Dua.Tujuh

780 88 0
                                    

Ardiansyah dan Anggita Suryatama jelas saja kaget, saat Rafa turun menyusul mereka di meja makan dengan pakaian semi formalnya.

"Kau mau kemana lagi, Rafa?"Tanya Ardiansyah.

Rafa mengeluarkan selembar brosur yang sudah lusuh dan lecek itu. Lalu memperlihatkannya pada ayah dan neneknya.

"Sejak kapan kau suka lomba memasak, huh?" Komentar Sam dengan nada setengah sinis.

"Aku memang tidak suka. Tapi tujuanku kesana adalah untuk melihat Dafa." Jawab Rafa tegas. Membuat ketiga orang itu tersentak mendengarnya.

"Apa kau bilang, Rafa?" Suara Anggita Suryatama terdengar bergetar.

Rafa menggigit roti berisi selai kacang dengan santainya. "Aku akan melihat Dafa. Apa kalimatku kurang jelas, nenek?"

"Kau cuma mengarang!" Tegas Sam.

"Terserah saja." Katanya sambil meneguk segelas susu, lalu bangkit dan mengambil kunci motornya. "Aku berangkat duluan."

"Rafa, tunggu!" Suara Ardiansyah terdengar keras dan lantang. Membuat remaja itu menghentikan langkahnya dan berbalik kembali. "Kau tidak akan Ayah izinkan pergi sendirian!"

Anggita Suryatama pun cepat-cepat bangkit dari duduknya. "Trinity, cepat bantu aku!!"

Sesosok wanita dengan kemeja putih belang hitam dan rok pendeknya itu, datang tergopoh dari arah dapur dengan membawa sebuah lap kotor di bahunya.

"Ibu Anggita mau kemana?!"

"Kau tidak usah banyak tanya! Ambilkan tongkat, baju hangat, dan tas tanganku!"

"Baik, Bu Anggita.."

Jam 6 lebih 25 menit, kelima orang itupun segera berangkat menuju Stadion Gelora Bung Karno. Namun kelihatan sekali antara Rafa dan Sam duduk saling menjaga jarak, dan tak pernah saling bicara, jika itu sangat tak terpaksa sekali.

"Apa benar aku akan bisa melihatnya kembali disana?" Suara lirih Anggita Suryatama memecah keheningan diantara mereka. "Ya Allah Ya Rabb, berikanlah hamba kesempatan sekali lagi untuk bisa bertemu dan meminta maaf atas segala kesalahan yang telah hamba lakukan padanya..."

"Bagaimana Sam, apa kau bisa menemukan akun media sosialnya?" Tanya Ardiansyah pada anak sulungnya itu.

Sam menggeleng. "Belum, Yah. Sepertinya Dafa memang tidak punya akun medsos.." Ucapnya dengan jemari tangannya terus sibuk mengetikkan sesuatu di layar iPadnya.

Dari bangku paling belakang pun, Rafa juga sebenarnya tak bisa duduk dengan tenang. Bagaimana ia bisa melihat adik bungsunya, sementara sudah 10 tahun dia tak pernah melihat wajah adiknya itu.

Rafa juga mengetikkan nama 'Dafa' pada mesin pencarian google. Berharap bahwa mesin pencarian raksasa itu, bisa memberikannya sebuah petunjuk.

Namun sayang sekali, sampai mobil mereka tiba di pelataran parkir Stadion GBK, dia tak berhasila menemukan sebuah petunjuk apapun mengenai adik bungsunya itu.

"Ramai sekali, Ardiansyah. Bagaimana kita bisa menemukannya?" Anggita Suryatama kelihatan lesu dan patah semangat. Apalagi kini, di hadapannya itu, penuh dengan lautan orang.

"Yah, disana loket tiketnya." Tukas Sam.

"Gak perlu." Potong Rafa. "Aku sudah booking tiket vip dari jauh-jauh hari."

"Kau..."

Rafa menyeringai. "Kenapa? Kau pikir orang sakit dan lemah sepertiku tidak bisa melakukan apa-apa, hah?"

Deg...!!

Langkah Rafa terhenti saat satu sosok menyenggol lengannya dengan sangat keras sekali.

Mata keduanya bertemu selama beberapa saat. Namun masing-masing dari kedua remaja dengab postur tubuh yang sama tinggi itu, tak saling melempar senyum sedikitpun maupun salam basa-basi.

"Kenapa kau masih disini?!" Suara Sam menyadarkan Rafa. "Kau gak lihat kalau pintu masuk sudah dibuka?!"

Rafa mengangguk pelan. Sekali lagi ia menoleh pada sosok yang semakin berjalan menjauh darinya.

Telinganya tidak mungkin salah dengar, saat sosok tadi itu menyebut satu nama yang sangat tidak asing baginya.

Hanya saja, apa hubungan sosok tadi dengan nama yang terus dibicarakan dengan beberapa temannya itu...?

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang