Atmosfer ruang rapat sudah sangat tidak nyaman sejak dimulai. Mereka yang berbentuk huruf U itu seolah-olah disengaja dibagi berdasarkan dua kubu yang saling bertolak belakang. Suasana semakin berat saat Jihan dan Taeyong masuk ke ruangan bersama seorang pria tinggi. Kartu pengenalnya bertuliskan nama Ha Jiyeong.
Pria berkacamata yang berdiri dibalik podium langsung membungkuk hormat pada pria tinggi itu.
"Apakah kami terlambat?" tanya Jiyeong seraya berjalan ke podium.
"Kebetulan pelaporannya baru saja selesai." Pria berkacamata itu kembali membungkuk sebelum akhirnya melangkah mundur dan bertukar posisi dengan pria tinggi itu.
Hanya dengan tutup mata saja, Jihan tahu suasana ruangan itu sangat dingin. Dua kubu itu terlihat hanya diam-diam tapi jika diperhatikan lebih detail, mereka saling melontarkan tatapan tidak suka yang nyaris luput dari pandangan. Cewek kelas tiga SMA itu sampai meneguk liurnya dengan kasar. Suasana ruangan ini lebih mengerikan daripada saat dia dan teman-temannya dikepung sekelompok preman.
"Lee Taeyong!" interupsi seorang pria berjas cokelat yang ada di kubu ayahnya Jihan. "Aku rasa kamu perlu menjelaskan maksud kedatanganmu saat ini."
Taeyong tersenyum lalu membungkuk hormat. "Maaf, Pak, tapi saya hanya melakukan tugas disini!"
"Apa kamu berkhianat?" tanya pria lain dari kubu yang sama.
"Berkhianat?" balas Taeyong yang diiringi tawa kecil. "Rasanya itu terlalu berlebihan. Saya bahkan tidak di pihak siapa-siapa."
"Tapi kamu..."
Park Jisung. Pemimpin kubu tersebut mengangkat tangan kanannya dengan ekspresi datar yang cukup khas. Pandangannya tertuju pada Taeyong yang masih menampilkan ekspresi seramah mungkin. Kemudian pandangannya beralih pada Jihan yang juga tengah menatapnya dengan alis ternaik.
"Itu pilihannya. Kalian tidak bisa memaksakan keputusannya."
"Terima kasih atas pengertiannya, Tuan Park!" ucap Taeyong yang diiringi bungkukkan penuh hormat. Kemudian dia menggiring Jihan ke arah podium dimana pria yang masuk bersama mereka tadi sudah menunggu giliran. "Silahkan, Pak!"
Pria bertubuh tegap itu segera mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan membuka dengan pidato singkat. Bukan pidato sebenarnya, hanya penjelasan tentang pesan mendiang Park Jiyeon tentang penerusan perusahaan yang harusnya jatuh ke tangan Park Jimin selaku putra sulung dan seterusnya.
Jihan tidak terlalu menangkap penjelasan tersebut karena dia sibuk membaca ekspresi setiap anggota dewan direksi yang ada di ruangan ini. Kubu ayahnya, jelas sekali sedang memandang tidak suka ke arahnya. Kubu ibunya, tidak terlalu kentara. Lebih seperti terbagi dua, antara tidak suka dan tidak peduli. Tapi sepertinya mereka lebih tidak suka lagi kepada kubu ayahnya.
"Waktunya Lo perkenalan diri!" bisik Taeyong yang langsung menyadarkan cewek itu.
Jihan cukup cepat tanggap dan langsung membungkukkan dirinya. "Perkenalkan, saya Park Jihan, anak kedua dari mendiang Park Jiyeon!"
Seisi ruangan tampak tidak terkejut. Sebagian besar dari mereka juga tampak berbisik, mengatakan seberapa bermalasahnya remaja SMA di depan sana. Beberapa juga terlihat tidak ambil pusing.
Jiyeong kembali mengambil alih perhatian. "Sesuai dengan pesan tertulis yang ditinggalkan pemimpin lama PJ Groups, perusahaan sepenuhnya diserahkan kepada anak-anaknya, baik Park Jimin maupun Park Jihan."
"Tapi Park Jimin sudah meninggal sedangkan Park Jihan masih terlalu muda untuk menjalankan perusahaan. Bukankah lebih baik jika menyerahkannya kepada seseorang yang jelas-jelas berpengalaman seperti Park Jisung?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIUMVIRATE SQUAD : 2ND BOOK [COMPLETED]
FanfictionKelanjutan cerita anak-anak Triumvirate dan konflik yang bermunculan di sekitar mereka. Setelah semua yang terjadi, apakah pertemanan mereka akan terus bertahan atau akan berhenti di tengah jalan?