Tujuh.Delapan

635 88 4
                                    

Kinno menelan ludah. Pil pahit ternyata harus ditelannya. Ia harus bisa puas dan menerima, SMK Ellite Rovario berada di posisi kedua. Memaksanya, menyerahkan gelar juara bertahan selama bertahun-tahun kepada rival utamanya. Nata Institute.

"Anak-anak, mau kalian juara dua--tiga-- atau tidak juara sekalipun, Ibu dan para guru akan tetap bangga kepada kalian semua.." Bu Nuriyanti membesarkan hati murid-muridnya itu.

"Mereka itu hebat dan sangat luar biasa. Ternyata, kita ini tidak ada apa-apanya.." Ujar seorang siswa SMK Ellite Rovario dengan kepala setengah tertunduk.

"Kalah menang dalam sebuah perlombaan itu adalah hal biasa. Yang terpenting adalah kalian sudah mengerahkan semua kemampuan terbaik yang kalian miliki." Bahkan Martin Luther sendiri pun sudah bisa menerima hasil ini dengan jiwa besar.

"Hei, apa puluhan piala masih kurang untukmu?" Julian merangkul Kinno.

"Tahu nih si Kinno. Juara kedua juga gak buruk-buruk amat kan?" Eka memainkan alisnya. "Lagian, miniatur Candi Borobudur buatan mereka itu benar-benar hebat!"

"Iya, aku juga gak nyangka banget deh kalau mereka akan membuat maha karya semegah itu.." Tita menimpali.

Saat mereka sedang berjalan menuju keluar pintu stadion, beberapa siswa dari sekolah lain tampak menghadang. Dan itu sungguh mengejutkan Kinno dan yang lainnya.

"Maaf, kalau kami menghambat kalian." Ujar seorang siswa tersebut dengan lemah lembut dan penuh sopan santun. "Kami cuma ingin memberikan piala dan piagam kemenangan ini untuk Kak Kinno."

Mendengar namanya disebut, Kinno lantas naik pitam. Ia merasa seperti diejek dan direndahkan di hadapan orang banyak.

"Pergilah! Aku muak melihat wajah kalian!" Kinno malah membentak.

"Kak Nata sendiri yang meminta kami untuk ---"

"PERGI KALIAN, BANGSAT!!"

"Tapi -- ini semua memang atas kemauan Kak Nata sendiri.." Seorang siswa lainnya maju. Siswa itu pun mengedarkan pandangannya. Setelah mendapatkan sosok yang dicarinya itu, ia lantas mengulas senyum penuh kegetiran di wajah manisnya. "Abang.."

Julian bagai disambar petir. Dia langsung teringat akan dua sosok yang sempat menghilang dari kehidupannya.

"Bayu.."

"Bayu?!! Dia Bayu adiknya Julian kan?!!" Eka memekik.

Julian merangsek ke barisan terdepan. "Bayu -- nenek --" Mata pemuda itu berkaca-kaca. "Bayu..!!" Dalam gerakkan berikutnya ia langsung menarik dan memeluk remaja itu. "Kemana aja kau selama ini, Bay?!!"

"Abang yang kemana saja? Apa Abang tahu, selama ini Bayu dan nenek terus mencari Abang."

"Nenek!! Nenek dimana, Bay?!! Nenek sehat-sehat aja kan?!"

Bayu melepaskan diri dari pelukkan abangnya itu.

"Bayu, kamu kok pakai baju ---"

Bayu melempar senyum simpul pada Sheila. "Kak Nata yang menolong Bayu dan nenek.."

"Nata!!" Julian dan keempat sahabatnya memekik.

"Jadi, selama ini kalian tinggal dengan Nata?!" Julian mencengkeram erat kedua lengan adiknya itu.

Bayu mengangguk pelan.

"Nenek gimana, Bay?! Apa nenek masih --"

"Nenek sudah meninggal, bang." Jawab Bayu serak.

"Meninggal?!!" Julian merasa seperti ditimpa meteor dengan berat ribuan ton. "Nenek sudah meninggal?!!"

Lagi. Bayu mengangguk pelan. "Nenek meninggal ketika sedang ibadah umroh, bang.."

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang