Hmm....... Ada kalanya aku merasa sedikit kesal atau menganggapnya menjengkelkan, tapi saat dimana aku benar-benar marah sangatlah jarang sehingga bisa dihitung dengan satu jari.
Aku rasa aku tidak semarah ini bahkan ketika aku sering ditipu di masa lalu.
Aku rasa aku akan dengan tenang berkata, 'Itu bisa terjadi dalam hidup.'
"Ini mungkin...... Pertama kali."
Kataku dengan wajah kaget.
Apakah itu diteruskan dari putra mahkota? Karena tidak sepertiku yang kurang emosi, dia terlalu emosional.
Karena sering bertemu akhir-akhir ini, bisa saja sedikit tertular. Sifat pemarahnya itu.
Menurutku Raven awalnya tidak pemarah seperti ini. Sejujurnya, itu lebih mendekati sisi dingin.
Raven menatapku dengan wajah seperti melihat makhluk aneh.
"........"
Dia tampak menyedihkan dan tidak berkata apa-apa selama beberapa saat, berkonsentrasi membalut tanganku.
Setelah membalut semua perban, dia dengan lembut mengelusnya seolah-olah aku telah terluka karena pisau. Lalu dia menghela napas.
"Apa yang membuatmu begitu marah?"
"Tuan Raven."
"Apa? Apa Aku melakukan kesalahan!"
Ketika aku memanggil nama Putra Mahkota, dia berteriak dengan wajah yang seolah-olah akan mati karena ketidakadilan.
Aku baru saja memanggilmu sekali.......
Aku menatap wajahnya yang menyeringai.
Putra mahkota, yang melakukan kontak mata denganku, tampak gemetar seolah sedikit terkejut.
Aku menatap mata merah putra mahkota untuk beberapa saat.
Dia tampak gelisah pada awalnya, tapi tak lama kemudian dia menatapku dengan tenang.
Saat aku melihat pupil merahnya, aku merasakan air mata mengalir dari dalam perutku, jadi aku mengulurkan tanganku dan membelai wajahnya.
"Tuan Raven."
".......... Eung."
Dia menjawabku dengan mata dan suara yang terkesan terpesona di suatu tempat. Seperti kucing yang bahagia, dia menutup matanya dengan ringan dan meletakkan pipinya di atas tanganku sambil menggosoknya.
"Kamu tahu, kan? Tidak mungkin kamu tidak tahu."
".......Apa?"
Putra mahkota sepertinya sadar dengan pertanyaanku dan dengan mata setengah terbuka dia menatapku dan menanyakan pertanyaan balik dengan ekspresi tak tahu malu di wajahnya.
Sepertinya niatnya adalah menarikku menjauh meskipun aku mengetahuinya. Aku tidak ingin memaksa untuk bertanya karena aku tidak ingin mengungkapkannya, tapi itu bukan sesuatu yang ada hubungannya denganku.
Saat aku terus menatapnya dengan mulut tertutup dan merasa tidak puas, dia akhirnya menghela nafas menyerah.
"Ha....... aku tidak ingin ketahuan. Jadi, apa yang kamu katakan?"
Berapa banyak yang harus aku katakan? Aku ragu-ragu karena suatu alasan sebelum membuka mulut.
"Mata merah....... Mereka mengatakan itu menakutkan. Menyumpahi....... "
Tidak peduli apa pun itu, karena itu ada di hadapanku, aku harusnya mengabaikan apa yang mereka katakan menjijikkan. Namun, ekspresi putra mahkota tidak berubah sama sekali setelah mendengar kata-kataku. Seperti yang diduga, sepertinya dia sudah mengetahuinya.