#172 : Negeri (Tak) Bertuan

95 0 0
                                    

Tak perlu lagi mendaki gunung, karena Tanah Melayu kini bagai negeri di atas awan
Kau bisa mencumbui kabut hingga mati dan berdansa dengan api
Tapi kau tak bisa mencari kehijauan yang terlebih dahulu berlari
Dengarkanlah jeritan sang paru-paru yang hampir mati
Engkau dan engkau adalah para budak yang diperbudakkan oleh kezaliman itu sendiri

Sayang, bagimu ini hanya soal materi dan relasi
Berdiam dan lari; kau anggap sebagai cara tepat memisahkan diri
Lantas pecintamu mulai memaki
Kenapa engkau yang kami salahkan?
Kenapa engkau yang kami maki?
Lantas, kemana lagi harus berlari dan bernyanyi?
Menggapai istanamu kami tak mampu
Menyebut namamu pun dianggap kriminal
Haruskah Riau tinggal kenangan?
Tersambar kabut dan tak lagi terdengar?

Kami rindu langit Sumatera nan biru
Yang menjadi atap dan bumbung bagi rumah-rumah kami
Sepanjang malam merajut cita nan temaram
Tiada satu cawangan untuk kami jadikan sebagai celah
Hujan, segeralah bertamu!
Selat Panjang kini telah menjadi hamparan abu

Inilah negeri yang tak bertuan itu
Tersohor kaya namun miskin rasa cinta pada alam raya
Membabat habis hutan belantara
Demi perut buncit yang hampir pecah
Kemana hendak menengadah?

Melayu Riau
Tak lagi nampak matahari yang silau
Tak lagi tampak cahaya kilau
Tak lagi ada sinar kemilau
Yang ada hanya risau
Kian mendesau

Melayu Riau ialah punca bahasamu
Tolak ukur tutur bahasa, sastra dan hikayat
Haruskah direnggas dengan api yang panas?
Haruskah direbut oleh kabut?

Riau tak sebercanda itu bagi kami
Cinta dan mimpi kami bermula dari sini
Tidakkah Riau istimewa di matamu?
Sebak dada pilu mengawan di jantung hati
Duka ini kembali datang dan entah kapan akan pergi
Langit, menangislah
Agar persada bumi pertiwi hijau merekah kembali
Langit, menangislah
Biarkan durjana pengkhianat negeri memahami
Kuasa Ilahi di atas jangkauan dan materi

-Arkhan Ziyad, Yuri Azura, & Seri Yani Zefanya (15/9/19)

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang