Arghi memasuki rumahnya dalam diam. Pintu rumahnya terkunci rapat dan dia tahu kedua orang tuanya tidak sedang berada di rumah. Untungnya dia memiliki kunci cadangan pintu rumahnya. Dia diam-diam menduplikat pintu runahnya sendiri dan menyembunyikan kunci tersebut di dalam pot tanaman. Ia lakukan itu untuk berjaga-jaga kalau semisal dia diusir, dia bisa kembali lagi ke rumahnya, untuk merampok isi rumahnya misalnya. Tetapi, untungnya itu tidak pernah terjadi.
Arghi berjalan melewati tangga dan tidak juga menangkap sosok adik kecilnya. Mungkin saja bocah itu ikut pergi bersama kedua orang tuanya. Sia-sia dia izin pulang siang ini. Harusnya dia menurut pada tante Ica dan tetap duduk di sana, mengobrol bersama keluarga harmonis.
Dia masuk ke dalam kamar yang sudah sangat berantakan. Ah, ini adalah medan perang kemarin malam. Rasanya menyesakkan untuk mengingat kejadian mengerikan itu. Bukan salahnya kalau dia kalah dalam perlombaan yang secara dadakan diberitahu orang tuanya. Dia bahkan hanya berlatih beberapa kali saja.
Kalau dalam kondisi lain, dia mungkin bisa berlatih lebih keras lagi. Tetapi, dia tidak melakukannya kemarin karena perlombaan itu sungguh tidak pernah ia sukai. Perlombaan yang diadakan oleh salah satu kelompok orkestra ternama. Hal itu disebabkan karena ia pernah bersitegang dengan salah seorang anggota di orkestra tersebut. Jadi, kecil kemungkinan untuk ia bisa memenangkan perlomba itu. Meskipun berkali-kali mereka mengatakan menilai berdasarkan kualitas, tapi tak menutup kemungkinan salah seorang juri membawa perasaan pribadi.
Arghi tak membereskan kamarnya, dia hanya melempar barang yang ada di kasurnya agar bisa merebahkan diri di atas kasur. Sudah dua hari dia tidak tidur di kasurnya. Hari ini, apakah dia akan tidur di tempat ini? Atau kembali ke rumah Rio.
Dengan napas tenang dia mencoba memejamkan mata. Menikmati kenyamanan ranjangnya yang tiada tanding. Aroma semerbak kamarnya tak ia pedulikan, ini khas. Baginya aroma kamarnya sangat memabukkan dan begitu candu. Dua aktivitas yang ia sukai adalah tidur dan makan. Dua hal yang begitu ia rindukan setiap saat dan akhirnya ia lakukan kapanpun dimanapun.
Matanya terbuka lebar. Dia baru ingat, seragam sekolahnya belum ia cuci sejak senin lalu. Dengan terburu-buru dia melompat turun dari kasurnya, menginjak beberapa perabotan yang berserakan di lantai kamarnya. Lantas masuk ke kamar mandi.
Tumpukan baju seragam menyambutnya. Untung saja adiknya tidak menggunakan seragam untuk sekolah. Dia bisa stres kalau harus mencuci double dan digunakan di hari yang sama. Biasanya dia langsung mengantar baju ke laundry karena dia tidak pandai menyetrika. Tapi karena lupa, dia tidak mengantarnya seminggu ini.
Langkah kakinya terdengar bergemuruh menuruni tangga. Dia kembali berlari menuju dapur dengan setumpuk baju di tangannya. Lantas tanpa pikir panjang membuka mesin cuci dan memasukkan semuanya. Dia juga pergi ke kamar adiknya, siapa tahu ada baju yang kotor di kamar yang jarang ditempati itu.
Untungnya baju kotor di kamar adiknya tidak banyak. Dia menggiling mesin cuci satu pintu itu. Dengan napas tersenggal dia pergi ke kulkas untuk mengambil air minum. Dia kelelahan karena naik turun tangga. Ah, apa ini karma karena meremehkan Rio yang belum menyelesaikan tugas sekolahnya. Instan sekali karmanya.
Menunggu mesin cuci selesai bekerja, dia memilih untuk duduk di ruang makan. Merasa bosan, dia membuka kembali kulkasnya. Mencari apapun yang bisa ia makan. Seketika ia ingat wingko babat pemberian tante Ica masih ada di rumah mereka. Ah, sial sekali nasibnya. Ingin mengambilnya juga terasa sangat memalukan.
Wajah bersungut itu terpasang, tangannya dengan kesal bergerak mengobrak-abrik isi kulkas. Dia putuskan untuk membuat sosis goreng saja. Lagipula ada banyak sosi di kulkasnya. Kalau tidak segera dimakan bisa terbuang sia-sia termakan usia kadaluwarsa.
Menggoreng dengan teflon sampai terlihat merekah bak bunga anggrek, lantas menaruhnya di piring. Dia juga menuang saus serta mayones di pinggir piring. Menghemat cucian, meskipun menggunakan mesin dia enggan menata ulang perabotan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...