Rio mengembuskan napasnya lantas melangkahkan kaki ke meja nakas di sebelah ranjang Alvin. Memilih pergi untuk mencuci buah anggur bawaannya. Dia merasa bersalah pada Alvin jadi, dia memilih untuk tinggal. Siapa yang akan pergi meninggalkan Alvin. Ketiganya tahu Alvin tidak benar-benar ingin ditinggal sendirian. Alvin hanya jengah dengan pertengkaran mereka.
Melihat Rio yang tengah mencuci buah, Jofan ikut masuk dan duduk di ranjang Alvin. Meminta maaf sembari mengelus-elus kaki Alvin, memijatnya. Alvin tak merespon dia diam saja. Sampai Arghi akhirnya berbalik dan memilih duduk di sofa.
Alvin mengulas senyum, akhirnya berhasil. Meski harus marah dan menangis terlebih dulu untuk membuat mereka berkumpul. Alvin menyalakan televisi membunuh keheningan.
Rio datang membawa semangkuk buah yang telah selesai ia cuci. Menyerahkannya pada Alvin, "kupasin," pintanya. Rio memangku mangkuk tersebut dan mulai mengupas sesuai keinginan Alvin.
Jofan tersenyum melihat Rio memang tidak berubah. Tetap menjadi Rio yang baik dan mau melakukan apa yang diinginkan seorang Alvin. Bahkan dia membantunya tadi. Rio hanya patah hati dengan sikap Arghi, Jofan juga menyayangkan sikap Arghi yang terlalu kejam, menerima perasaan dari gadis yang merupakan pujaan hati Rio.
"Kok anggurnya beda dari biasanya?" tanya Alvin saat selesai menghabiskan satu buah anggur. Rio cukup terkejut saat Alvin tahu anggur yang ia bawa berbeda. Tentu saja dia tidak membeli di tempat yang sama dengan bundanya.
"Jo, mau anggur nggak?" tawar Alvin pada Jofan yang duduk diam memandanginya. Padahal televisi di belakang Jofan lebih menarik. Menayangkan film luar negeri.
"Enggak," jawab Jofan. Tidak mungkin memakan makanan kesukaan Alvin.
"Aan mau anggur nggak?" tawar Alvin pada Arghi yang duduk sendirian di sofa. Arghi menggeleng enggan menyahut lebih. Dia bahkan tidak menatap Alvin membuat Alvin tidak puas, "Aan nggak mau anggur?" ulangnya. Itu membuat Arghi menoleh menatap Alvin. Alvin menyodorkan anggur yang baru selesai dikupas Rio.
"Nggak, buat kamu aja," jawab Arghi akhirnya bersuara. Alvin tersenyum dan memasukkan buah tersebut ke dalam mulutnya.
"Kalian lanjut kuliah dimana?" tanya Alvin tidak mau mereka hanya duduk tanpa percakapan.
"Aku di UNY, ambil seni lukis," jawab Jofan lebih dulu.
"Wow, mau jadi seniman rupanya. Keren," ucap Alvin dengan senyum lebarnya. Dia senang sekaligus iri.
"Aku juga di UNY ambil jurusan musik," jawab Arghi tidak mau memperpanjang percakapan.
"Nanti kalau udah jadi musisi, pasti lupa sama aku. Iya kan?" ucap Alvin pura-pura ngambek. Arghi tersenyum mendengar itu.
"Iya lah, buat apa inget kamu? Orang kamu kerjaannya cuma rebahan aja," sahut Arghi membuat Alvin cemberut mendengarnya. Jofan terkekeh mendengar jawaban Arghi. Benar-benar sifat jahil Arghi tidak pernah hilang.
"Kalau Rio?" tanya Alvin beralih pada remaja lain di sebelahnya yang masih sibuk mengupas anggur untuknya. Rio mendongak, memberi anggur yang selesai ia kupas pada Alvin.
"Nggak tahu," jawab Rio. Alvin berdecak mendengar jawaban Rio yang selalu sama. Dia mengunyah anggur lantas menolak saat Rio kembali memberikan anggur, "terakhir," bujuk Rio dan akhirnya Alvin mau memakannya.
"Kamu pasti udah daftar kuliah kan? Tapi nggak mau ngasih tahu aku," ujar Alvin merajuk. Jofan tersenyum melihat betapa Alvin tampak kekanakan.
"Udahan makan anggurnya?" tanya Rio mengalihkan pembicaraan. Alvin berdecak tetapi mengangguk juga. Sudah kenyang karena satu jam lalu dia baru saja makan siang. Sekarang dia merasa mengantuk, hanya enggan tidur karena saat ia bangun lagi mungkin mereka tidak akan pernah berkumpul seperti sekarang. Apalagi Rio, sahabatnya itu mungkin akan kembali menghilang berhari-hari.
"Tidur siang, Na," ucap Jofan menyarangkan. Dia turun dari ranjang tidur Alvin membiarkan Alvin tidur. Tetapi, remaja itu menggeleng tidak mau tidur.
"Kamu masih butuh banyak istirahat," ujar Rio menurunkan kepala ranjang Alvin membuat Alvin bersungut marah.
"Aku nggak mau tidur, Yo!" bentaknya kesal karena Rio tidak peduli dan tetap menurunkan ranjang tidurnya. Arghi dan Jofan hanya menatap diam perdebatan keduanya. Enggan terlibat, apalagi Arghi. Dia tidak akan mau membuka mulut pada Rio.
"Ck! Naikin lagi ranjangnya!" seru Alvin mengomel. Rio bersandar di kursinya tidak peduli. Dia bahkan sudah menyilangkan kaki dan melepas topinya, kegerahan. Alvin beralih pada Jofan, "Jo tolong naikin kepala ranjangnya, aku pegel," keluh Alvin merasa enggan berbaring. Kalau berbaring seperti ini, dia bisa jatuh tertidur.
Rio diam saja menatap Alvin lurus saat Jofan meliriknya. Alvin berdecak melihat Jofan yang enggan membantunya. Dia lantas beralih pada Arghi, "An... Tolong naikin ranjangnya. Aku pegal," rayu Alvin pada Arghi. Arghi mengangkat bahu.
"Kalau pegal tiduran, kamu pengennya apa? Duduk? Kalau duduk malah tambah pegal," jelas Arghi malah balik mengomelinya. Alvin merengut kesal dan berbalik memunggungi ketiga sahabatnya.
"Aku pulang dulu," pamit Rio berdiri dan mengenakan topinya. Alvin menoleh cepat menatap Rio.
"Kok gitu? Kan baru sebentar di sini!" omel Alvin tidak mengizinkan Rio pulang begitu saja.
"Nanti malam aku ke sini lagi, aku nginep di sini. Tapi, sore ini aku ada acara," jelas Rio. Dia hanya akan bermain basket di kompleksnya. Sekalian nongkrong bersama temannya. Sudah lama dia tidak menghadiri acara latihan itu.
"Acara apa?" tanya Alvin ingin tahu apakah Rio berbohong atau tidak.
"Latihan basket, di kompleks," jawab Rio jujur. Toh, tidak ada yang perlu ia tutup-tutupi dari rencananya itu.
"Ck, awas aja kalau bohong," ancam Alvin dan akhirnya membiarkan Rio pergi.
Sepeninggalan Rio, Arghi memilih merebahkan diri di sofa. Dia ingin bermain game di ponselnya dengan santai. Jofan duduk di kursi bekas Rio duduki. Membiarkan Alvin mulai terlelap tidur.
"Udah tidur?" tanya Arghi saat baru sadar dia telah memainkan game selama satu jam. Jofan menolehkan kepalanya dan mengangguk menjawab pertanyaan Arghi.
"Jangan bertengkar di depan Nana, An," ucap Jofan dan berjalan ke arah sofa. Lantas menepuk kaki Arghi agar memberinya tempat duduk. Arghi melipat kakinya membiarkan Jofan duduk di depannya.
"Kamu bela–...."
"Nggak belain siapa-siapa. Kamu tahu sendiri aku nggak deket lagi sama Rio, artinya aku cuma bisa kasih tahu kamu. Nenek Anti bilang kondisi Nana semenjak operasi semakin menurun. Emosinya makin nggak stabil. Jadi, jangan buat dia kepikiran kayak gini, An. Kasihan Nana," pungkas Jofan. Dia bisa melihat bagaimana Alvin tampak kecewa dan terluka melihat pertengkaran mereka. Atau bahkan binar bahagia karena akhirnya mereka bisa kumpul meski tanpa canda tawa.
Satu tahun mereka saling mengenal dan dalam dua tahun mereka seperti berjalan dalam dinding masing-masing. Rasanya tidak nyaman. Jofan tidak pernah memiliki teman tetapi, akhirnya dia bisa memilikinya berkat Alvin. Dia tidak pernah cerita tentang apa-apa karena rasa percayanya enyah tanpa sisa namun, Rio datang dan membuatnya berani bercerita. Jofan tidak seceria itu, sampai setiap hari dia tertawa terbahak-bahak atas kelakuan Arghi. Dia merasa masa-masa itu begitu berharga. Bahkan meskipun hanya satu tahun terlewati.
"Rio yang mul–...."
"An... Please, mengalah buat satu hal ini. Nggak selamanya apa yang kamu lakuin itu bener. Coba lihat baik-baik, apakah memang Rio yang salah atau kamu yang salah. Jangan egois, An."
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...