161. Konfrontasi di Sumatera (11)

43 7 2
                                    

Pertarungan antara Master Cindaku melawan Geni berjalan semakin intens, Bara kini hanya duduk di bawah sebuah batang kayu yang berukuran cukup besar, agak jauh dari posisi Mak Lampir.

"Aneh, sejak kapan Geni sekuat itu? Seingatku dia tak sekuat itu saat bersama denganku?" pikir Bara dengan heran.

Tak lama kemudian, Agni pun ikut duduk di sampingnya untuk menonton jalannya pertempuran.

"Gimana menurutmu, Bara? Apakah Geni akan bisa memenangkan pertarungan?" tanya Agni.

"Hmm, entahlah. Seingatku, dia tak sekuat ini. Bahkan saat melakukan Penyatuan Roh pun, aku juga tak sekuat itu!" jawab Bara dengan nada heran.

Mendengar itu, Agni pun memandang wajah Bara.

"Sepertinya itu adalah hal yang wajar, sejak awal kalian bukanlah partner yang cocok. Karena sifatmu dan Geni saling bertolak belakang!" ujar Agni.

"Heh, kau sama saja dengannya. Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk berlatih dan menuruti segala keinginan Geni. Tapi dia sama sekali tak bisa mengabulkan keinginanku untuk jadi lebih kuat!" balas Bara dengan nada sinis.

"Bara, aku mendengar kabar bahwa kau membentuk sebuah Geng Motor yang sering berurusan dengan hal gaib ya? Kenapa kau melakukan hal itu?" tanya Agni lagi.

"Karena itu menyenangkan, aku suka melihat bagaimana para mahluk gaib yang selama ini tampak superior di hadapan para manusia, mulai tunduk di bawah kakiku. Hal itulah yang mengilhamiku untuk membentuk sebuah geng motor, karena dengan naiknya reputasi gengku dijajaran para kriminal, maka akan lebih mudah mencari mahluk gaib untuk dihadapi. Apalagi biasanya kami mengatasi mahluk gaib atas suruhan para mafia, selain mendapatkan kepuasan, aku juga mendapatkan uang yang banyak atas bisnisku itu!" jelas Bara sembari tersenyum menyeringai.

"Tapi sayangnya, sekarang bisnisku itu hancur akibat ulah sesosok Kuntilanak merah yang sampai sekarang masih belum kutemukan!" lanjutnya lagi dengan nada jengkel.

"Lalu, jika kau mendapatkan kepuasan dengan menaklukkan para mahluk gaib, kenapa kau juga membunuh manusia?" tanya Agni lagi.

"Itu karena hal itu juga sama menyenangkannya seperti menghabisi para mahluk gaib!" jawab Bara.

Kemudian, Agni pun mendongak ke langit sembari menghela napas.

"Pantas saja kau dan Geni begitu kesulitan untuk berkembang, ternyata perbedaan sifat kalian benar-benar sangat bertolak belakang!" ujar Agni, membuat Bara semakin merasa heran.

"Apa maksud dari ucapannya itu? Kenapa dia dan Geni selalu mengatakan aku tak cocok menjadi partner Geni? Apa dia sedang mengejekku?" pikir Bara dengan bingung.

***

Saat ini, kondisi Bima tampak cukup buruk, di seluruh tubuh astralnya dipenuhi oleh luka bakar akibat serangan Bara tadi. Tapi ia tetap mencoba untuk bangkit dan memperhatikan jalannya pertempuran.

"Sial, kenapa Master dari tadi hanya fokus bertahan dan menghindar? Kenapa dia tak balas menyerang? Apa dia begitu kesulitan membalas serangan bocah itu, sampai-sampai hanya dijadikan samsak oleh musuh?" ucap Bima dengan penuh tanda tanya.

Sementara itu, Praja hanya fokus memperhatikan setiap gerakan yang Master Cindaku lakukan. Ia ingin tahu, apa yang sebenarnya sang Master pikiran saat ini.

Hingga, seiring waktu Praja mulai menyadari sesuatu. Master Cindaku berperilaku seperti itu bukanlah tanpa alasan, bukan pula karena dia kalah ataupun terdesak. Tapi Master Cindaku sedang mengajarkan suatu hal pada para muridnya.

"Teman-teman, perhatikan setiap hal yang terjadi dalam pertarungan ini. Setiap gerakan Master, setiap gerakan Geni, perhatikan semuanya tanpa terkecuali!" seru Praja, membuat teman-temannya bingung.

IndagisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang