37. Sebuah Kejujuran

358 22 0
                                    

Kedua orang tua Rio tiba di rumah saat Rio memberikan telur rebus kepada Arghi. Arghi yang melihat itu segera menyembunyikan telur rebus yang sudah tidak lagi panas tersebut ke belakang tubuhnya. Dan menarik Rio agar berada di sebelahnya, setelah sebelumnya Rio membuka kunci pintu rumah.

"Jangan cerita apa-apa tentang semalam," bisik Arghi membuat Rio mengernyit. Bukankah sebaiknya mereka menceritakan hal semacam ini kepada orang dewasa. Kedua orang tua Rio bisa membantu Arghi kalau mereka menceritakan kejadian semalam. Arghi menggeleng saat Rio terus menatapnya, "itu rahasia kita," lanjut Arghi. Rio tidak bisa mendesak Arghi agar mau menceritakan kekerasan yang ia alami. Dia menurut dan hanya diam saja saat kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah.

"Udah sarapan belum? Ini bunda beli bandeng presto," ujar Ica saat masuk ke ruma menenteng oleh-oleh dari Semarang.

"Udah makan, Bun," jawab Rio. Dia lantas mengekor bundanya pergi ke dapur. Arghi juga ikut pergi ke dapur. Melihat tante Ica mulai mengeluarkan isi dalam plastik. Ada banyak oleh-oleh yang dibeli. Termasuk kue wingko babat. Arghi sangat suka dengan jajanan bulat itu. Sangat khas dan legit di mulutnya.

"Arghi mau? Ambil saja, Nak," ujar Ica melihat wajah antusias Arghi. Sementara Rio tidak bereaksi, dia tidak telalu suka makanan manis. Arghi membuka paperbag wingko babat lantas mengambil satu bungkus kue tersebut. Memakannya dalam satu kali lahap.

"Arghi masih di sini, sudah makan belum?" tanya Ari melihat teman putranya di dapur bergabung bersama dengan istrinya. Dia berdiri di belakang Rio, menyentuh kedua bahu putranya yang tingginya hampir menyamainya itu. Rio menoleh menatap ayahnya dan nyengir kuda. Ingatannya tentang tadi malam masih hangat dan itu sangat memalukan.

"Iya, Om. Sudah sarapan tadi bareng sama Rio," jawab Arghi. Dia sudah menelan habis wingko babat. Rio menyomot satu wingko babat lantas memberikannya pada Arghi. Dia tahu temannya itu tidak akan puas hanya dengan makan satu kue yang ukurannya hanya seukuran tiga jari itu. Arghi yang menerima wingko babat itu dan cengengesan menahan malu.

"Dimakan aja, tante beli dua bungkus kok. Rio nggak suka, yang suka kakaknya. Jadi, satu bungkus buat nak Arghi saja, daripada nggak ada yang makan," ujar tante Ica. Dia senang melihat Arghi makan lahap di rumahnya. Rio dan Devina tidak memiliki nafsu makan yang tinggi, jadi jajanan di rumah banyak yang terbuang sia-sia.

"Lho wajahmu kenapa, Arghi?" tanya Ari saat sadar wajah Arghi lebam-lebam. Sontak semua menatap Arghi, termasuk Rio. Arghi yang sebelumnya makan santai karena merasa tidak ada yang menyadarinya membeku di tempatnya berdiri.

"Eh, itu om, kemarin jatuh, jatuh dari tangga," jawab Arghi merasa bingung harus menjawab apa. Dia tidak ada ide lain untuk berbohong tentang luka di wajahnya. Tidak mungkin meminta Rio menjelaskan kepada om Ari, karena mereka belum merencanakan apapun. Arghi bahkan tidak tahu hari ini orang tua Rio sudah kembali ke rumah.

"Kok sampai gitu? Ini kayak luka pukul lho, Ar. Kamu beneran jatuh dari tangga?" tanya Ari kurang percaya dengan jawaban Arghi. Pasalnya kalau luka jatuh dari tangga mungkin area jidat tidak mungkin sampai sudut bibir ikut lebam. Kali ini matanya menyorot Rio yang ada di depannya, "Rio, ada apa? Kamu tahu sesuatu kan?" tanyanya ingin tahu. Pikiran buruk menghinggapi pikirannya. Dia hanya khawatir putranya yang bertubuh besar itu melukai Arghi.

"Nggak tahu, Yah. Dia juga bilang gitu waktu aku tanya," jawab Rio bingung. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya karena Arghi mengancam lewat tatapan mata.

"Mama-papa kamu tahu, Ar?" tanya Ari khawatir. Dia takut anak itu menipunya karena di depannya ada Rio yang terus menjalin kontak mata dengan Arghi. Bisa jadi masalah besar kalau sampai orang tua Arghi melabrak keluarganya karena tahu putra mereka terluka. Apalagi kalau memang benar itu karena Rio, "ayo bicara sama om!" ajaknya mengajak Arghi bicara berdua. Rio hendak mengekor tapi bundanya memanggilnya.

"Rio, bantu bunda masak makan siang ya," ujar Ica. Dia tahu suaminya hendak berbicara empat mata dengan Arghi. Di pikiranya dia juga sudah berpikir buruk tentang luka itu. Bagaimana kalau ternyata putranya yang melakukan itu, melihat keduanya tampak terus bertatapan. Seolah Rio mengajak bicara Arghi dengan tatapan matanya.

"Tapi, bun–..."

Rio tidak bisa menolak. Dia lantas mengikuti bundanya masuk ke dalam dapur. Dia takut Arghi ditanyai macam-macam oleh ayahnya. Dia harusnya membantu Arghi untuk berbohong tadi, bukan malah melimpahkannya pada Arghi. Ah, bagaimana ini?

Di dapur, Rio tidak diminta melakukan apa-apa. Bundanya melakukan semuanya sendiri bahkan tidak mengatakan apapun pada Rio. Rio berdiri diam di belakang bundanya, bingung harus apa. Dia merasa kikuk berdua dengan bundanya karena tadi berbohong. Tetapi, kalau ia tidak berbohong kasihan Arghi.

"Rio, jujur, Nak. Apa yang kamu lakukan sama Arghi, hm?"

Rio yang tengah berdiri melamun segera tersadar saat mendengar pertanyaan dari bundanya. Ica tidak menatap putranya melainkan sibuk mencuci sayur bayam. Rio bingung apakah dia harus jujur atau harus melanjutkan kebohongannya. Dia takut Arghi marah padanya kalau ia mengatakan semuanya dengan jujur.

Karena tak kunjung mendapat jawaban dari putranya, Ica berbalik menatap Rio. Putranya jauh lebih tinggi darinya. Meski begitu dia dapat melihat dengan jelas wajah tegang Rio. Ada keraguan di wajah itu. Ica tahu, meskipun ia tak bisa membaca isi hatinya. Tetap saja dia seorang ibu yang sangat dekat dengan Rio.

"Jujur, Nak, jangan pernah bohong sama bunda. Bunda bisa bantu kamu jelasin ke ayah kalau alasan Rio masuk akal," ujar Ica. Dia tahu mungkin Rio khawatir kena amuk ayahnya. Padahal berkali-kali Rio bandel, tapi sampai detik ini baik dia maupun suaminya tidak ada yang pernah mengamuk kepada Rio.

"Bun, janji jangan cerita ini ke siapapun. Termasuk ayah sama Arghi," ujar Rio. Dia akan menceritakan semuanya. Dia takut sendiri membayangkan kalau tidak mengatakan kejadian semalam kepada bundanya. Perasaannya kalut melihat kekerasan yang dialami Arghi di depan mata kepalanya.

"Iya sayang, bunda janji," jawab Ica dengan nada lembut. Dia mengusap lengan putranya untuk mengatakan dia siap mendengar kejujurannya. Rio menggigit bibir bawahnya, lantas meneguk ludahnya sendiri. Perlahan dia memberanikan diri menatap bundanya.

"Arghi dipukuli orang tuanya semalam, Bun. Bahkan hari jumat aku lihat Arghi di pukuli di dalam rumah. Mereka memperlakukan Arghi dengan buruk, Bun," cerita Rio dengan wajah sendunya. Dia masih tak percaya bahwa Arghi hidup seperti itu.

"Kamu bicara apa, Rio? Jangan bohong!" tangan Ica memukul ringan lengan Rio. Dia tentu terkejut putranya mengatakan hal buruk untuk menjelaskan masalah lain. Dia bahkan menjelekkan keluarga Arghi. Dia kembali memukul lengan putranya, "katakan yang jujur, Rio. Kamu udah janji tadi. Nggak mungkin orang tua Arghi seperti itu, jangan mengada-ada!"

"Aku serius, Bun. Mereka mukul Arghi semalam, bahkan itu bukan kali pertama. Aku nggak mungkin jelekin orang lain, mataku Rio lihat sendiri. Dan luka di wajah Arghi yang jadi bukti. Rio bahkan semalam nelpon ayah, tapi nggak berani cerita jujur," gumam Rio di akhir kalimat.

"Kapan kamu nelpon ayah? Kamu berbohong? Jangan berbohong seperti itu, Rio!" sekali lagi lengan Rio kena pukul bundanya. Itu pukulan ringan, sekedar mengingatkan putranya untuk tidak melakukan kebohongan.

"Aku udah jujur bunda. Sekarang terserah bunda mau percaya atau enggak," ujar Rio frustrasi. Dia berdecak kesal karena bundanya tidak juga memepercayainya.

"Tetap di sini!" tegas Ica dengan wajah galak. Rio mengerucutkan bibirnya kesal. Ica melangkah pergi ke ruang televisi dimana suaminya dan Arghi tengah berbicara berdua. Dia perlu mengonformasi semua yang dikatakan Rio barusan. Dia hanya kurang percaya kalau keluarga seharmonis itu bisa melakukan kekerasa pada putra mereka sampai babak belur seperti itu.

 Dia hanya kurang percaya kalau keluarga seharmonis itu bisa melakukan kekerasa pada putra mereka sampai babak belur seperti itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang