Tujuh.Dua

589 89 2
                                    

Selain kanker darah, hasil laboratorium menunjukkan adanya sebuah tumor di dalam otak Doni. Berita ini tentu saja membuat syok Nenek Yuyu dan Dani. Bagi kedua orang awam itu, siapapun orang yang terkena kanker, pastilah tidak akan bisa selamat dari yang namanya kematian.

Dokter mengatakan bahwa kemungkinan untuk bisa sembuh itu akan selalu ada. Namun Nenek Yuyu sadar diri dengan keadaannya. Ia tidak akan mampu membayar segala pengobatan cucunya itu. Hingga yang dilakukannya kini adalah terus berdoa, berharap bahwa Allah bisa mengangkat penyakit itu.

"Nenek..." Nata mendekati Nenek Yuyu dan Dani. Sejak mereka tiba di rumah sakit ini, keduanya tak banyak bicara. Nata paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh kedua orang itu.

Kehilangan seseorang yang amat dicintai, tentulah sangat pahit dan menyakitkan rasanya.

"Aku akan membawa Doni ke Singapura ya.., itupun jika kalian mengizinkan.."

Kedua orang itu sontak terbelalak mendengarnya. Pun begitu juga dengan Doni yang seketika membukan kedua matanya.

Nata beralih ke sisi Doni. "Doni harus kuat ya. Doni pokoknya harus sembuh. Supaya Doni bisa terus bersama-sama dengan Nenek Yuyu dan Aa Dani."

Doni menitikkan air mata. "Doni akan bertahan, Kak Nata.."

Nata mencium kepala Doni. "Rencananya, besok siang Doni akan dibawa ke Singapura. Apa Nenek Yuyu dan Dani mau ikut juga?"

"Nak Nata..." Nenek Yuyu tak bisa membendung air matanya. "Kenapa Nak Nata begitu baik sekali sama Nenek.. "

Nata mengusap air mata wanita tua renta itu. "Uang dan harta yang kumiliki ini, hanyalah titipan dari Allah. Dan melalui diriku, Allah memberikan pertolongannya untuk Doni."

"Nak Nata -- semoga Gusti Allah selalu memberi kesehatan, keselamatan, umur panjang, dan rizeki yang melimpah.."

"Aamiin."

Doni dibawa oleh orang-orangnya Nata keesokkan siang. Nenek Yuyu dan Dani mengantar hingga sampai bandara. Terlihat sekali Doni yang seolah tak mau berpisah dari kedua anggota keluarganya yang tersisa itu.

"Hhahh.." Nata menghela nafas panjang.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Sandra.

"Itulah salah satu alasan terkuatku untuk mendirikan Nata Hospital." Nata sungguh tak akan bisa melupakan peristiwa kemarin. "Seandainya saja tante lihat, saat Doni dibiarkan tergeletak di teras depan l, dengan kondisi dia saat itu yang sedang kejang-kejang."

"Begitulah kehidupan Nata. Kalau kau tidak punya uang, maka jangan harap kau akan dipandang oleh orang lain."

Sebenarnya bukan hanya di Indonesia saja Nata mengalami perlakuan seperti demikian. Bahkan di negara maju sekalipun, masih saja ada segelintir orang-orang yang menilai orang lain hanya melalui penampilan fisiknya saja.

Kini Nata memboyong Nenek Yuyu dan Dani ke rumahnya. Nenek Yuyu bercerita bahwa rumah yang mereka tinggali itu adalah statusnya ngontrak. Begitu juga dengan gerobak nasi gorengnya, yang statusnya adalah sewaan.

"Kalau nanti Nenek sudah tidak berjualan, darimana Nenek bisa makan, Nak Nata?"

Nata melempar senyum. "Nenek itu sudah tua. Bukan waktunya lagi untuk bekerja banting tulang. Sekarang, waktunya untuk nenek senang-senang. Main golf misalnya.."

"Hahaha, Kak Nata aneh-aneh aja! Masa nenek-nenek udah peyot gitu disuruh main golf?!"

Sandra refleks meremas mulut anaknya itu. "Anak gak tahu sopan santun! Kau kira nanti Mami gak akan tua dan keriput juga?!"

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang