Dua.Enam

806 93 0
                                    

"Kita sudah sampai, Nyonya.."

Stevie Wallerima terhenyak. Sepasang mata tua berwarna kelabu miliknya itu, menatap pemandangan yang ada di sisi kiri dan hadapannya. Dalam benaknya, tak pernah terpikirkan kalau ia akan menginjakkan kakinya di sekolah yang seperti bangunan tua berhantu ini.

"Silahkan, Nyonya.." Derrian, asisten pribadinya itu, membukakan pintu dan membantu wanita tua yang sudah merawat dan membesarkannya dengan kasih sayang itu.

Stevie Wallerima menghirup nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan. Ia merasakan sebuah aura positif yang mengalir dan menyelimutinya.

Dari jarak beberapa ratus meter, ia mendapati beberapa orang dewasa dan siswa berseragam putih hitam yang seakan sedang bersiap menyambut kedatangannya.

"Selamat pagi Ibu Stevie. Sungguh suatu kehormatan bagi sekolah kami, bisa kedatangan tamu penting seperti anda.."

"Ibu Nuriyanti, anda terlalu berlebihan.." Jawab Stevie Wallerima merendah.

"Selamat pagi, Ibu Stevie..!!"

"Pagi anak-anak..." Dan ia membalas salam para siswa SMK Ellite Rovario dengan hangat dan ramah sekali. Hanya saja sayangnya, ia tak melihat sosok itu ada diantara puluhan siswa yang ada di hadapannya itu.

Bu Nuriyanti pun mengajakan Stevie Wallerima ke dalam ruang guru. Bu Fatma dengan sigap membuat dua cangkir teh manis hangat, dan setoples kue kering yang tadinya dibeli Dafa untuk cemilannya.

"Jadi, dimana anak bermata biru itu?"

Bu Nuriyanti malah melempar tatapannya pada anak-anak muridnya yang sedang berdiri memenuhi depan pintu ruang guru.

"Tadi Dafa sudah datang, Bu. Tapi pergi lagi. Katanya sih mau --" Eka melirik temannya yang lain.

"Mau apa, Eka?" Inu menegaskan agar muridnya itu tak bicara sepotong-potong.

"Dafa tadi bilang mau ke sebelah, Pak Inu. Mau menemui Pak Martin Luther." Sheila akhirnya yang menjawab.

Bu Nuriyanti dan Inu saling bertukar tatapan. Sepertinya mereka berdua tahu apa yang sedang dilakukan oleh anak laki-laki itu di sekolah sebelah.

Berselang 10 menit, Dafa pun kembali menampakkan batang hidungnya. Sambil marah-marah tidak jelas, ia masuk ke ruang guru dan dengan kondisi tali sepatu pantofelnya yang terlepas kemana-mana.

"Aku gak suka dengan kakek-kakek tua menyebalkan itu!"Tukasnya. "Tapi untungnya aku udah berhasil dapetin surat pindahnya.." Sambungnya sambil meletakkan sebuah map ke atas meja.

"Dafa..."

"APAAN!!?" Dafa malah memelotot pada Stevie Wallerima. "Mau ngapain Nenek Stevie pagi-pagi kesini? Mau ngerubuhin sekolah ini juga ya?!"

Semua guru dan teman-temannya tampak terhenyak sekali mendengar perkataan Dafa itu. Mereka takut kalau Stevie Wallerima akan marah apalagi sampai menuntut yang tidak-tidak.

Namun ternyata, Stevie Wallerima malah menanggapinya dengan senyuman tipis di wajahnya itu.

"Dafa tidak boleh ngomong seperti itu sama Ibu Stevie ya.." Kata Bu Nuriyanti mengingatkan.

"Jadi Nenek Stevie kesini mau apa? Enggak tahu apa kalau aku ini sekarang lagi kesal banget sama si kakek yang punya toko roti itu!?"

"Bagaimana kabarmu, Dafa?" Tanya Stevie Wallerima sambil memegang tangan Dafa. Dan lagi-lagi, ada sebuah kehangatan yang menjalar di sekujur tubuhnya saat itu.

"Kan tadi aku sudah bilang, kalau aku ini lagi kesal!"

"Dafa..." Dipandanginya lekat-lekat wajah polos yang selalu menggambarkan semangat dan harapan itu. "Bagaimana persiapanmu dan yang lainnya?"

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang