Lima.Enam

693 85 2
                                    

Enam bulan berlalu sudah. Dan setelah penantian panjang itulah, Dafa akhirnya bisa menginjakkan kaki kembali di sekolahnya.

"Dafa..!!" Eka menyambut dengan suka cita.

Dafa melempar senyum. Meski tidak secerah dulu, namun setidaknya Dafa kini sudah menunjukkan sebuah kemajuan yang berarti.

"Bagaimana perlombaan kemarin?"

Tita langsung menarik tangan Dafa menuju ruang pertemuan. Memamerkan pada temannya itu, sebuah piala kaca yang baru saja ia dan teman-temannya menangkan pada perlombaan memasak kemarin.

Dafa tersenyum bahagia melihatnya. "Sepertinya piala itu lebih indah dari piala yang kita dapatkan di Paris ya?"

"Tapi tetap saja pengalaman luar biasa itu, tak akan pernah bisa kita lupakan. Benar kan teman-teman?" Julian mengedik pada keempat sahabatnya.

Setelah puas melihat piala itu, mereka pun segera ke kelas. Ardiansyah dan Sam, tampak selalu menemani dengan mengekor di belakangnya.

"Ayah.." Dafa menoleh sebelum melangkah memasuki kelasnya.

"Ada apa, Dafa?" Ardiansyah membelai lembut kepala Dafa.

"Ayah sama Kak Sam pulang aja ya.."

"Tidak, Dafa." Sam memotong. "Aku dan ayah akan tetap disini. Ya kan, yah?"

Ardiansyah mengangguk mengiyakan.

"Aku baik-baik aja, Kak Sam." Dafa meyakinkan. "Lagipula, kalau aku butuh sesuatu kan aku bisa bilang sama mereka ataupun Pak Inu.."

"Tapi, Dafa.."

"Ayah..."

Ardiansyah menghela nafas. "Baiklah kalau begitu." Ardiansyah mendaratkan sebuah kecupan di kepala Dafa. "Kalian, Om titip Dafa ya.."

"Siap, Om!" Jawab Gabriel dan Eka kompak.

"Pak Inu, tolong ya.."

"Baik, Pak Ardiansyah."

Jam pelajaran pertama pun dimulai. Teman-teman dan guru-gurunya masih agak cemas dengan kondisinya. Namun sejauh ini, Dafa masih terlihat normal dan biasa saja. Hanya saja wajahnya terlihat sangat pucat, dan ia kelihatan lesu dan lemas sekali.

Saat jam pelajaran matematika, bahkan Dafa bisa menjawab soal di papan tulis dengan sangat tepat sekali.

"Bukan begitu rumusnya, Julian." kata Dafa pada Julian yang sedang mengerjakan soal di depan kelas. "Kau harus memangkatkan dua dulu, baru setelahnya kau bagi dengan bilangan dalam kurung itu.."

Julian terkekeh kikuk. Padahal semalam ia sudah belajar mengenai rumus itu. Tapi kenapa pagi ini, dia lupa semua rumus tersebut ya?

Jam istirahat pun berlangsung. Ada sesuatu hal mengejutkan terjadi. Kinno dan beberapa temannya ikut bergabung makan di kantin SMK Ellite Rovario.

"Kau ingat cokelat payung yang sering kita makan dulu?" Kata Kinno sambil menyodorkan cokelat payung warna-warni pada Dafa.

Dafa tersenyum lebar. "Tapi Kinno, apa kau tidak takut jadi gemuk lagi?"

"Eh Dafa, emangnya dulu itu Kinno segendut apa sih?" Tanya Eka penasaran.

"Dia itu dulu kayak anak babi, Eka.."

Wajah Kinno lantas memerah padam. Ia langsung salah tingkah di hadapan teman-temannya itu.

"Kalau lari pasti dia ngos-ngosan. Udah gitu, dia paling takut sama bola."

"Wah-wah, aku gak nyangka loh -- cowok yang sekarang jago banget main basket, ternyata dulunya sangat takut sama bola.." ledek teman satu sekolahnya.

Mereka semua lantas tertawa riang. Sungguh sebuah pemandangan yang sudah lama tidak terlihat di sekolah itu. Apalagi dengan kehadiran seseorang yang amat spesial di mata mereka semua.

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang