"Bunda, nanti Alvin diambilin ya rapornya. Nenek nggak bisa datang, di rumah cuma ada nenek," ujar Alvin saat melihat seorang wanita turun dari mobil bersama suaminya. Dia adalah Ica. Datang ke sekolah Rio untuk mengambil nilai rapor putranya. Ari yang kebetulan mendapat libur sekalian ikut. Dia juga ingin melihat pementasan dari Arghi.
"Iya sayang, nanti bunda ambil sekalian," ujar Ica dengan senang hati. Dia jelas tidak keberatan untuk membantu Alvin mengambil buku rapornya. Kemarin malam Arghi juga meminta diambilkan buku rapornya karena orang tuanya tengah pergi. Entah benar-benar pergi atau hanya karangan Arghi saja, Ica tidak peduli. Dia hanya akan datang dan membantu para remaja yang menjadi sahabat putranya.
"Jofan belum datang?" tanya Ica mencari remaja kecil yang selalu menempel pada Rio.
"Belum datang, udah di chat belum dibalas juga," jawab Rio celingukan. Dia sudah mencoba menghubungi Jofan tapi remaja itu tidak aktif. Bahkan semalam di grup Jofan tidak muncul seperti biasanya.
"Habis kuota kali, coba panggilan telepon biasa," usul Ari dan diangguki Ica. Tapi, Alvin sudah melakukannya tadi, sama-sama tidak direspon. Sepertinya ponselnya mati atau kemungkinan lain Jofan kehilangan ponselnya.
"Udah, kayaknya hpnya mati," jawab Alvin dan membuat keempatnya terdiam.
"Ya sudah masuk aja dulu," ujar Ica akhirnya membuat mereka masuk ke area aula sekolah yang sudah cukup ramai. Rio mendadak menjadi mengkhawatirkan Jofan. Karena tumben sekali seorang Jofan datang terlambat seperti hari ini. Biasanya remaja itu yang akan datang paling pertama.
Arghi datang dengan setelan jas sekolah yang tampak rapi. Rambutnya juga ditata dengan baik. Hari ini dia sengaja mengenakan kacamata bulat agar nampak semakin tampan. Alvin meledek Arghi dengan tatapannya membuat Arghi hampir nampol Alvin kalau saja tidak ada kedua orang tua Rio.
"Eh, ada om sama tante. Om jangan lupa ya ambil rapor punyaku, hehehe," ujar Arghi mengingatkan.
"Nggak bisa. Ayah Ari udah ambil rapor punyaku, wle!" ledek Alvin kekanakan. Arghi mendelik dengan sebal. Dia sudah memboking orang tua Rio semalam. Bagaimana mungkin Alvin menyerobotnya dengan seenak sendiri.
"Enak aja! Aku duluan yang minta tolong sama om," ujar Arghi tak terima.
"Eh, tapi kan dia ayah aku," ejek Alvin makin menjadi. Ica sudah geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua sahabat Rio tersebut. Sudah sering bertengkar di rumah, rupanya di sekolah juga sering bertengkar.
"Sinting," gumam Rio dan membuat Alvin mengerucutkan bibirnya. Rio ini selalu diam saat ada yang ribut, tapi begitu membuka mulut bisa langsung membungkam semua mulut. Tidak asik.
"Eh itu Jofan!" pekik Arghi melihat Jofan masuk aula bersama seorang wanita yang tampak seperti orang luar negeri. Cara berpakaian yang nyentrik dan berdandan dengan make up yang tebal.
"Itu siapa? Ibunya?" tanya Alvin melihat wanita berjalan di sisi Jofan. Jofan terlihat melirik sekilas kepada ketiga temannya namun malah berjalan ke sisi lain aula dan duduk di sana bersama wanita asing tersebut.
"Dia bener-bener keturunan China ya?" tanya Ari sungguh baru percaya kalau Jofan orang China. Karena logat bicara Jofan yang terdengar seperti orang Jogja asli, bahkan lebih medok dari suara Alvin yang orang Jogja asli.
"Iya lah, kan udah dikasih tahu sama Jofan," gemas Ica dan terus menatap remaja yang duduk diam di kursinya. Matanya lantas melirik wanita yang duduk dengan elegan di kursinya. Kursi yang sama dengannya tapi terlihat sangat berbeda.
"Kalian lagi marahan sama Jofan?" tuduh Ica mendapat gelengan dari ketiga remaja di sebelahnya. Kalau Alvin, Arghi, dan Rio sering bertengkar satu sama lain, maka Jofan adalah orang yang netral dan jarang beradu mulut. Dia selalu diam dan menanggapi semua candaan dengan baik. Ya, mungkin karena masa lalunya yang begitu membekas dalam pikiran dan hatinya. Sehingga tanpa sadar Jofan lebih memilih diam karena rasa traumanya.
"Kenapa nggak duduk di sini?" tanggap Ica merasa cukup kecewa. Meski begitu akhirnya mereka kembali fokus ke depan. Arghi juga pamit hendak bersiap untuk melakukan penampilan dari klub musiknya.
Penampilan Arghi terlihat memukau. Dia memainkan piano dengan sangat baik. Belum lagi permainan dari alat musik lain yang menambah keindahan penampilan. Sila juga ikut tampil sebagai pemain violin. Rio tersenyum dalam diam menatapi Sila yang terlihat sangat serius memainkan alat musiknya.
Sampai penampilan klub musik usai, Rio masih saja memerhatikan Sila yang turun dari panggung kecil di aula. Setelah itu semua yang ada di dalam ruangan mulai membubarkan diri ke ruang kelas masing-masing. Ica bersyukur ketiga remaja itu ada di satu kelas, jadi dia tidak perlu bolak-balik ke ruang lain.
Para murid dengan wajah cemas berdiri di dekat pintu. Berharap bisa menguping perbincangan yang terjadi di dalam kelas. Mereka jelas mengkhawatirkan nilai mereka. Takut kalau nanti kena omel karena nilai yang tidak sesuai ekspetasi orang tua mereka. Rio sendiri tidak pernah mengkhawatirkan nilainya. Nilainya selalu bagus dan kedua orang tuanya sekalipun tidak pernah mencelanya apabila nilainya turun. Mereka hanya akan meminta Rio belajar dan memerhatikan saat diajar.
Arghi juga sama bodo amatnya dengan Rio. Karena yang mengambil bukan kedua orang tuanya setidaknya dia tidak akan langsung diomeli. Toh masih ada Alvin yang sepertinya nilainya ada di bawahnya. Remaja kurus itu jelas nilainya rendah karena tidak pernah menulis sekalipun. Ikut-ikutan Rio. Sungguh ajaran sesat dari Rio membawa dampak untuk Alvin.
"Jo!" panggil Arghi pada remaja mungil yang baru saja datang. Wanita yang bersama Jofan masuk ke dalam kelas membuat Jofan sendirian. Tidak mungkin bisa mengabaikan kembali keberadaan ketiga sahabatnya. Kalaupun ia abaikan akan ia sesali sendiri.
"Eh iya," sahut Jofan dengan suara canggung. Rio duduk memerhatikan. Arghi bertanya panjang lebar terkait wanita yang merupakan ibu Jofan. Alvin juga ikut penasaran dan mengajukan beberapa pertanyaan. Sudah seperti polisi yang tengah menginterogasi pelaku kejahatan. Jofan juga menjawab kikuk layaknya pelaku kejahatan. Hiburan untuk Rio.
Senyum Rio pudar saat menyadari hodie yang dikenakan Jofan. Merasa diperhatikan Jofan menoleh dan menatap Rio. Dengan khawatir dia mencekram erat ujung hodienya. Berharap Rio tidak sedang memerhatikannya.
"Jo, kenapa?" tanya Rio membuat double A langsung menoleh. Menghentikan runtutan pertanyaan yang siap menghujam Jofan dan menatap Rio dengan tatapan bingung. Tentu saja bingung, Jofan tidak melakukan apapun dan mendadak ditanya kenapa. Sungguh ambigu.
"Eh, en-engak kenapa-kenapa," jawab Jofan tergagap. Hal itu jelas membuat Alvin dan Arghi makin keheranan. Mereka langsung menatap Jofan curiga.
"Kamu beneran nggak kenapa-kenapa, Jo?" tanya Arghi menurunkan nada suaranya. Jofan mengangguk sebagai jawaban.
"Ok, kalau nggak apa-apa," ujar Rio. Alvin membiarkan Jofan tidak menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, meskipun dia sangat penasaran sekarang. Jofan merasa tenang karena Rio tidak mendesaknya. Bahkan Arghi dan Alvin juga berhenti memberondonginya dengan berbagai pertanyaan. Pikirannya saat ini sedang kacau. Sangat kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Roman pour AdolescentsBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...