Empat.Dua

747 93 5
                                    

Sudah sejak pukul 11.00 siang, rombongan SMK Ellite Rovario itu terlihat memenuhi pintu kedatangan di Bandara Soekarno Hatta. Sambil membawa bendera, dan spanduk sekolah mereka, anak-anak berseragam putih abu itu terlihat antusias dan tak sabaran ingin segera menyambut kedatangan Dafa dan teman-temannya yang lain. Terlebih saat Stevie Wallerima memberitahu bahwa Dafa berhasil membawa pulang piala kemenangan itu dengan hasil yang sangat membanggakan.

"Kok mereka belum dateng juga ya, Bu?" Tanya seorang siswi.

Bu Nuriyanti pun tak bisa menjawabnya. Karena dia juga tidak tahu persis kapan Dafa  dan yang lainnya akan tiba.

"Ya Allah -- Ya Rabb, akhirnya hamba akan bertemu kembali dengannya. Terima kasih --- Terima kasih karena Engkau telah mengabulkan doaku selama ini..."

Berbeda dengan Anggita Suryatama yang tak henti-hentinya mengucap rasa syukur pada Sang Maha Kuasa, Anindita malah terlihat lesu sekali. Wajahnya yang biasa selalu terlihat cantik mempesona dengan polesan tebal make-up berharga mahal, kali ini terlihat pucat dan polos sekali.

"Ibu, Kak Eka kok datengnya lama banget ya..." Tukas seorang bocah kurus yang tak lain adalah adik dari Eka.

Ya. Tak cuma Bu Nuriyanti, rekan-rekan sesama guru dan juga murid SMK Ellite Rovario yang terlihat dalam rombongan penyambutan siang itu.

Namun para orang tua dan wali dari siswa yang turut serta dalam rombongan Dafa pun,  terlihat menanti kedatangan anak-anak mereka dengan perasaan cemas.

Sampai adzan dzuhur berkumandang, Dafa dan rombongannya masih juga belum terlihat. Ini artinya, jadwal kedatangan mereka sudah mengulur selama satu jam setengah dari waktu awal.

"Itu mereka...!!" Seorang siswa berteriak lantang sambil menunjuk ke arah dalam bandara.

Dan dikejauhan sanalah, akhirnya rombongan itu terlihat juga.

"TEMAN-TEMAN...!!"

Suara Eka yang nyaring dan lantang itu langsung memecah. Dia dan Gabriel mengangkat piala kemenangan itu sambil bergegas berlari.

"Dafa.." Ardiansyah mendadak gugup. Tiba-tiba keberaniannya untuk menemui anaknya itu mendadak menciut.

"Kita menang, Bu Nuriyanti!!" Eka berteriak histeris.

"KITA JUARA PERTAMA TEMAN-TEMAN...!!" Gabriel pun tak mau kalah.

Mata Stevie Wallerima berkaca-kaca melihat remaja-remaja berprestasi yang sangat membanggakan itu.

"Selamat anak-anak..." Ucap Bu Nuriyanti dengan air mata bahagia yang langsung mengalir deras membasahi pipinya.

"Gabriel.. "

Gabriel kaget bukan main saat melihat dua orang yang sangat dicintainya itu, ada diantara puluhan orang di hadapannya kini.

"Papi -- Mami..." Gabriel terbata. Dadanya sesak. Namun sesaknya kali ini bukanlah sesak karena sebuah rasa amarah dan emosi.

"Selamat sayang..."

Gabriel langsung berhambur, memeluk kedua orang tuanya itu.

"Maafin Papi dan Mami ya, Gabriel.. " Ucap maminya sambil membelai kepala remaja itu.

Begitupun dengan Sheila yang sama terkejutnya karena teman-temannya dari panti ikut dalam rombongan penjemputan itu.

"Sheila, mana temanmu yang bernama Dafa itu?"

"Iya Sheila, kita semua ingin ketemu sama dia loh..."

"Kalian tahu tidak, waktu disana, cuma Dafa saja yang bisa berkomunikasi dengan penduduk lokal." Cerita Sheila semangat. "Dafa bisa bicara dengan bahasa Perancis, Jepang, Korea, Belanda, sampai ---"

"Dafa dimana? Dimana dia?"

Pertanyaan Stevie Wallerima itu lantas menyadarkan Eka dan teman-temannya yang lain.

"Bu Fatma, Pak Inu dan Dafa dimana?" Tanya Bu Nuriyanti.

Ditanya begitu, Bu Fatma dan Bu Fauziah pun celingukkan. Menoleh ke kanan dan kiri.

"Tadi Pak Inu ---" Saat menoleh ke sisi barat, Bu Fatma melihat rekannya itu. Namun sepertinya ada yang berbeda dengan rekannya itu. "Dafanya mana, Pak Inu?"

Inu pun kelihatan bingung. "Tadi saya sama Dafa ke toilet. Lalu --- saya fikir dia sudah kembali.."

"Dimana cucuku, Pak Inu?!! Dimana dia?!!!" Anggita Suryatama langsung panik. "Ya Allah..."

Inu pun mencoba menghubungi ponsel Dafa. Namun nomer muridnya itu sedang dalam kondisi tidak aktif.

"Coba hubungi dia terus, Pak Inu..." Anggita Suryatama benar-benar tak bisa menyembunyikan kekalutannya.

"Da --- fa..." Tita nyaris tak berkedip saat melihat sosok temannya itu sedang menaiki sebuah taksi di kejauhan sana. "Itu --- Dafa..."

"Diman ---" Eka tak melanjutkan kalimatnya lagi. Ia pun juga melihat sosok dengan sweater biru muda di kejauhan.

Namun sayangnya, sosok itu telah pergi menjauh dengan taksi yang membawanya entah kemana.

"Kakak, tadi aku dititipin surat.." Sesosok bocah menarik-narik ujung jaket Gabriel.

"Surat? Surat dari siapa?"

Bocah itu mengangkat bahu. Senyumnya lebar dan cemerlang. "Dari kakak yang matanya biru kayak kucing.."

Gabriel pun meraih secarik kertas yang dilipat menjadi dua itu. Lalu dia menatap guru dan teman-temannya dengan perasaan bingung.

"Bacakan, Gabriel.." Pinta Stevie Wallerima.

"Pak Inu.." Gabriel malah mengalihkan wajahnya pada wali kelasnya. Ia pun akhirnya menyerahkan surat itu pada Inu.

Inu menelan ludah. Namun dia buka juga lipatan surat itu.

"Bacakan, Pak Inu.." Pinta Bu Nuriyanti.

Inu mengangguk. Kerongkongannya terasa kering dan berat sekali.

"Terima kasih karena telah membohongiku selama ini. Apa kalian sekarang bahagia melihatku seperti orang bodoh selama ini...?"

Inu menegakkan kepalanya. Mengedarkan pandangannya pada seluruh orang-orang di hadapannya itu.

"Ini semua gara-gara kalian --- tidak seharusnya kalian ada disini...!" Anindita mendesis dengan tatapan sangat mengerikan pada mantan suami dan mertuanya itu. "Brengsek kalian! Enyahlah dari hadapanku selamanya...!"

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang