Lima.Delapan

673 84 2
                                    

Kinno tak tahu harus berbuat apa dengan amplop putih panjang di tangannya. Sebelum ia memutuskan untuk menekan bel rumah berpagar putih itu, sekali lagi ia membayangkan bagaimana perasaan orang yang akan ia berikan amplop putih ini.

Sampai tiba-tiba pintu pagar putih itu pun membuka. Sesosok pria tua berwajah angkuh itulah yang membukanya.

Sementara sesosok pria lain, tampak berdiri di teras depan rumahnya, dengan dua koper besar disisi kirinya.

"Kinno?" Pria berwajah bule itupun langsung mengerutkan dahi ketika remaja itu baru saja turun dari mobilnya.

Kinno berjalan mendekati. Dengan langkah biasa saja.

"Om mau pergi kemana?"

Pria itu mengulas senyum. Senyum yang terkesan tidak tulus. "Tidak ada gunanya juga Om disini lebih lama, Kinno.."

Kinno menggulirkan bola matanya pada Pak Tua James. Keduanya seolah sedang berbicara melalui sorot mata masing-masing.

"Kau jaga diri ya. Kau tahu kan kalau usia Pak Martin Luther semakin tua.."

Kinno menelan ludah. Ia tahu kalau ini pasti akan terasa sangat berat. Namun, apapun yang terjadi, dia tetap harus memberitahukan hal ini.

"Om Anthony..."

Anthony memandang Kinno dengan raut wajah bingung. "Ayolah, Kinno. Perpisahan ini kan tidak untuk selamanya."

Kinno menyodorkan amplop putih itu.

"Apa ini?" Dahi Anthony berkerut.

"Ini..." Kinno menelan ludah. "Hasil tes ---"

Ponsel Anthony bergetar. Memberitahu bahwa pesawat yang akan membawanya pergi jauh, akan segera berangkat.

"Hasil tes apa?!"

"Dafa --"

Anthony pun mengeluarkan secarik kertas yang ada di dalam amplop itu. Rupanya dia masih tidak paham dengan isinya.

"Dafa --- memang benar --- William Adinata.." Suara Kinno terdengar bergetar. "Dan dia --- adalah --- anak kandung --- Om Anthony..."

"Jadi benar?!" Malah Pak Tua James yang menyahut. "Jadi hasil tes itu memang positif membuktikan, kalau anak bermata biru adalah anak kandung ---"

Kinno mengangguk pelan. Tentunya dia melakukan tes DNA secara diam-diam, dengan kerjasama antara dirinya dan Pak Tua James.

"Dafaa ---" Anthony masih menatap kertas putih itu. Tangannya bergemetar. Dan matanya mulai memanas.

'Tolonglah aku Paman Anthony. Aku sangat membutuhkan uang untuk menyelamatkan sekolah dan teman-temanku..'

Anthony teringat ketika Dafa mengunjungi rumahnya dalam keadaan basah kuyup karena hujan yang mengguyur deras. Meminta bantuan darinya, dan ia malah menolaknya mentah-mentah.

'Duhh, Paman bisa gak sih kalau jalan itu matanya lihat ke depan?!! Mentang-mentang aku pendek jadi gak kelihatan ya?!!'

"D-A-F-A..."

Anthony jatuh terduduk lemas. Rasa sedih, kalut, terluka, bercampur menguasainya.

Dan bahkan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, saat peristiwa kelam itu terjadi.

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang