116. Berita Kematian

816 48 0
                                    

"Bisakah aku bertemu mereka? Sebelum semuanya berakhir," ujar Alvin pagi itu. Dia merasa tidak berdaya setelah percakapannya dengan sang nenek tadi malam. Dia merasa gejolak emosi yang berlebih sampai memaksakan diri meminta neneknya mempertemukannya dengan ketiga sahabatnya.

Nenek Anti hanya bisa mengelus kepala cucunya. Dia tidak bisa melakukan itu, karena melangkah saja sudah begitu sulit untuknya. Dia menangis melihat kondisi cucunya yang selemah ini sedangkan dia tidak bisa melakukan apapun untuk itu. Alvin mengangkat tangannya, menghapus air mata neneknya.

"Jangan nangis, Nek. Alvin selalu buat semua orang sedih, Alvin orang jahat. Tapi, Alvin nggak mau ditinggal sendirian," ujarnya ikut menangis. Dia ketakutan. Takut kalau tetap tidak bisa menjadi orang baik sampai dia meninggal dunia. Dia takut di pemakamannya nanti tidak ada orang yang mengantarnya ke peristirahatan terkahirnya. Dia takut mereka akan segera melupakannya.

"Aku takut," ujar Alvin menangis. Dia menutup wajahnya. Suaranya sudah sangat serak. Setiap hari menangis meratapi nasibnya yang menjadi orang jahat. Dia baru sadar, selama ini dia selalu memaksa orang lain untuk menjadi yang ia ingin tanpa memikirkan perasaan mereka. Memaksa mereka untuk menjalani kehidupan seperti yang ia jalani. Dia egois.

Nenek Anti membunyikan bel yang tersimpan di sebelah ranjang Alvin melihat cucunya kesulitan bernapas. Seorang dokter masuk terburu-buru diikuti beberapa suster. Lantas seorang suster mendorong kursi roda nenek Anti untuk memberi ruang. Mereka cekatan memeriksa kondisi Alvin yang parah.

"Nggak mau," lirihnya menolak untuk disuntik. Sebelum semuanya gelap, dia masih sempat menolak ditangani. Alvin masuk dalam kegelapan. Seorang diri, tidak bisa meminta bantuan siapa-siapa.

Beberapa suster berlari keluar entah mengambil apa. Lantas masuk kembali. Nenek Anti hanya bisa melihat semua itu dengan tangisnya. Suster di sebelahnya mencoba menenangkan sang nenek di luar pintu kamar inap Alvin. Mengatakan Alvin akan baik-baik saja.

Kemudian beberapa orang dari yayasan datang mendapat panggilan dari rumah sakit. Mereka ikut menenangkan nenek Anti. Mencoba membuat wanita tua tersebut percaya pada dokter di dalam sana dan percaya pada Alvin.

"Panggilin teman-teman Alvin. Dia ingin lihat mereka. Hubungi mereka, Alvin ingin lihat mereka," ujar nenek Anti di sela tangisnya. Mendengar permintaan itu, seorang dari yayasan mau pergi ke alamat yang diberikan pihak rumah sakit.

Itu alamat rumah Rio yang ditinggalkan oleh Ari. Sengaja ditinggal agar sewaktu-waktu sesuatu terjadi, mereka segera mendapat kabar. Rio ada di kampus saat seorang yayasan bertamu di rumahnya. Dia mendapat telepon dari bundanya mengatakan kondisi Alvin begitu kritis.

["Segera ke rumah sakit. Nenek Anti meninggal, terkena serangan jantung."]

Ica terkejut mendengar kabar lanjutan dari pria di depannya yang baru saja mendapat telepon. Sesegera mungkin dia pergi berlari ke rumah Arghi. Menggedor pintu rumah tersebut membuat si empu keluar dengan wajah terkejut.

"Ada apa, tante?" tanya Arghi sedikit kikuk.

"Nenek Anti meninggal, Alvin... Alvin kritis!" seru Ica tidak bisa mengontrol emosinya. Dia bahkan berlari tanpa alas kaki. Meninggalkan pria yang memberi kabar tersebut di depan rumahnya.

Arghi cekatan menahan tubuh ibu Rio. Wanita tersebut pingsan membuat Arghi makin panik. Belum habis keterkejutannya tentang kondisi Alvin dan berita duka kematian nenek Anti, dia harus terkejut melihat wanita di depannya tumbang.

Pria dari yayasan sama terkejutnya dengan Arghi. Lantas keduanya membawa tubuh Ica ke dalam rumah Arghi. Membaringkan ibu Rio di sofa. Arghi sibuk menghubungi Rio mengatakan ibunya pingsan di rumahnya dan mengatakan berita yang sudah Rio dengar.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang