Dua

3.4K 237 1
                                    

Pria itu duduk berdampingan dengan ibunya. Perkataan dari dokter yang barusan itu, sungguh membuat keduanya terhenyak. Tidak ada kabar buruk yang pernah mereka dengar, selain kabar yang barusan itu.

Keduanya masih tidak bisa menyangka, kalau masalah berat ini harus menimpa keluarga kecil mereka.

"Kondisi Rafa semakin kritis, Pak Ardiansyah. Jika kita tidak bisa menemukan si pendonor itu, saya takut anak anda tidak bisa bertahan lebih lama lagi."

"Tolonglah cucu saya, Dokter!" Si wanita tua itu berkata dengan air matanya yang berlinangan. "Temukan pendonor itu! Tolong temukan secepatnya!"

"Kami akan berusaha semampu kami, Ibu Anggita."

"Ya Allah -- Ya Rabb, hamba rela memberikan seluruh harta hamba jika orang itu memang benar bisa menyelamatkan cucu hamba.."

Ardiansyah keluar dari ruangan yang sungguh sangat menyiksa batinnya itu.

Mendapati kenyataan bahwa anaknya itu tidak akan mampubertahan lebih lama lagi, kalau si pendonor itu tidak cepat ditemukan.

Padahal sepanjang hidupnya, Rafa adalah sosok anak laki-lakinya yang kuat dan jarang mengeluh sakit apapun.

Selalu aktif dalam kegiatan apapun di sekolah dan kampusnya.

Dan kini, anaknya itu mulai disibukkan dengan aktivitas barunya sebagai model beberapa iklan parfum dan operator seluler.

Bahkan beberapa production house mulai menawarkan tawaran sebagai tokoh pemeran pembantu utama dalam film-film ftv.

Hanya saja semua itu berubah dengan cepat sekali. Hanya dalam hitungan hari saja, kehidupan anak bungsunya itu tidaklah lagi sama.

Ardiansyah duduk seorang diri di kursi tunggu rumah sakit. Meratapi kehidupannya yang seolah tak pernah bisa tenang.

Selalu saja ada masalah demi masalah yang datang silih berganti menghampiri keluarga kecilnya itu.

"Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita sendiri, maupun orang-orang yang sangat kita cintai.."

Ardiansyah mau tak mau menoleh ke arah si pemilik suara itu. Dilihatnya sesosok nenek tua dengan seekor kucing persia dengan bulu berwarna keemasaan yang sangat lebat dan indah itu, yang sedang duduk di atas pangkuannya.

Cepat-cepat Ardiansyah menghapus air matanya. Demi menyembunyikan kesedihannya itu di hadapan orang lain.

"Apa kabarmu, Ardiansyah?" Nenek tua itu melempar senyum. Dan jelas membuat Ardiansyah tersentak bukan main.

"Anda tahu saya?"

Si nenek mengangguk sekali. Sementara tangannya terus saja membelai lembut kucing persianya itu.

"Hapuslah air mata kesedihanmu itu, Ardiansyah. Karena waktu kedatangannya tidak akan lama lagi."

"Waktu kedatangannya..?" Ardiansyah mengerenyit. "Siapa yang anda maksud itu?"

"Meskipun kita sudah pernah bertemu, tapi kau tetap tidak bisa mengingatnya ya..?"

Si nenek tua itu menurunkan kucingnya. Lalu dia menyentuh tangan Ardiansyah.

'Rafa, kamu apakan lagi adekmu ini?'

'Rafa gak ngapa-ngapain kok, Yah! Dianya aja yang gangguin Rafa terus! Udah tahu Rafa lagi belajar..'

'Rafa, awas ya! Kalau sampai kamu nakal lagi sama Dafa! Aku pukul kamu sampai nangis!'

'Kenapa sih Kak Sam selalu aja ngebelain Dafa?! Sebetulnya adek Kak Sam itu ---'

Nenek tua itu menarik tangannya kembali. Tersenyum dengan penuh arti pada Ardiansyah.

"Dafa ---" Mata Ardiansyah berkaca-kaca. "Ia..."

"Bersabarlah sedikit lagi saja, Ardiansyah. Sambutlah ia dengan senyum bahagia. Tidak dengan kesedihanmu saat ini."

"Dafa --- ia --- anakku ---"

Si nenek tua itu mengangguk. "Lihatlah kejutan apa yang akan ia bawa untuk kalian. Dan ---"

"Dan apa?!!" Suara Ardiansyah meninggi. "Apa anda tahu dimana Dafa?!! Apa anda tahu dimana dia sekarang?!! Tolong katakan padaku, Nenek!!"

Si nenek menghela nafas dengan raut wajah berubah lesu. Lalu ia memanggil dua kucingnya yang sedang mengeong persis di depan kamar dimana Rafa sedang dirawat.

"Jika kau tidak bisa menjaganya seperti dulu. Maka jangan salahkan takdir, jika kau tidak akan bisa bertemu lagi dengannya setelah pertemuan yang kedua nanti.."

"Tolong katakan dimana dia!!?"

Si nenek tua masih tetap duduk di kursinya. Tatapannya begitu tenang dan damai sekali.

"Ingatlah Ardiansyah, bahwa perpisahan itu amatlah pahit rasanya. Ingatlah itu selalu.."

Wwuuuzzz...!

"Ayah? Barusan ayah bicara sama siapa?" Sesosok pemuda setinggi 182 senti, dengan kulit putih bersihnya itu muncul dengan dua cup kopi panas di tangannya.

"Ayah lagi bicara dengan ---" Ardiansyah celingukkan. Sebab nenek tua itu sudah tidak ada di kursi itu. Bahkan sejauh matanya memandang, ia tak bisa lagi melihat sosok itu.

"Tadi nenek itu ada disini, Sam! Dia duduk di sebelah Ayah, terus dia bilang kalau Dafa --- Dafa akan datang menemui Ayah!"

Pemuda itu menghela nafas sambil meletakkan dua cup kopi panas itu di atas kursi tunggu.

"Sam rasa ayah terlalu lelah. Pulanglah, Yah. Biar Sam yang jagain Rafa disini."

Ardiansyah merasa kalau tadi ia benar-benar berbicara dengan sosok nenek tua itu. Tidak mungkin kalau ini semua hanya mimpinya saja. Sebab tadi itu --- terasa begitu nyata olehnya.

'Semoga kita bisa bertemu lagi, Ardiansyah.'

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang