Sembilan

1.1K 119 1
                                    

Dafa duduk menghadap tembok kamar tidurnya. Senyumnya mengembang lebar saat menatap sosok itu di hadapannya.

"Ayah tahu gak, akhirnya Bunda mengizinkan aku sekolah loh..! Seandainya aja ayah masih hidup, pasti aku akan minta ayah yang mengantarku sampai ke depan kelas. Sama Kak Sam juga pastinya."

Begitulah yang dilakukan Dafa hari ini. Setelah mandi pagi dan sarapan, ia pasti akan langsung duduk menghadap tembok, menceritakan semua kegembiraannya itu pada gambar-gambar imajinasi yang ia buat sendiri dengan krayon dan pensil warnanya itu.

Jika ia ingin merasakan hangatnya sinar matahari, maka ia akan berpindah ke tembok di sisi barat. Dimana ada gambar sepuluh matahari berwarna kuning terang yang ia lukis dengat cat minyak, pemberian dari Danu.

Tapi, jika ia ingin melihat bulan dan bintang, ia tinggal menyusup ke baqwah tempat tidurnya, dan mengamati gambar bulan dan ribuan bintang yang ia gambar pada beberapa lembar kertas, lalu ia tempeli di bawah kasurnya itu.

"Sekarang aku pura-puranya udah masuk kelas nih, Yah." Celotehnya riang.

Dafa pun bangkit. Mengambil banyak boneka, robot-robotan, dan mainan lainnya, lalu menyusunnya berderet ke samping di lantai kamarnya.

"Yang jadi gurunya, kau aja ya Pak Brownie bear. Pura-puranya kau sedang mengajar, dan nanti aku masuk diantarkan sama ayah."

Dafa memegang boneka beruang besar berbulu cokelat halus itu. Lalu ia menggerak-gerakkan tangan boneka itu.

"Anak-anak, sekarang kita akan belajar tentang pesawat air yang bisa menghilang.." Suara Dafa berubah besar dan tentunya dibuat-buat.

"Ehemm..!"

Ia berdehem. Lalu pindah posisi.

Tok.. Tok..

"Iya, siapa itu ---?"

"Ini aku, Pak. Murid baru."

"Ohh, masuklah!"

Dafa berjalan masuk ke dalam ruang dengan menyeret lututnya. Ia bahkan sudah memakai tas ransel dan membawa botol minumnya.

"Halo teman-teman. Namaku Dafa. Salam kenal ya. Nanti, habis belajar kita main sama-sama ya."

Mbok Parni dan Pak Popo mengamati dari muka pintu kamar anak majikkannya itu.

Kedua orang tua itu, melihat anak laki-laki itu dengan perasaan sedih. Karena sepuluh tahun lamanya, Dafa harus terus terkurung di dalam rumahnya sendiri. Tanpa pernah melihat dunia luar. Dan tanpa pernah berinteraksi dengan orang lain.

"Den Dafa, sudah waktunya tidur siang."

Dafa merengut. Ia melirik jam tangan biru yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

"Masa aku masih di sekolah udah disuruh tidur sih, Mbok?!"

"Mainnya nanti lagi ya. Sekarang Den Dafa harus istirahat. Biar gak sakit."

"Tapi sekarang kan aku lagi ngerjain ulangan dulu. Nanti kalau aku gak naik kelas gimana?!!"

Mbok Parni tak bisa berbuat apa-apa. Jika ia terus memaksanya, bisa-bisa nanti Dafa ngamuk dan mogok makan lagi.

Lagipula, biasanya Dafa itu orang yang cepat mudah bosan. Lihat saja sekarang, pasti sebentar lagi dia akan bosan dan....

"Aku capek ah..! Sekolah itu bikin pusing! Bikin tugas menggambar, ikut upacara bendera, cium tangan sama bapak dan ibu guru..." Sambil berceloteh, Dafa berguling ke bawah kasurnya. Lalu ia menarik selimut biru muda yang selalu menemaninya.

"Lampunya mau dinyalakan aja, Den?" Tanya Mbok Parni. Namun Dafa tidak menjawab.

Saat melongok ke bawah kasur, Mbok Parni mendapati Dafa sudah tertidur pulas sambil mengemut jempolnya.

Kini tinggal Mbok Parni dan Pak Popo yang sibuk memberesi semua mainan, alat menggambar dan alat tulis yang berserakkan di lantai kamar Dafa.

Dan beginilah kerjaan mereka setiap harinya. Selama bertahun-tahun lamanya.

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang