Tiga.Enam

742 89 0
                                    

"Ehemmm..!"

Inu berdehem dari depan pintu kamar tidurnya. Memperhatikan Dafa yang sejak kemarin tidak mau berbicara sedikitpun padanya.

"Ada pasar malam loh di lapangan depan sana.."

Dafa tidak peduli sedikitpun. Mau Monas dipindah ke depan kosan ini sekalipun, dia tidak akan tertarik dibuatnya.

"Ada komidi putar -- ada juga yang jual gulali..."

'Hhhahh...!' Dafa menghela nafas pendek. Dilapnya peluh di dahinya itu dengan lengannya.

"Emangnya Pak Inu punya uang?"

Inu bersorak gembira dalam hati, karena akhirnya Dafa mau juga meresponnya.

"Punya dong, Fa. Kan saya sudah gajian."

Dafa menggaruk kepalanya. Seingat dia, guru-guru di sekolahnya kan tidak mungkin gajian lagi, mengingat sudah tak ada satupun lagi dari siswanya yang membayar uang SPP bulanan.

"Kau gak percaya?" Inu pun memperlihatkan isi dompetnya. Namun rupanya Dafa pun tak mau kalah. Ia juga memperlihatkan simpanan uang hasil jualannya di dalam kaleng bekas biskuit. "Kita pergi habis maghrib gimana?"

Dafa menggeleng. "Aku gak bisa, Pak Inu."

"Kenapa, Dafa?" Ekspresi Inu berubah lagi.

"Soalnya aku ada pesanan nasi kotak buat pengajian temannya ibu kos besok pagi. Jadi malam ini aku harus menyiapkan semuanya.."

Inu menatap lekat-lekat anak laki-laki polos itu. Tidak seharusnya Dafa bekerja keras melakukan itu semua, sementara ia masih mempunyai satu keluarga utuh yang kondisi keungannya bahkan sangat berlebihan.

"Aku mau pergi dulu ya.." Katanya setelah mengenakan topi putih murah yang dibelikan Inu pada saat keduanya mengunjungi bazar malam minggu lalu.

"Kau mau kemana?"

"Aku mau ke pasar dulu. Mau beli telor, daging, sama yang lainnya.."

"Saya antar ya.."

"Gak usah, Pak Inu. Soalnya belanjaan aku banyak. Pasti nanti enggak bisa keangkut di motornya Pak Inu.."

Inu ikut aja apa yang dikatakan Dafa. Jadinya, mereka berdua naik angkot yang langsung menuju pasar. Jaraknya sih gak begitu jauh-jauh banget, kalau enggak macet mungkin 15 menitan sudah sampai.

Selama di dalam angkot, Inu terus memperhatikan Dafa yang duduk berhadapan dengannya. Tadinya Dafa duduk di sebelahnya, tapi gak tahu kenapa, Dafa tiba-tiba pindah.

Kaos yang dipakai Dafa bukanlah kaos mahal miliknya. Tapi kaos itu adalah kaos Inu yang sebenarnya masih muat, namun sudah agak pudar warna putihnya dan melar di bagian lehernya.

Sandal yang dipakai Dafa pun cuma sandal jepit yang beli di warung depan kosan. Padahal Inu tahu koleksi sandal dan sepatu mahal Dafa.

"Kita udah sampai, Pak..!"

Inu terhenyak. Apakah sebegitu lamanya ia melamun, sampai-sampai tidak sadar kalau angkot yang mereka tumpangi sudah berhenti persis di depan sebuah pasar induk?

Bau amis, busuk, dan lainnya langsung menyergap indera penciuman Inu. Dulu ia dan bapaknya di kampung, hampir setiap pagi ke pasar untuk menjual hasil kebun. Tapi pasar di kampung sangat berbeda dengan kondisi pasar di ibu kota ini.

"Ayo Pak Inu, cepetann..!!" Dafa setengah menarik tangan Inu.

Inu tak bisa berkata apa-apa. Dafa memiliki bunda yang sangat kaya raya. Dia juga masih mempunyai ayah dan nenek, yang merupakan pengusaha sukses dan kaya di negeri ini.

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang