Jimin menatap lagi nomor rumah yang terdapat di pintu, membandingkannya dengan alamat yang dikirim oleh Mark. Setelah yakin, dia langsung menekan bel dan menunggu.
Ngomong-ngomong dia pergi ke rumah Mark sendirian untuk bertemu pengacara yang sementara tinggal di rumah ini. Sedangkan pemilik rumah masih ada urusan di rumah sakit. Sebenarnya Jimin masih ragu untuk menemui orang lain diluar circle-nya, terlalu khawatir jika orang yang ditemuinya hanyalah pengkhianat. Jaga-jaga, dia sama sekali tidak membawa apapun agar ketika ketakutannya terjadi, bukti yang dikumpulkannya masih dalam keadaan aman.
Butuh sepersekian detik sampai pintu terbuka dan menampakkan seorang pria dengan pakaian rumahan. Kacamata baca bertengger di kepalanya. Ekspresinya kentara bingung begitu melihat tamu yang asing.
"Temennya Mark ya?"
Jimin jadi teringat kata-kata Mark sekitar satu jam yang lalu sebelum dia kesini.
"Gue sengaja gak ngasih tahu dia soal kedatangan Lo. Jadi kayaknya kemunculan Lo secara spontan disana lebih bagus. Gue bakal pulang secepatnya buat jaga-jaga."
Pria itu menatap sekitarnya lalu kembali menatap Jimin. "Kayaknya Mark masih di rumah sakit deh."
Jimin mencoba untuk tersenyum ramah lalu menggeleng kecil. "Saya kesini bukan mau bertemu Kak Mark tapi bertemu anda. Anda Kim Junmyeon, kan?"
Pria itu tampak waspada dengan sorot mata yang tajam. "Kamu siapa? Ada perlu apa dengan saya?"
"Park Jiyeon." Jimin coba mengumpan pria itu dengan nama mamanya dan berhasil. Pria itu terlihat semakin siaga. "Anda masih menyelidiki kasus Park Jiyeon, kan?"
"Saya tidak tahu apa maksud kamu. Dan juga, sepertinya kamu salah orang."
"Saya memiliki informasi soal kematian Park Jiyeon."
Pria itu semakin memincingkan matanya. "Dengar, saya tidak tahu kamu siapa dan apapun soal Park..."
"Delapan tahun yang lalu anda menerima telepon dari orang yang mengatakan hal itu. Tapi orang itu tidak datang ke tempat yang sudah anda janjikan."
"Saya tidak pedu..."
"Orang itu adalah Park Jimin, putra sulung Park Jiyeon." Jimin menyunggingkan senyum tipis. "Dan itu adalah saya."
Ekspresi pria itu kentara sekali ingin tahu tapi dia masih terlihat waspada. "Oke, saya memang menyelidiki kematian Park Jiyeon sampai sekarang. Tapi soal Park Jimin, itu sama sekali tidak mungkin. Dia sudah meninggal delapan tahun yang lalu."
"Lebih tepatnya dipaksa meninggal agar bukti yang ada pada saya lenyap. Ceritanya sedikit rumit tapi saya tidak mati. Bagaimana jika kita membicarakannya?"
"Kamu harus sadar jika tindakan ini sangat berbahaya."
"Anda juga lebih tahu soal itu." Jimin tersenyum miring. "Menyelidiki kematian Park Jiyeon sejak awal adalah sebuah kesalahan tapi anda mengabaikannya."
Pria itu menghela nafas. "Topik ini sedikit sensitif tapi mari membicarakannya di dalam."
"Baik."
*Triumvirate*
Junmyeon tahu tawarannya pada orang asing itu adalah sebuah kesalahan. Saat ini bisa saja nyawanya tengah terancam. Tapi rasa penasarannya sangat menang hari ini. Junmyeon harus memuaskan rasa penasarannya.
Orang asing itu duduk di ruang tamu Mark dengan tenang. Tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan tapi Junmyeon tetap waspada.
Setelah meletakkan minuman untuk mereka, Junmyeon langsung duduk berseberangan dengan orang itu. Rambutnya blonde, terlalu mencolok. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Pakaiannya lumayan, baju putih yang ditimpa sweater rajut cokelat dan celana jeans. Wajahnya tidak terlihat seperti tokoh antagonis, malah terkesan manis. Junmyeon jadi merasa tengah mencurigai seorang anak SMA yang lugu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIUMVIRATE SQUAD : 2ND BOOK [COMPLETED]
Fiksi PenggemarKelanjutan cerita anak-anak Triumvirate dan konflik yang bermunculan di sekitar mereka. Setelah semua yang terjadi, apakah pertemanan mereka akan terus bertahan atau akan berhenti di tengah jalan?