#050 : Diksi Tanpa Jeda

175 10 0
                                    

Yang akhirnya kita simpan hanyalah sejumput kenangan di ampas kopi yang telah kita nikmati. Lalu membuangnya sembarang arah pada pucuk ilalang yang sudah layu, senja dan fajar tidak lagi saling tersenyum.

Atau percakapan manis di balik kaca kereta yang sudah usam, angin menghujaminya di antara hujan dan petir. Kutemu semua keramahan di peron-peron stasiun menua yang terlalu cepat berakhir.

Serupa fantasi di luar nalar menjalar ke lintasan galaksi, betapa aku ingin mendesirkan bait-bait ilusi. Kemudian lesap dalam jenggala rindu senyummu, aku mendengar hening.

Kamu adalah definisi cinta, bukan hanya euforia sesaat. Bukan pula detak bom waktu menuju ledak, tanpa jejak.

Sampai lelah aku menghitung jumlah gundukan rindu, sampai sang bayu kini enggan singgah untukku.

Menjarah rindu yang terbujur dalam desir angin utara, menukik intuisi menerobos tujuh petala langit.

Lalu kusajakkan lagi cinta lewat rona temaram fajar yang menjalar, rindu ini tetap tegar.

Ritmamu binasa menjadikan kiranaku sedikit redup. Seperti awan yang digulung kelam, aku adalah sajak yang terluka.

Sajakku tetap menari tak peduli, remehmu tertawakan pilu yang kususun rapi-rapi.

Ruang di mana dia meracik raung, orang yang ia tuju seakan butaaksara. Menapaki denyut waktu yang diam-diam menyimpan dendam dalam tiap bilik.

Selasa, 11 Des Riau
21:04

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang