Dua.Satu

896 103 0
                                    

Sebagai Kepala Sekolah, Bu Nuriyanti tahu bahwa sangat berat sekali untuk menyampaikan hal ini kepada seluruh siswanya. Tapi apa mau dikata, setelah perjuangan yang tidak seberapa demi terus mempertahankan keberadaan sekolah ini --- akhirnya pagi ini, ia mengumumkan bahwa tiga minggu dari sekarang, sekolah ini -- SMK Ellite Rovario -- akan ditutup selamanya.

"Terima kasih untuk semua anak-anak Ibu yang paling membanggakan dan luar biasa. Terima kasih untuk setiap perjuangan dan keras kalian selama ini." Suara wanita berumur 40 tahunan itu terdengar serak dan bergetar.

Wajah-wajah cerah dan ceria yang biasanya selalu menghiasi setiap siswa di sekolah itupun -- pada pagi ini, seolah hilang ditelan oleh sesuatu bernama 'mimpi buruk' itu.

Bu Nuriyanti menoleh pada Inu. "Terima kasih sebesar-sebesarnya saya ucapkan khususnya kepada Pak Inu. Yang telah mengorbankan materinya yang tidak bisa dibilang sedikit, demi keberlangsungan kegiatan belajar mengajar di sekolah ini."

Inu pun cuma bisa mengulas senyum getir. Ia sendiri masih belum ada bayangan akan melanjutkan kerja dimana, setelah sekolah ini benar-benar ditutup nantinya. Meski Inu adalah guru baru di sekolah ini, namun perhatiannya pada sekolah dan murid-muridnya disini, melebihi perhatiannya kepada bapak dan adiknya di kampung. Tak sedikit uang yang sudah ia keluarkan demi membayar listrik, dan membeli perlengkapan belajar mengajar seperti spidol dan lembar soal yang difotocopy.

"Anak-anak..." Bu Nuriyanti menitikkan air mata. "Mulai pagi ini, kalian sudah bisa menguru segala berkas dan surat kepindahan di ruangan Tata Usaha. Dan bagi kalian yang masih mempunyai tunggakkan administrasi, silahkan untuk ---"

"SEKOLAH INI TIDAK AKAN DITUTUP...!!"

Sebuah suara menghentak seluruh orang yang ada di lapangan upacara pagi itu.

Mereka semua mencari-cari, darimanakah sumber suara itu datangnya?

Sampai kemudian, sosok itu muncul dengan seragam sekolah lamanya...

"TIDAK ADA SEORANG PUN YANG BOLEH MENUTUP SEKOLAH INI!!"

Dan dia berdiri di hadapan ratusan siswa itu dengan mata memelotot, dan suaranya yang lantang dan tegas.

Semua siswa yang sedang berbaris pagi itu tentu saja terkejut bukan main. Terutama dengan kelima siswa yang mengambil barisan paling depan itu.

"Bukannya dia itu ---" Eka melirik keempat sahabatnya.

"Anak itu..." Sheila menimpali.

Whuuzzz..., Angin sejuk berhembus menerpa seluruh siswa yang sedang berbaris di lapangan upacara yang tidak seberapa luas itu.

"Maaf, kau ini ---"

"Namaku Dafa Ardiansyah. Dan aku ---"

"MAU APALAGI KAU DISINI?!! APA KAU DAN TEMAN-TEMANMU ITU BELUM PUAS MELIHAT KAMI SEMUA MENDERITA?!!" Teriak seorang siswa.

"BENAR!! KALIAN ITU ORANG-ORANG KAYA YANG TIDAK PUNYA HATI!!"

"PERGI KAU DARI SEKOLAH KAMI!!"

"KITA USIR SAJA DIA!!"

"Anak-anak tenang...!! Semuanya tenang...!!" Bu Nuriyanti mencoba menenangkan para siswanya yang mulai ricuh itu.

"BU NURIYANTI, DIA ITU KAN ---"

Siswa yang merangsek ke bagian terdepan dan berbicara dengan lantang itu, sontak terdiam. Dan begitu juga dengan semua siswa yang sejak tadi ribut-ribut menolak kehadirannya.

Dafa membuka seragamnya. Dan ia mengeluarkan sebuah korek gas dari saku celananya.

Lalu apa yang dilakukan Dafa berikutnya, membuat mereka semua tersentak. Begitu juga dengan Kinno dan teman-temannya yang ternyata memperhatikan dari dekat tembok pembatas yang sudah dihancurkan sebagian itu.

"KAU LIHAT KINNO, MULAI DETIK INI AKU BUKANLAH BAGIAN DARI SEKOLAHMU ITU LAGI!!"

Para murid kedua sekolah itu saling bertukar tatapan. Ada sebuah tanda tanya besar yang menghinggapi kepala para siswa itu.

"DAN AKU BERSUMPAH DEMI APAPUN, AKU AKAN MENYELAMATKAN SEKOLAH INI!! AKU TIDAK PEDULI, MESKI AKU HARUS MENGORBANKAN SELURUH NYAWAKU SEKALIPUN!!"

"Kenapa ia sampai melakukan itu?" Ucap Sheila lirih.

"Sebenarnya apa maksudnya ia melakukan itu?" Eka kini menatap sosok Dafa dengan tatapan dalam.

'Anak-anak, lihatlah bagaimana dia datang dan membawa segala keajaibannya untuk kalian semua...'

Kelima remaja itu tersentak. Mereka saling menatap satu sama lain. Memastikan bahwa mereka mendengar suara tak berwujud itu lagi.

"Kalian dengar suara barusan..?" Tanya Tita pelan. Dan langsung direspon dengan sebuah anggukkan oleh keempat sahabatnya itu.

"Teman-teman semuanya ---" Dafa kembali berbicara. Kobaran api yang membakar seragam sekolah lamanya itu pun sudah padam. "Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, jika kita selalu mau berusaha, berjuang, dan berdoa."

"Tapi kami sudah melakukan itu semua..." Seorang siswa menanggapinya.

"Ibu Nuriyanti ---" Dafa menoleh pada wanita dengan jilbab berwarna hijau tuanya itu. "Berikanlah aku sedikit waktu saja untuk bisa menyelamatkan sekolah ini.."

"Dafa..." Bu Nuriyanti kembali menitikkan air mata. "Kau tidak perlu bersusah payah melakukan ini semua..."

Dafa agak sedikit terkejut dengan jawaban itu. Tapi ia tak pantang menyerah. Ia kini maju mendekati teman-temannya. Dengan hanya mengenakan kaos singlet dan celana abu-abunya.

"Teman-teman, aku tidak akan bisa melakukannya sendirian. Jadi --- maukah kalian membantuku?" Mata Dafa pun kini berkaca-kaca. "Kita bersama-sama berjuang, menyelematkan sekolah ini, SMK Ellite Rovario..."

"Apa yang bisa kita lakukan dalam waktu tiga minggu?" Ujar Gabriel dengan kepala setengah menunduk.

"Tolong bantulah aku..." Sebulir air mata mengalir turun membasahi pipinya.

"Dafa..." Inu yang berada di barisan para guru pun sampai kehabisan kata-kata. Dadanya terasa amat sesak. Menyaksikan bagaimana seorang anak laki-laki kurus dengan kulit putih pucat dan mata birunya itu, berbicara di depan ratusan siswa lain yang sudah putus asa dan tak mempunyai semangat serta harapan lagi.

"Baiklah jika kalian tidak mau membantuku. Tapi aku berjanji dan bersumpah, aku -- tidak akan pernah meninggalkan sekolah ini! Aku tidak akan pernah meninggalkan kalian semua!!"Suara Dafa kembali meninggi. "Karena dengan tanganku sendiri inilah, aku akan membuat SMK Ellite Rovario, menjadi sekolah kejuruan terbaik yang pernah ada di negara ini!!"

Eka menatap keempat sahabatnya. "Haruskah kita membantunya? Haruskah kita mempercaya ucapannya itu?"

Dari salah satu depan pintu ruang kelas, nenek tua itu berdiri dengan senyum tipis mengulas di bibirnya yang kering dan keriput.

'Ketika api itu sudah berkobar, hanya ada satu cara untuk memadamkan. Tapi sayangnya --- api itu tidak akan pernah bisa padam...'

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang