Tujuh.Satu

624 81 3
                                    

Udara dingin dan basah langsung menyambutnya ketika ia menginjakkan kakinya kembali di Terminal Leuwi Panjang. Dulu -- entah berapa tahun yang lalu, ia ingat saat dirinya dan Kinno pernah juga datang ke tempat ini. Bertualangan dengan menggunakan bis antar kota dan cuma dengan membawa tas ransel biasa.

Namun sayang, kenangan itu malah membuat hatinya terasa sakit. Untuk apa dia terus mengingat-ingat orang itu. Mungkin saja orang itu, juga sudah tidak ingat lagi padanya.

Nata bukan tipe orang ceroboh. Tapi ia sedikit pelupa. Setibanya di Bandung, seharusnya ia langsung beli makan dan mencari penginapan. Tapi beda ceritanya kalau tas kecil yang berisikan dompet dan tiga handphonennya raib entah kemana.

Di saku celananya cuma tersisa uang empat ribu saja. iPhone 6S plus yang selamat karena ia simpan di saku celana lainnya pun, tak bisa ia gunakan karena baterainya habis.

Malam semakin larut. Udara semakin dingin. Dan jalanan pun semakin sepi. Di zaman seperti, masih adakah orang yang akan berbaik hati padanya..?

Dia duduk di tepian jalan sambil menatap gerobak nasi goreng di seberang sana. Ada seorang nenek dan pemuda yang sedang melayani dua pembeli. Tumisan harum bumbunya, bisa ia rasakan hingga membuat perutnya makin bergemuruh.

Setengah jam berlalu. Nata masih saja duduk dan entah akan melakukan apa. Dia melihat jam tangannya. Sudah hampir lewat tengah malam. Pantas saja udara makin dingin dan sepi.

Nata bangkit dan menyeberang jalan. Dia tahu yang akan dilakukannya adalah suatu hal yang sangat memalukan. Tapi kan, tidak ada salahnya juga untuk mencoba.

"Permisi.."

"Hapunten A, sudah tutup." Kata si pemuda itu sopan.

Nata melirik pada tempat nasi yang ditutupi lap merah itu. Dia lihat masih ada banyak nasi yang di dalam wadah itu. Tapi ya, dia tidak bisa memaksa. Mungkin malam ini, dia akan cari masjid atau terpaksa tidur di terminal saja.

Nata menyeberang kembali. Dengan uang empat ribu, sepertinya masih cukup untuk membeli gorengan dan air mineral gelas.

"Aa, maaf..!!"

Nata yang sudah sampai di posisinya semula, lantas menatap pemuda penjual nasi goreng itu.

"Nasi gorengnya pedas atau tidak?" Tanya si pemuda dengan logat sundanya yang kental.

Nata agak ragu untuk menjawabnya. "Bagaimana ya...?"

"Sudah, hayu atuh ikut.."

Nata pun mengikuti pemuda itu. Dia bimbang dan malu. Tapi yahh, mungkin dia akan jujur dan berterus terang aja.

"Silahkan duduk, kasep.." kata si nenek tua itu sambil menuangkan teh ke dalam gelas dan menyodorkannya pada Nata.

"Begini nek -- itu -- gimana ya --" Nata garuk-garuk kepala. "Aku sebetulnya gak punya uang.." Nata menelan ludah. Dia sudah bisa menebak pasti reaksi kedua orang itu akan seperti itu. Syok dan kaget. "Tapi aku punya uang empat ribu sama jam tangan ini. Ini jam tangan asli kok. Aku gak bohong."

"Sudah, duduk saja dulu.." Nenek tua itu malah memaksa Nata untuk duduk. "Buatkan ya Dan.."

"Iya, nek.."

Nata duduk dengan sungkan. Ia langsung meneguk segelas teh tawar hangat itu sampai habis. Si nenek tersenyum lalu mengisi penuh kembali gelas itu.

"Di Bandung ada saudara, nak?"

Nata menggeleng. "Aku cuma mau jalan-jalan aja, nek. Soalnya udah lama juga aku gak kesini."

"Tas kamu bisa hilang, dijambret?"

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang