"Dafa, apa kau mau menuliskan jawabannya di depan?" Bu Fatma terus berusaha membuat anak muridnya itu agar tidak terus-terusan melamun.
Dafa mengerjap memperhatikan papan tulis di depan sana. Ia seperti kelihatan bingung sekali.
"Ayo Dafa, teman-temanmu ingin segera mengetahui jawabannya." Bu Fatma sendiri pun sebenarnya agak kasihan melihat Dafa yang tadinya sangat ceria, kini menjadi sangat pendiam dan pemurung sekali.
"Ayo dong, Fa. Kita semua kan penasaran dengan resep dimsum buatanmu itu.."
Senyum Dafa tiba-tiba mengembang. "Oke, Eka!!" Katanya riang.
Dia pun maju ke depan. Meraih spidol. Dan mulai menggambar.
Raut wajah Bu Fatma dan teman-temannya yang tadinya sudah agak cerah ceria, kini mendadak murung kembali.
Dafa berbalik menghadap teman-temannya. "Ini adalah makam ayah. Dan dua makam di sebelah kiri ini adalah makam Kak Sam dan Mas Rafa.."
"Dafa..." Bu Fatma sampai harus menutup mulut karena keterkejutannya itu.
"Nah, nanti nih --- aku akan dikuburkan di sebelah sini. Emang sih agak jauh. Soalnya aku gak mau deketan sama ayah. Hhhihii.." Dafa mengikik pelan.
Eka mengangkat tangan kanannya. "Dafa, kami ingin mendengar resep baru darimu. Bukannya ---"
"Eka..!" Julian mendesis dari belakangnya.
Dafa kini diam mematung. Matanya membulat penuh. Memperhatikan satu persatu teman-temannya.
"Resep apa ya..?"
"Tidak apa-apa, Dafa. Sekarang kau boleh duduk kembali." Ucap Bu Fatma lemah lembut.
Dafa menolak. Ia masih tetap ingin berdiri di depan kelas rupanya.
"Aku tidak tahu resep apa..."
"Dafa.."
Wajah Dafa menegang. "Aku tidak tahu! Bagaimana ini?!! Bagaimana kalau bunda tahu dan nanti aku dihukum?!!"
Dan detik berikutnya tangis Dafa pun pecah. Tangisannya itu kencang sekali, sampai-sampai kelas lain ikut mendengarnya.
Inu datang dengan tergopoh. Ia langsung memeluk Dafa seraya menenangkannya.
"Tidak ada yang perlu kau cemaskan, Dafa. Tenanglah. Karena saya akan selalu melindungi."
"Sakit, Pak Inu!!!" Dafa memperlihatkan jari tangannya. "Rasanya sakit sekali..!!"
Inu meniup pelan jemari tangan Dafa. "Sudah ya.. Dafa kan anak yang kuat dan hebat.."
Dafa mengangguk. Ia mengelap air mata dan ingusnya dengan dasi merah yang dikenakan Inu.
"Waktu itu nenek pernah menenggelamkan kepalaku di bak mandi, Pak Inu. Terus Mas Rafa juga pernah pukul aku pakai besi. Rasanya sakit memang. Tapi untungnya aku tidak sampai mati..."
Inu membelai lembut kepala Dafa. Hati mana yang tidak terpukul melihat perubahan Dafa yang sangat drastis itu.
"Saya sudah menghubungi Ibu Anggita. Beliau akan segera datang menjemput."
"Gendong...!! Aku mau digendong Pak Inu..!!"
Inu setengah berlutut. Lalu ia membiarkan Dafa menaiki punggungnya. Dan bahkan menggigit telinganya.
"Cepat ya, Pak Inu. Soalnya aku sama teman-teman kan mau berlomba memasak. Kalau aku terlambat, nanti aku dijadikan kayu bakar lagi. Hhhihii.."
Hari berganti minggu. Dan Minggu pun berganti bulan. Dan kondisi Dafa bukannya semakin membaik, malah semakin memburuk.
Sering kali tiap malam dia tiba-tiba menangis, menjerit ketakutan, dan juga tertawa tanpa sebab.
Anggita Suryatama sudah mencoba membawanya ke berbagai psikiater dan dokter kejiwaan. Namun semua hasilnya itu sia-sia saja.
Dafa kian depresi dan tertekan dengan masalah kehidupannya. Tiap kali ia melihat wajah orang lain, disaat itulah ketakutan menyelimutinya.
Sungguh tidak pernah ada yang menyangka, kalau Dafa yang tadinya selalu ceria, penuh semangat, polos, dan selalu menebarkan semangat dan harapan positif pada teman-temannya, kini harus menjadi seperti orang yang sudah kehilangan akal sehatnya.
Mereka semua tentu terpukul dengan kondisi Dafa yang kian memperihatinkan. Dan bahkan yang lebih parah adalah, Dafa kini sama sekali tak mengenali satu pun dari orang-orang terdekatnya itu.
Ditengah-tengah situasi ini, Anindita malah menyalahkan mantan mertua dan suaminya.
"INI SEMUA KARENA ANDA! KALAU SAJA ANDA TIDAK BERNIAT UNTUK MENYATUKAN KEDUA SEKOLAH, TENTU SAJA DAFA TIDAK AKAN MENJADI SEPERTI SEKARANG INI..!"
Alhasil, Anggita Suryatama dan beberapa pihak lainnya pun sepakat untuk menunda menyatukan kedua sekolah yang kini tengah bersinar terang itu. Dengan harapan bahwa dengan melakukan ini, kondisi Dafa akan sedikit membaik.
Tapi nyatanya...?
Dafa tak menunjukkan sebuah kemajuan apapun.
Stevie Wallerima, yang merasa bahwa Dafa adalah sebagai malaikat penyelamat dalam hidupnya, merasa sangat amat terpukul.
Sosok anak laki-laki yang telah memberikan semangat baru dalam kehidupannya itu, kini harus berubah total menjadi sosok lain, yang sama sekali tak dikenalnya.
Pun begitu dengan Eka, Tita, Sheila, Gabriel, dan Julian. Kelimanya kini seolah tak bisa melakukan apapun tanpa kehadiran teman -- sahabat -- keluarga mereka itu.
Kehilangan satu orang seperti Dafa, rasanga bagai kehilangan sepuluh pilar penopang sekaligus dalam sebuah bangunan.
Hingga menjadikan pondasi kokoh itu, menjadi sangat rapuh, walau hanya dengan sekali tiupang angin kecil saja.
Dafa -- kini nama itu selalu mereka sebut sesaat sebelum pelajaran dimulai.
Para siswa -- dan juga guru SMK Ellite Rovario, mendoakan untuk kesembuhannya.
Nenek tua itu berdiri di tengah-tengah lapangan di SMK Ellite Rovario, pada Jumat pagi yang cerah.
Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut sekolah itu. Lalu dia meniup pelan ke arah barat dan timur. Sementara itu kedua kucing persianya, tampak duduk melingkar di dekat kakinya dengan wajah sedih dan lesu.
'Langit, udara, air, pepohonan, bebatuan, aku, dan kalian semua -- tidak ada yang bisa membantah sang waktu.
Kenapa kau harus ada, jika kehadiranmu malah akan membuat semuanya tersiksa?!!'
Nenek tua itu mengetukkan tongkat kayunya sekali -- dua kali -- tiga kali -- dan bahkan hingga berkali-kali, tanpa patah semangat sedikitpun.
Air matanya sudah jatuh berderai. Namun ia akan terus mencoba, untuk menghentikan sang waktu.
Mencoba melawan takdir Yang Kuasa.
Memutarbalikkan semua kehidupan yang ada.
Nenek tua itu sampai terjatuh. Tubuhnya bergemetar hebat. Dan seketika itu, cahaya mentari pagi yang hangat, mendadak sirna.
"Aku tidak bisa melakukannya!! Kenapa aku tidak bisa melakukannya...?!! Ya Tuhanku -- kenapa Engkau harus menghadirkannya di dunia ini -- jika hanya ingin membuatnya menderita?!!"
#####
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing
Mystery / ThrillerApa kalian pernah merasakan bagaimana rasanya terkurung di dalam rumah sendiri selama 10 tahun lamanya? Tanpa pernah melihat matahari, langit biru, gumpalan awan, rintik hujan, kilatan petir, dan tanah yang berlumpur... Tapi tunggulah ketika ia sud...