Tujuh.Enam

588 84 2
                                    

Rafa diam sejenak saat kakinya baru saja melangkah keluar dari rutan. Matanya manangkap sosok seseorang yang sedang berdiri di dekat sebuah sedan hitam, di jarak sekitar empat ratus meteran darinya.

Bahkan ketika dirinya sudah duduk di dalam sebuah minibus, yang akan membawanya ke sebuah daerah pedesaan -- sosok itu masih aja. Memperhatikannya.

Matanya sekilas bertemu dengan sosok berkacamata hitam dan topi putih dengan ---

Rafa berfikir keras. Ia merasa seperti pernah melihat gambar pada topi putih itu sebelumnya. Hanya saja...

"Pak, apa aku boleh bertanya sesuatu?" Tanyanya pada petugas yang mengantarkannya.

"Tentu saja."

"Hmmm --- apa ayah dan nenek yang melakukan ini semua? Maksudku, apa mereka yang menjamin kebebasanku?"

Petugas itu diam sejenak. Dia membuka kaca jendela mobilnya, dan menyalakan sebatang rokoknya. "Yang pasti, dia itu bukan salah satu dari mereka. Keluarga kau."

Dahi Rafa berkerut. Jika bukan ayah atau neneknya, lantas siapa?

"Sejak hari pertama, sampai hari ini kau dibebaskan -- dia selalu ada memperhatikan kau."

Rafa langsung teringat pada sosok tadi.

"Dia juga yang menyewa beberapa pengacara untuk membebaskan kau."

"Bapak tahu siapa namanya?"

Petugas itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Lalu dia menoleh pada Rafa. "Saya yakin dia tak begitu mirip dengan kau.."

"Maksudnya?"

"Jika dia benar adikmu, tentu saja wajah kalian tidak akan terlalu berbeda sangat jauh.."

"Adik..!!?" Suara Rafa meninggi.

"Kenapa kau terkejut sekali mendengarnya?"

Rafa menutup mulutnya rapat-rapat. Pikirannya jauh melambung kemana-mana. Jika memang benar yang dikatakan petugas itu --- bahwa orang yang membantu kebebasannya itu --- adalah seseorang yang mengaku sebagai adiknya...

Maka orang itu, tidak lain adalah...

"Tapi, bagaimana mungkin...?"

##$##

"Hei, kau ini kenapa?" Tanya Anthony sambil melipat kembali koran yang sedang dibacanya.

Pak Tua James mengulas senyum tipis.

"Bukankah kau sendiri yang bilang, kalau Indonesia adalah negara yang sangat panas dan berpolusi."

"Tuan Anthony.."

"Sudahlah, James. Kalau kau ingin tinggal lebih lama disini, silahkan saja." Anthony pun bangkit dari duduknya. "Tapi aku tidak. Lebih lama disini, akan semakin menambah luka di hatiku ini.."

Anthony Grooberry menarik kopernya pelan. Keputusannya telah bulat. Mungkin hari ini, adalah hari terakhirnya berada di negara ini. Dan hingga dia mati nanti, dia sudah bersumpah, tidak akan pernah kembali lagi kesini.

"Tapi Tuan, perlombaan itu..."

"Persetan dengan perlombaan itu!" Jawab Anthony ketus.

"Apa anda tidak berpamitan dulu dengan Tuan Martin Luther dan Ibu Stevie?"

"James, sekali lagi kau membicarakan masalah itu, jangan salahkan aku jika..."

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang