Seperti malam kemarin, Arghi tidur di dekat dinding, sedangkan Rio mengalah dan tidur di sisi lainnya. Mereka tidak bermain game karena merasa lelah. Terlebih malam sudah terlalu larut untuk tetap membuka mata. Rio bahkan tidak jadi mengerjakan tugasnya malam ini. Mungkin besok pagi dia bisa segera mengerjakan tugas sekolah dan malamnya ia akan mengerjakan tugas seni budaya.
Bahkan dia berencana untuk mengerjakan bersama Arghi besok. Meskipun Arghi tergolong sebagai orang pemalas yang setipe dengannya, tetapi akan terasa menyenangkan kalau bisa mengerjakan tugas bersama. Walaupun pada akhirnya keduanya akan sama-sama tidak paham. Tapi, itu menjadi urusan belakangan.
Rio memejamkan mata dan mulai terlelap tidur. Arghi juga sudah mendengkur sejak tadi. Keduanya sama-sama menuju ke alam mimpi. Melupakan permasalahan yang baru beberapa menit lalu mereka hadapi bahkan sampai menumpahkan air mata.
Malam berlalu tanpa keduanya sadari. Orang-orang mulai bangun untuk beraktivitas. Ini hari minggu, masih libur untuk anak sekolahan. Sementara beberapa pekerja yang kemarin libur hari ini harus berangkat kembali bekerja. Rio bangun lebih awal, seperti kemarin. Dia duduk di sisi ranjang, mengumpulkan nyawanya.
Setelah merasa kesadarannya kembali normal Rio melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi. Membasuh wajahnya dan keluar dengan wajah yang sedikit lebih segar. Melihat Arghi masih tidur nyenyak dia memilih keluar dari kamar dan duduk di ruang makan, bingung harus apa. Dia enggan berolahraga hari ini. Moodnya hancur mengingat kejadian kemarin.
Perlahan dia menuju ke kulkas. Menyomot sekotak susu full cream dan membuka lemari untuk mengambil sekotak sereal. Dia lapar, padahal semalam makan malam dua kali. Energinya habis untuk menangis beberapa menit saat mengadu ke ayahnya. Ah, mengingat kemarin malam membuatnya merasa malu. Dia menangis terisak dan merengek seperti anak kecil, tak beda jauh dengan Arghi. Bedanya, dia masih bisa merengek kepada orang tua sedangkan Arghi tidak.
Rio memakan serealnya dalam diam. Dia harap orang tuanya segera pulang dan dia bisa menceritakan ini kepada mereka secara langsung. Setidaknya mereka adalah orang dewasa dan bisa dengan mudah membantu Arghi.
Belum selesai dia menghabiskan sereal di mankuknya, Arghi bangun. Wajahnya kusut khas bangun tidur. Dia berdiri di ambang pintu kamarnya, menguap lebar sembari meregangkan kedua tangannya ke atas kepala. Rio memerhatikan itu semua dalam diam.
Setelah melakukan itu semua, Arghi melangkah mendekati Rio dan bergabung dengannya duduk di ruang makan. Arghi masih tampak mengantuk tetapi, memaksakan diri bangun tidur. Rio menahan senyumnya karena wajah jelek Arghi terlihat jelas sekarang. Kalau dalam suasana yang berbeda, Rio ingin sekali segera mengambil ponselnya untuk mengabadikan wajah jelek Arghi. Sayangnya hari ini bukan waktu yang bagus untuk berbuat jahil.
"Nggak makan nasi, Yo?" tanya Arghi baru sadar Rio memakan sereal pagi ini. Rio yang baru saja melahap habis suapan terakhirnya mengangguk, menjawab pertanyaan Arghi. Dia lantas pergi ke dapur untuk mencuci mangkuk yang ia gunakan.
"Mau sereal juga?" tawar Rio setelah menyelesaikan acara cuci piringnya Arghi mengangguk lantas bergumam sebagai jawaban. Jadi, Rio mengambil mangkuk dan membawanya ke meja makan.
Susu dan sereal tadi belum ia taruh di tempat sebelumnya, masih ada di meja makan. Arghi meracik sendiri sarapannya. Sereal dalam ukuran banyak, lebih banyak dari porsi Rio. Arghi ini rajanya makan. Perutnya mungkin seperti karet, bahkan di kantin dia selalu makan dua kali dan terburu-buru menelan makanannya. Seperti kesetanan kalau sudah di depan makanan.
Rio membantu menuang susu ke mangkuk Arghi, dia hanya tidak mau Arghi menumpahkan susu ke meja makan. Enggan membereskan rumah, itu masalahnya. Ah, omong-omong tentang membereskan rumah, Rio lupa dengan kamarnya yang masih tercium aroma mie instan dan ciki-ciki.
Dia harap bundanya tak mengamuk karena ketahuan makan mie. Meskipun yang di kamar bukan ulahnya, tetapi, hari itu dia juga makan mie dan paginya kakaknya makan mie juga. Artinya ada dua mie di lemari yang berkurang, siapa lagi yang akan dituduh kalau bukan dia.
Arghi sudah mulai menyantap sarapannya. Rio kembali duduk di kursinya dan hanya memerhatikan. Wajah Arghi bengkak karena kejadian semalam, sudut bibirnya juga tampak memerah lebam. Sangat sakit, sampai Arghi kesulitan membuka mulutnya.
Rio pergi ke dapur, merebus dua telur. Ayahnya selalu mengompres lututnya karena sering mendapat lebam saat latihan. Itu meggunakan handuk hangat. Tetapi, saat di pertandingan pelatihnya mengompres para pemain dengan es batu. Beda lagi ceritanya kalau sang bunda yang mengompres. Wanita itu menggunakan telur rebus untuk mengompres. Rio pernah mendapat lebam di pelipisnya saat mengikuti pencak silat. Itu karena lawan latihannya tak sengaja memukul area wajah.
Entah lebih efektif yang mana, Rio tidak bisa memilih. Semua terasa sama saja dan memiliki efek yang lebih baik dibanding didiamkan. Rio kembali ke meja makan melihat Arghi sudah hampir menyelesaikan makannya.
"Ar, rebus telur matang sempurna berapa menit?" tanya Rio. Dia tidak tahu rebus telur yang sebenarnya berapa menit. Bahkan tidak pernah melihat bundanya merebus telur. Arghi sudah pasti tahu, karena dalam penglihatannya remaja sebayanya itu pandai masak.
"15 menit kayaknya," jawab Arghi ragu. Dia tidak pernah merebus telur. Paling merebusnya bersama mie instan. Kalau telur direbus secara langsung dia tidak pernah sama sekali.
"Kok kayaknya?" tanya Rio menjadi heran dengan jawaban Arghi yang nampak ragu-ragu.
"Ya, karena nggak tahu. Aku nggak pernah rebus telur," jawab Arghi dan menyuap-suapan terakhirnya.
"Lho, bukannya sering masak," protes Rio tidak percaya seorang Arghi akhirnya tidak tahu tentang memasak. Ah, Arghi rupanya tak sepandai itu dalam memasak. Merebus telur saja tidak tahu berapa menit, padahal itu hal sederhana.
"Ya, kamu kira aku makan telur rebus? Buat apa makan telur rebus kalau telur bisa diolah jadi makanan lain yang lebih enak," geram Arghi yang melihat dirinya tengah diremehkan oleh Rio. Rio berdecak dan pergi ke kamarnya, mengambil ponsel.
Dengan bantuan mbah Google dia akhirnya tahu berapa menit waktu yang dibutuhkan untuk merebus telur. Arghi memerhatikan Rio, "pasti 15 menit," tebak Arghi. Rio diam saja, internetnya masih mencari, belum menampilkan apapun. Sampai gambar di layar berubah menjadi hasil pencarian.
"Kalo udah tahu kenapa dikasih kayaknya," geram Rio dengan kesal. Hasil menampilkan 15 menit waktu untuk merebus telur matang sempurna. Arghi hanya berlagak sombong dan meremehkan Rio yang tidak mempercayainya. Apalagi sekarang Rio malah menyalahkannya, benar-benar aneh.
"Makanya jadi orang jangan suka nuduh. Bener kan ucapanku, pasti 15 menit," sombong Arghi. Rio yang tengah mengatur timer berdecih.
"Kalau tahu, nggak mungkin dikasih 'kayaknya', itu namanya nebak bukan beneran tahu," pungkas Rio tidak mau kalah. Apalagi Arghi sendiri yang mengatakan dia tidak pernah merebus telur, artinya itu hanya tebakan yang tepat saja. Seperti gosok berhadiah, hanya asal gosok dan sedang memiliki keberuntungan jadi, kertas menampilkan hadiah pada bagian yang digosok.
"Idih, namanya juga orang pinter. Kalau nggak nyari sensasi ya, nggak asik lah," ujar Arghi membela diri.
"Kagak jelas dasar!" decakan dari Rio membuat Arghi tertawa. Rio benar-benar geleng-geleng kepala dibuatnya. Ucapan Arghi barusan sungguh tidak ada sangkut pautnya dengan perdebatan mereka. Benar-benar manusia di depannya ini sinting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...