Dua.Delapan

762 93 0
                                    

Sampai jam tujuh lewat lima belas, Dafa masih juga belum kelihatan. Inu sendiri pun jadi cemas memikirkannya, karena sejak semalam ia sudah pamit dan sama sekali tak memberikan kabar padanya. Bahkan ketika Inu menghubungi Mbok Parni, Mbok Parni sendiri pun tidak tahu kemana anak majikkannya itu pergi.

"Saat ini yang kita percaya cuma Dafa seorang, tapi kalau sampai dia gak datang, kita harus gimana?!!" Eka panik luar biasa.

'KEPADA SELURUH PESERTA YANG TELAH MENDAFTAR ULANG DAN MENDAPATKAN NOMER PESERTA, DIHARAPKAN UNTUK MEMASUKI ARENA PERLOMBAAN..!'

Sementara suara pengumuman dari panitia perlombaan itu sudah menggema berkali-kali, dan sebagian peserta sudah mulai berjalan teratur memasuki pintu sisi samping stadion, seluruh siswa SMK Ellite Rovario yang turut hadir pagi ini masih diam dalam posisinya dan tentunya dalam keadaan panik dan cemas sekali.

"Kalau Dafa gak ada, kita gak ikut aja!" Tegas Tita.

"Anak-anak, masa kita sudah jauh-jauh datang kesini, harus kembali lagi?"

"Tapi Bu Fatma, kita itu gak bisa apa-apa tanpa Dafa!!" Eka mulai tak bisa mengontrol emosinya.

Selain karena Dafa yang masih juga belum kelihatan, hal lain yang membuat siswa SMK Ellite Rovario tak nyaman adalah, pandangan sinis, aneh, merendahkan, dan menghina dari siswa-siswa sekolah lain.

"TEMAN-TEMAN..!!"

Mereka semua terhenyak. Jelas mereka kenal betul dengan suara itu. Hanya saja, kenapa mereka tidak bisa melihat wujud si pemiliknya?

"Aduh-aduh, permisi dong aku mau lewat..."

Akhirnya yang ditunggu pun tiba juga. Namun mereka melihat ada yang aneh dengan penampilan Dafa pagi itu.

Dengab nafas tersengal, Dafa menatap wajah teman-teman dan keempat gurunya yang ikut serta pada pagi itu. Senyumnya mengembang lebar, meski peluh membanjiri sekujur tubuhnya.

"Dafa kok, baju kamu..."

Dafa minta waktu sejenak pada Tita untuk minum. Barulah ia menjelaskannya kemudian.

"Mulai sekarang, ini adalah seragam koki sekolah kita yang baru.."

"HHAAHH..?!!"

Jelas seragam koki itu betul-betul kelihatan sangat berbeda sekali, dari seragam koki sekolah lainnya. Warnanya bukanlah putih. Melainkan krem lembut, dengan bordiran nama mereka masing-masing di atas saku bajunya, dan terdapat juga nama sekolah mereka tertera di sisi lainnya.

"Sekarang kalian cepat ganti baju ya.."

"Tapi, Dafa.." Tita kelihatan ragu.

"Kalian bisa ganti baju di mobilku. Tapi cepat ya! Soalnya waktu kita gak banyak..!"

Keempat cewek itupun langsung menaiki mobil Dafa, dengan diarahkan Mbok Parni yang rupanya ikut serta pagi itu.

Sementara untuk teman-teman cowoknya, mereka langsung mengganti pakaian ditempat. Karena masing-masing dari mereka, sudah memakai kaos daleman putih polos.

"Kerenn..!!" Dafa berseru histeris saat semua teman-temannya itu sudah berkumpul kembali dan berubah dengan penampilan baru yang terlihat lebih fresh.

"Anak-anak, kalian terlihat sangat luar biasa..." Puji Bu Nuriyanti.

Selanjutnya Dafa membagi-bagikan topi biru muda bertuliskan SMK Ellite Rovario kepada beberapa temannya yang ikut mengantarkan dan juga guru-gurunya.

"Aku juga sudah bawa spanduk sama bendera sekolah kita. Pokoknya nanti Pak Inu, Bu Nuriyanti, Bu Fatma, sama Bu Fauziah harus semangat ya!!"

"Kau yang membuat ini semua, Dafa?" Tanya Bu Fatma takjub.

"Dafa --- kenapa kau harus ---" Bu Nuriyanti nyaris saja menitikkan air mata. Ia benar-benar terharu melihat begitu semangat dan antusiasnya sekali anak laki-laki yang belum berapa dikenalnya itu.

"Pak Popo sama Mbok Parni juga semangat ya!! Oke...!?"

"Oke, Den Dafa..."

"Teman-teman, sekarang kita masuk dan kita hadapi mereka semua..!!"

"Dafa..."

#####

Semua perhatian sontak terpusat pada Dafa dan kedelapan teman-temannya yang baru saja melewati pintu masuk khusus peserta itu.

Sebagian peserta dari sekolah lain, mendapati kalau tadi itu Eka dan teman-temannya itu terlihat lesu dan sangat tidak percaya diri sekali. Dan lagi, mereka itu tadi tidak melihat sosok anak laki-laki berkulit putih pucat dengan rambut cokelat tebal dan sepasang mata biru jernihnya itu.

Dafa melambaikan tangannya ke arah pengunjung, dewan juri, tamu-tamu undangan khusus, dan juga para wartawan yang sudah siap dengan kamera profesionalnya masing-masing.

Stevie Wallerima sendiri sungguh tak menyangka dengan perubahan yang dibuat oleh Dafa dan teman-temannya itu.

"Jadi dia, anak laki-laki itu?" Sesosok wanita yang belum terlalu tua, dengan santainya bertanya sambil mengetukkan jemarinya. "Bisakah kita mulai sekarang?"

"Aku tak yakin kalau Kinno bisa menghadapinya.." Ujar Anthony pelan. Menarik perhatian dua orang pria yang duduk mengapitnya untuk berkomentar menanggapinya.

"Aku memang belum melihatnya melakukan apapun. Tapi dari pernyataanmu dan Ibu Stevie, sepertinya anak laki-laki itu memang ancaman yang sangat berbahaya buat Kinno.." Urai Vallentino.

Anthony menoleh pada rekannya itu. "Tidak hanya Kinno. Tapi Pak Martin Luther juga.."

"Sehebat itukah dia?" Tukas Tomo. Seorang pria berkewarganegaraan Jepang, yang sering kali bolak-balik Bali-Jepang, cuma untuk mengurusi bisnis resort dan restorannya itu.

Sementara itu dari salah satu sudut kursi penonton, Anggita Suryatama dan keluarga kecilnya itu masih saja melemparkan pandangannya ke berbagai penjuru arah.

Untuk mencari dimanakah sebenarnya anak laki-laki bernama Dafa itu berada.

"Ardiansyah, bagaimana jika kita bisa menemukannya?"

Ardiansyah pun tak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Sebenarnya ia masih tak sepenuhnya mempercayai perkataan Rafa. Sebab ia tahu betul bagaimana sikap mantan isterinya itu. Jelas tidak akan mungkin, melepaskan Dafa seorang diri apalagi di tengah keramaian seperti sekarang ini.

"Tes-tes --- iya --- halo, namaku Dafa. Dan mereka semua ini adalah teman-temanku."

Langit seolah mendengar doa mereka. Karena secara mengejutkan, layar besar disana itu kini menampilkan sosok seorang anak laki-laki dengan sepasang mata biru jernihnya.

Lalu tak sampai beberapa detik, sosok itu sudah menghilang lagi dari layar besar itu. Berganti dengan kedua panitia yang sedang memberikan pengarahan, lalu dilanjutkan dengan bunyi sebuah letupan pistol yang menandakan bahwa perlombaan memasak tahunan tingkat nasional, telah dimulai...

"Kau melihatnya, Ardiansyah..."

Wajah Ardiansyah berubah pucat pasi. Meski hanya sekilas melihatnya, wajah anak laki-laki itu seolah telah menancap kuat di alam ingatannya.

Rafa mengeluarkan teropong kecilnya. Lalu senyumnya mengembang.

"Dafa yang bodoh dan malang --- aku ragu apakah kau masih bisa mengingatku atau tidak..."

#####


















GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang