Delapan

1.2K 122 4
                                    

Dia memperhatikan beberapa siswi berseragam putih abu yang melintas di depan warung gado-gado sederhana milik ibunya.

Dalam hatinya ia sangat iri dengan penampilan trendi dan modis cewek-cewek sebayanya itu.

Memakai sepatu kets adidas putih. Tas ransel model kekinian. Serta smartphone canggih yang semakin menunjang gaya dan penampilan mereka.

Ia menunduk, memperhatikan handphone nokia 6600 peninggalan almarhum ayahnya.

Dulu hape itu memang menjadi perimadona. Dan bahkan menjadi salah satu hape gaul dan paling banyak diminati.

Namun kini, hape itu seolah tak ada artinya. Menampakkannya di depan umum, sama saja artinya dengan membuat malu dirinya sendiri.

"Ka, kamu makan dulu sana. Biar gantian ibu yang jaga."

Eka cuma melempar seulas senyum pada ibunya. Ia masuk ke dalam rumahnya. Mendapati kedua adiknya yang masih kecil sedang menonton tv dengan wajah serius sekali.

Ia membuka tudung saji di meja makan. Setidaknya hari ini ia masih bisa menikmati nasi putih dengan tumis kangkung dan ikan asin peda yang ditumis dengan jagung muda.

Sambil menikmati makannya, ia melihat kumpulan foto-fotonya dengan keempat sahabatnya. Tidak terasa bertahun-tahun lamanya, telah mereka lalui dengan bersama-sama.

Susah senang dilalui bersama. Dan ketika mereka ketahuan bolos pun, mereka harus menerima hukuman membersihkan toilet sekolah dengan bersama pula.

"Mbak, dipanggil ibu tuh. Suruh bantuin di warung..!"

Eka menyudahi makannya. Meneguk segelas air putih dengan cepat. Dan segera kembali menuju warung ibunya.

Syukurlah ternyata sudah sore begini, masih banyak yang beli.

"Bu, saya gado-gadonya tiga. Yang pake lontong pedes banget satu. Terus satu lagi gak usah pake lontong dan gak pedes. Satu lagi, pedes sedang sama gak pake tahu tempe."

Saking kualahannya, Eka pun sampai harus membantu mengulek bumbu kacang dan meramu ramuan gado-gado yang sama persis dengan yang dibuat ibunya.

Namun perhatian ibu dan anak itu, seketika teralih pada sebuah mini bus yang berhenti persis di depan rumah mereka.

"Ibu Sri?" Salah seorang dari dua pria itu, bertanya dengan agak ragu.

"Saya sendiri."

"Saya Ahmad dari BPR Jabar. Bisa kita bicara sebentar?"

"Ka, tolong kau layani sebentar. Tinggal dua orang lagi kok."

"Iya, Bu."

Eka sudah bisa menebak apa tujuan kedua pria itu mendatangi rumahnya sore ini. Pastinya mereka akan menagih uang yang dulu dipinjam untuk berobat almarhum ayahnya. Dan juga sebagai modal membuat usaha kecil-kecilan warung gado-gado ini.

Akhirnya semua pekerjaannya selesak juga. Kini ia tinggal beres-beres dan menutup warung.

"Permisi nak, boleh Nenek minta segelas air untuk minum?"

Tanpa mengatakan apa-apa, Eka langsung menuangkan air dalam ceret ke dalam gelas plastik tinggi. Dan memberikannya kepada nenek tua itu.

Eka memperhatikan penampilan lusuh nenek tua itu. Jika selama ini ia berfikir kalau ia adalah orang paling miskin dan tidak beruntung di dunia ini, tapi ternyata masih ada orang lain yang nasibnya lebih mengenaskan darinya.

"Nak, nenek cuma punya uang tiga ribu. Apa nenek boleh minta sedikit nasi dan sayuran?"

"Sebentar ya, Nek.."

Eka kembali masuk ke dalam warungnya. Untungnya masih ada sedikit sisa sayuran dan bumbu kacang di warungnya.

Dengan semangat, ia membikinkan satu porsi gado-gado lontong untuk nenek tua itu. Dan disaat ia tengah berpikiran untuk tetap menolong, meskipun keadaan keluarganya sendiri sedang sulit, sebuah kenyataan pahit harus diterimanya.

"Jika ibu tidak bisa melunasinya dalam jangka waktu sebulan, maka dengan terpaksa, rumah ini akan kami sita. Permisi."

"Dua bulan, Pak. Saya mohon keringanannya. Saya akan mencari uangnya."

"Maaf sekali, Bu Sri. Kami hanya menjalankan perintah dari pusat. Permisi."

Eka melihat gurat kesedihan tergambar jelas di wajah ibunya yang makin menua itu. Namun ia tak berusaha untuk mengejar ibunya, dan bertanya lebih jauh mengenai masalah ini.

"Silahkan dimakan ya, Nek."

"Terima kasih ya nak, kau memang baik sekali."

Eka kembali ke dalam warung. Ia mencicil dengan membawa beberapa perabotan kotor, ke dalam rumahnya. Saat di dapur, ia mendapati ibunya sedang menangis seorang diri.

Eka pun kembali keluar. Namun saat di ruang tengah, ia menegur kedua adiknya itu. Agar mereka segera mandi dan belajar. Dan tidak menonton tv terus-terusan.

Ia sudah kembali ke warung ibunya. Namun ia mendapati nenek tua itu sama sekali tidak menyentuh makanan yang telah sengaja ia buat itu.

"Kenapa gak dimakan, Nek?"

"Sebetulnya tujuanku kesini, bukan untuk meminta belas kasihan darimu, Nak..." Ucap nenek tua itu lirih. Dan hanya sekejapan mata, penampilan nenek tua itu sudah berubah seluruhnya.

"Nenek...!!?" Eka antara takut, cemas dan penasaran. "Nenek siapa?!"

"Kedatanganku kesini hanya ingin menyampaikan, bahwa hari pertemuan itu semakin dekat. Bersabarlah sebentar lagi, Eka..."

"Nenek tahu namaku?!!"

"Aku bukanlah Tuhan. Dan aku juga bukan malaikat. Namun aku hanya ditugaskan untuk selalu melindunginya."

"Nenek..."

"Hapuslah kesedihanmu itu. Dan lihatlah keajaiban apa yang akan ia bawa untukmu dan keluargamu itu." Si nenek tua mengetukkan sekali tongkat kayunya ke tanah.

"Eka, satu yang perlu kau ingat --- jika ia telah pergi menjauh, maka jangan pernah kalian berharap untuk bisa menemuinya kembali."

Karena demi tuhan, perpisahan itu amatlah pahit rasanya..."

Eka cuma bisa berdiri mematung. Memandang si nenek tua itu yang ternyata berjalan dengan tidak menapak tanah. Melainkan melayang.

"Sampai jumpa, Eka. Semoga waktu masih mengizinkan kita untuk bertemu kembali."

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang