tapi harus banyak berlatih bahkan mengambil jam pelajaran  pertama sampai jam kedua untuk berlatih. Lantas sepulang sekolah juga harus tetap latihan. Belum lagi ada ajang perlombaan silat yang akan dia ikut. Untungnya perlombaan tersebut ada di bulan yang berbeda. Jadi, dia bisa fokus ke turnamen basket lebih dulu. Hal itu membuatnya jarang ada di kelas, sibuknya bisa melebihi kepala sekolah.

"Rio nanti kamu ada latihan atau tidak?" tanya pak Yadi saat berpas-pasan dengannya di koridor kelas. Rio terburu-buru hendak ke lapangan indoor untuk berlatih.

"Maaf pak hari ini saya ada latihan, tapi kalau memang mendesak saya izin saja," jawab Rio. Dia sudah lama tidak bisa menghadiri les pemantapan untuk perlombaan fisikanya. Rasanya tidak enak dengan guru fisikanya itu, tetapi mau bagaimana lagi? Dia dipilih oleh sang guru sedangkan yang dia inginkan adalah bidang olahraga.

"Oh tidak perlu, kan masih ada dua bulan. Setelah lomba basket selesai bisa fokus ke olimpiade ya?" ujar pak Yadi tenang. Dia tahu bagaimana Rio berlatih setiap hari. Remaja itu selalu menjadi bahan perbincangan di kantor. Banyak yang menyayangkan sikap Rio yang tampak enggan mengikuti pelajaran dengan baik. Bukan sekali dua kali Rio terlihat tidur di dalam kelas atau bahkan ada yang memergoki Rio membolos ke kantin dengan alasan tidak sempat makan siang. Meskipun sampai sekarang nilainya selalu memuaskan setidaknya remaja itu harus serius saat pembelajaran. Tak sedikit yang mengabaikan hal itu dan fokus memuji betapa gigih Rio dalam menggapai mimpinya. Bahkan memuji Rio yang mampu memiliki nilai tinggi tanpa harus ikut les sedikitpun.

"Siap pak, saya latihan basket dulu, Pak," izin Rio dan menyalami gurunya. Pak Yadi tersenyum dan memberi semangat kepada murid emasnya tersebut.

Rio sampai di lapangan indoor dan mulai latihannya. Dia berlatih keras bersama teman satu timnya. Sampai tidak terasa jam latihan pagi sudah selesai dan mereka harus kembali ke kelas. Mereka memanfaatkan waktu istirahat untuk mandi agar badan tetap segar. Apalagi nanti sore mereka kembali berlatih. Kalau dibilang menyiksa, tentu saja ini menyiksa. Tapi, saat mengingat cita-cita semua terasa mudah dan menyenangkan.

Rio selesai mandi dan berjalan menenteng ranselnya untuk kembali ke ruang kelasnya. Karena ini adalah jam istirahat, ruang kelasnya cukup berisik. Beberapa sibuk melepas penat dengan bersenda gurai. Rio segera duduk di bangku belakang. Dia sendirian, tidak mengizinkan siapapun menempati bangku di sebelahnya apalagi jumlah laki-laki di kelasnya ganjil jadi dia bisa beralasan ingin bangku sendiri.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang