MHT 2

71.9K 1.9K 6
                                    

masih awal banyak-banyakin up biar pada nyambung 💗💗

————

"Halo dedek Shey, bareng bang Sandy ya?" sapa laki-laki jangkung saat Shey baru menginjakkan kakinya di gerbang sekolah.

Gadis itu hanya melirik datar ke arah laki-laki yang menatapnya dengan senyum dan mengangguk. Dia Hisyam, anggota OSIS yang merupakan anak buah kakaknya dulu. Anak buah dalam organisasi induk itu.

"Mau abang anterin ke kelas ga?" tanya Hisyam. Laki-laki tinggi itu sudah menjauhi gerbang tempat teman-teman se-organisasinya berada. Karena mengikuti langkah Shey.

"Bang Hisyam kan harus sama temen-temen yang lain ngecekin murid yang mau masuk sekolah. Gimana sih, masa mau nganterin aku."

"Kan bisa izin. Nanti abang bilang sama Samuel kalo mau nganterin kamu. Pasti dibolehin." rayu Hisyam dengan senyum manisnya. Kulitnya yang sawo matang semakin menambah kesan diabetes bagi yang melihatnya.

Shey menggeleng. "No, engga mau. Nanti aku aduin abang ya kalo bang Hisyam tuh lalai sama tugasnya."

Sandy, walaupun sudah menjadi alumni tetapi beberapa kali masih mengunjungi sekolah ini. Selain untuk mengunjungi adiknya, juga untuk melihat bagaimana para adik kelasnya menjalankan organisasi yang dulu dipimpinnya. Tak jarang ia juga memberikan pembekalan untuk para pengurus OSIS baru.

"Orang bang Sandy yang nyuruh sendiri buat awasin kamu." ucap Hisyam.

Shey menatap tak percaya kepada kakak tingkatnya itu. "Ah yang bener?" tanyanya meniru nada bicara pada sound salah satu aplikasi.

"Aduh, dedek Shey gemesnya. Lama-lama abang bilang bang Sandy buat pacarin kamu nih." Tangan Hisyam terulur hendak mencubit pipi Shey gemas. Tetapi gadis itu sudah menghindar terlebih dahulu.

Shey berlari sekuat tenaga menuju kelasnya tanpa menghiraukan Hisyam yang sudah meneriakinya. Huh, anggota OSIS yang satu itu memang tidak waras. Selalu menggodanya dalam setiap kesempatan. Shey sedang menunggu Sandy untuk mengepret orang itu.

Sesampainya di kelas Shey disambut dengan tatapan penuh tanya dari teman-temannya yang sudah duduk manis di bangku masing-masing. Gadis itu hanya tersenyum membalas tatapan mereka dan menuju tempat duduknya.

"Haloo temankuu, oy oy!" Shey melambai-lambaikan tangannya di depan wajah teman sebangkunya yang tampak menatapnya datar.

"Tumben amat baru dateng." sindir Jeje sebagai teman dekat sekaligus sebangku dengan Shey.

"Itu tuh gara-gara abang. Lama banget mandinya." ucap Shey dengan bibir mengerucut kesal. Mengingat abangnya yang membuat dia berangkat lebih siang dari biasanya. Entah apa yang dilakukan abangnya itu.

Jeje tertawa menertawakan wajah kesal Shey. Lucu sekali batinnya.

"Eh lo tau kaga, ntar ada guru baru katanya." Jeje memulai acara memakan bangkai pagi hari ini. Sepertinya gadis itu tidak bisa hidup tanpa bergosip.

"Kamu tau dari mana?" Shey mengerutkan dahinya.

"Ya gue kan selalu dikasih info. Lo lupa, kalo temen lo ini anggota FBI yang nyamar jadi siswi?" ucap Jeje dengan alis terangkat dan nada sombongnya.

Oh iya. Shey baru ingat kalau temannya ini admin akun gosip sekolah. Alias selalu mendapat kabar gosip dari manapun jadi jangan takut ketinggalan informasi jika berteman dengan Jeje.

Bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Pukul tujuh tepat semuanya sudah duduk di bangku masing-masing. Selesai berdoa, sebagian mereka langsung mengeluarkan buku untuk menyambut mata pelajaran pertama.

Pukul tujuh lebih lima menit seorang guru laki-laki memasuki kelas. Menimbulkan kernyitan dan raut bingung di wajah siswa siswi kelas XI IPS 4 itu. Mereka merasa asing dengan guru yang masuk ke kelas mereka ini.

Tetapi si guru nampak acuh. Ia langsung meletakkan tumpukan bukunya di meja dan berdiri di depan kelas. Tepat di tengah-tengah. Dengan kedua tangan di depan perut bertaut di sela-sela jari. Terlihat berwibawa.

"Selamat pagi." sapa guru itu.

"Pagi... Pak."

"Sebelumnya perkenalkan saya Aksel, Aksel Reyansyah guru geografi baru kalian. Di sini saya menggantikan bu Weni yang dipindahtugaskan ke sekolah lain. Mohon kerja samanya terima kasih."

Begitulah perkenalkan sederhana dan tanpa nada bicara oleh Aksel. Guru muda itu. Wajahnya juga datar seperti jalan tol tanpa polisi tidur.

Para murid hanya mengangguk-angguk. Tidak berniat untuk bertanya atau berbicara lebih karena menyadari keengganan dari sang guru. Mereka juga hanya mengikuti instruksi Aksel saat diminta membuka buku paket.

"...Jadi ada tiga faktor yang mempengaruhi keragaman budaya Indonesia, yaitu letak geografis, posisi strategis dan kondisi ekologis. Indonesia memiliki faktor-faktor tersebut dalam kehidupan masyarakatnya." jelas Aksel kepada para muridnya. Tangannya menuliskan tiga faktor itu di papan tulis menggunakan spidol.

"Sekarang, tugas kalian uraikan satu per satu dari faktor tersebut berikut dengan contohnya. Cukup mengerjakan satu tugas dalam satu meja."

Mata Aksel menyapu seluruh kelas melihat anak muridnya. Terlihat anggukan dari beberapa murid dan mulai mengambil buku untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Beberapa mulai berdiskusi dengan teman sebangkunya.

"Je, kamu cari yang mana? Kita bagi tugas aja ya biar cepet." ucap Shey menarik buku paketnya.

Jeje mengangguk. "Gue cari contoh sama pemaparannya, lo cari uraian faktornya." jawab gadis itu.

Shey mengangguk mengiyakan. Setuju dengan ucapan Jeje. Gadis itu segera mencari materi sesuai tugasnya agar cepat selesai dan bisa dikumpulkan. Bukannya ingin cari perhatian atau apa tetapi ingin segera mengistirahatkan otaknya. Sekalian bersantai-santai.

Kedua teman sebangku itu dengan cepat menyelesaikan tugas mereka. Tidak terlalu banyak berbicara hanya tangan yang bergerak menuliskan materi temuan. Shey dan Jeje berhasil menyelesaikan tugas mereka.

Jeje menyerahkan hasil tugas kepada Shey agar temannya yang maju untuk memberikan kepada pak Aksel. Selain dia malas, tempat duduk Shey juga strategis untuk keluar masuk. Karena Shey berada di pinggir bukan di dekat tembok.

Shey menurut saja, melangkah maju membawa sekalian tugas teman-temannya yang malas seperti Jeje.

"Ini pak," ucapnya meletakkan tumpukan kertas itu di atas meja guru. Aksel hanya mengangguk sekilas membuat Shey melangkahkan kakinya kembali ke tempat duduk.

"Pak Aksel ganteng ya." celetuk Jeje tiba-tiba.

"Dewasa gitu. Apalagi kalo pake kacamata beuh damage nya to the bone." Kata-kata yang diucapkan Jeje sangat menunjukkan betapa ia manusia yang hobi menggulir aplikasi berlogo tangga nada itu.

"Kamu sukanya yang tua-tua ya." Shey bergidik membayangkan temannya menyukai Aksel. Gurunya itu memang sih terlihat lebih muda dari guru-guru yang lain, tetapi jika dibandingkan dengan murid seusianya ewh sangat jauh beda. Aksel seperti om-om.

"Bukan gitu, heh." Jeje menepuk bahu Shey. "Maksud gue tuh auranya. Bukan umurnya. Lagian kurang kerjaan amat gue suka sama yang tua. Mending sama si Jepri, udah ganteng kaya lagi." Kali ini Jeje menunjuk si tampannya kelas yang sedang bercanda dengan teman sebangkunya. Memang sih Jepri tampan. Tapi agak gesrek.

"Kalo kamu suka pak Aksel juga gapapa." ucap Shey. "Atau jangan-jangan, kamu malah suka pak James guru sosiologi itu?" sambungnya menatap Jeje dengan senyum menggoda.

"Makin ngawur aja nih bocah. Namanya pak Jamal ya, ngapa lo ganti jadi James James segala."

"Kan biar keren. Lagian James itu ada singkatannya." jawab Shey.

"Apa coba?"

"Jamal emes."

Tawa ngakak meledak di antara keduanya. Entah sadar atau tidak mereka masih berada di kelas, sehingga atensi manusia-manusia lain di sana tertuju pada mereka. Termasuk guru yang sedang menunggu muridnya mengumpulkan tugas.

"Kalian berdua nanti ke ruangan saya."

————
hayoloo mau diapain tuh

MY HUSBAND TEACHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang