"Bunda!"
Seruan dari pintu membuat Ica yang sore itu tengah membereskan dapur segera melihat. Sudah tahu sebenarnya siapa yang datang, tapi rasanya sangat senang sekali menyambut ketiga teman putranya. Mereka sangat ramai dan menyenangkan, membuat rumahnya terasa semakin hangat berkat kehadiran mereka.
Alvin yang pertama kali menyalaminya, dilanjut oleh yang lain. Mereka lantas mulai masuk ke dalam kamar Rio untuk berganti baju. Tentu saja menggunakan kaus mereka yang diambil dari rumah, kecuali Arghi. Remaja itu merengek minta dipinjami kaus oleh Rio, membuat Rio dengan malas meminjami kausnya.
"Rumahmu kosong An?" tanya Rio merasa penasaran. Arghi sering datang ke rumahnya saat ditinggal sendirian di rumah. Mungkin saja hari ini juga sama.
"Iya," jawab Arghi sekenannya.
"Ngerusuh di rumah Aan enak nih," ucap Alvin dengan jahil. Arghi menatap Alvin horor tidak mau menerima kejahilan Alvin, apalagi yang berniat merusuh di rumahnya. Dia paling malas beres-beres rumah.
"Udah-udah jangan mulai, nanti tak usir kalau rusuh!" tegas Rio tidak mau mendengar perkelahian Alvin dan Arghi di dalam kamarnya. Mereka bisa semakin membuat kamarnya berantakan saat bertengkar. Dan berakhir dia yang harus membereskan kamarnya sebelum tidur.
"Tahu tuh si Aan, mulai duluan."
"Lho kok jadi aku?"
Jofan tertawa mendengar kedua kawannya tak juga mau berhenti berdebat. Seolah ucapan Rio hanya angin lewat. Demi menghindari menjadi tumbal, Jofan memilih keluar dari kamar Rio dan bergabung dengan tante Ica yang tengah membersihkan kulkasnya. Rio juga keluar dari kamar, merasa jengah dengan perkelahian dua orang di kamarnya.
Tidak lama Arghi dan Alvin keluar dari kamar Rio. Mereka sama-sama duduk di ruang televisi. Menyalakan televisi dan menontonnya berdua. Menyadari tidak ada suara dari dua orang di ruang televisi, Rio pergi untuk mengeceknya. Melihat keduanya duduk bersebelahan dan menonton sinetron bersama. Sungguh pemandangan yang menjijikan.
Padahal hanya Arghi saja yang menonton, sementara Alvin tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Matanya memandang televisi tapi pikirannya melanglang buana tak terkendali. Dirinya sedikit merasa senang karena tidak perlu bersitatap dengan sang nenek, sehingga tidak perlu berbohong kepada wanita tersebut. Tapi, dia juga tahu kalau tidak bisa berlama-lama bersembunyi dalam kebohongan.
Bagaimana caranya dia menebus obat yang diresepkan dokter Sarah kemarin? Lalu apakah dengan meminum obat itu rutin akan membuatnya sembuh? Kalau memang dengan meminum obat dia akan sembuh, maka Alvin mau menebus obat tersebut. Mungkin besok dia bisa membeli obat di apotek.
Meskipun terdengar mengerikan, tapi Alvin masih bisa meminum obat. Dia bisa meneguk kapsul dan bisa menyembunyikan obat dari sang nenek. Dibanding membiarkan penyakitnya tak diobati dia lebih memilih meminum pil pahit itu. Dia ingin sembuh.
"Nglamun terus!"
Alvin tersentak dan memandang Arghi yang duduk di sebelahnya dan baru saja menjentikkan jarinya di depan wajahnya. Dia menatapnya dengan jengkel dan mendorong tangan Arghi menjauh dari wajahnya. Arghi berdecak melihat Alvin rupanya memang tengah bengong, sia-sia dia mengoceh sejak tadi. Memang Alvin itu makhluk paling menyebalkan di dunianya.
"Ganggu banget sih!" keluh Alvin dan mengerucutkan bibirnya merasa sebal. Padahal dia tadi tengah meyakinkan dirinya sendiri untuk mengakui bahwa dia sakit. Bahwa dia akan meminum obat layaknya orang sakit dan optimis akan sembuh. Tapi, karena gangguan dari Arghi dia jadi enggan optimis kembali.
Otaknya seperti tersetel ulang dan mengatakan bahwa dia tidak sakit. Diagnosa dokter tentang dirinya salah dan dia tidak perlu mengonsumsi obat. Dia percaya bahwa keluhan yang selama ini ia rasakan hanyalah sakit biasa. Kelelahan bisa membuatnya mimisan, perubahan musim juga bisa membuatnya mimisan, dan bermain game di ponselnya memperburuk imun tubuh. Mungkin saja karena begadang kepalanya pusing dan tubuhnya berdenyut nyeri. Benar. Hanya itu saja. Dia baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...