Tiga.Empat

740 86 0
                                    

Inu duduk dengan perasaan cemas. Beberapa malam ini tidurnya tidaklah bisa nyenyak. Memikirkan akan datangnya hari ini. Hari dimana ia mengambil sebuah keputusan besar, yang mungkin akan mengubah seluruh kehidupannya.

Dalam setiap sujudnya, ia selalu memohon pada yang maha kuasa, untuk diberikan petunjuk.

Apakah ia harus melakukannya --- atau tidak...

"Hasilnya positif." Kata pria berkacamata dengan jubah putihnya itu.

Inu lega sekaligus takut. Sekilas ia melirik pada tiga orang yang ada di sebelahnya. Mendapati ketiga orang kaya itu memasang wajah sumringah, dan tak henti-hentinya mengucao kata syukur atas jalan keluar yang diberikan oleh Tuhan.

"Jadi, kapan cucuku bisa menjalani operasi transpaltasi ginjal itu, Dok?"

"Tergantung dengan kondisi Rafa sendiri, Bu Anggita." Jawab si dokter. "Jika kondisi Rafa terus membaik, maka operasi bisa dilangsungkan dalam waktu dekat."

"Bagaimana dengan kau, Pak Inu?"

Inu menelan ludah. Ia tak punya cukup keberanian untuk menatap mata wanita tua pemilik kerajaan bisnis properti yang kini namanya tengah naik daun itu.

"Sa -- saya, siap kapan saja..."

Saat Inu keluar dari ruangan dokter itu, kembali ketiga orang itu menghadang lajunya, dan mengajaknya untuk sekedar mengobrol bersama di cafetaria rumah sakit.

"Terima kasih, Pak Inu. Terima kasih karena telah bersedia menyelamatkan nyawa cucu saya..."

"Saya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Anggita dan Pak Ardiansyah."

Ardiansyah menyodorkan sebuah amplop putih yang baru saja diberikan oleh Trinity.

"Anggap saja ini untuk uang mukanya.." Kata Ardiansyah.

"Tapi, Pak Ardiansyah.."

"Ambilah, Pak Inu. Siapa tahu Pak Inu punya kebutuhan lain yang mendesak." Tukas Anggita Suryatama.   "Untuknya sisanya, nanti akan saya bayarkan setelah operasinya selesai."

Inu membuka amplop putih itu dengan tangan gemetaran. Matanya sontak terbelalak saat melihat nominal yang tertulis pada selembar kertas cek itu.

Baru sekali ini dia melihat jumlah uang sebegitu banyak. Hanya dengan uang muka ini, ia tidak hanya bisa merenovasi rumah bapaknya di kampung. Bahkan membelikan sebuah rumah baru, dan memberangkatkannya umroh pun bisa dilakukannya.

"Pak Inu.."

Bola mata Inu bergerak menatap wanita tua di hadapannya.

"Sudah berapa lama Pak Inu mengenalnya?"

Dahi Inu berkerut. Ia tak paham dengan pertanyaan Anggita Suryatama.

"Maaf, saya ---"

"Dafa.." Ardiansyah memotong. "Kelihatannya anda dan Dafa terlihat sangat akrab dan dekat sekali.."

"Dafa itu adalah salah satu murid saya. Dan dia ---"

"Terima kasih karena Pak Inu telah menjaga cucu saya.."

Mata Inu membulat penuh. Otaknya seolah kembali memutar berulang-ulang kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Anggita Suryatama.

"Cu --- cu...?" Wajah Inu berubah pucat pasi.

"Benar sekali, Pak Inu. Dafa Ardiansyah itu adalah cucu saya."

Bola mata Inu bergulir pelan ke arah pria yang duduk di sebelah si wanita tua itu.

"Benar, Pak Inu. Anak yang saat ini tinggal dengan anda itu, adalah anak saya.."

'Pak Inu, ini makamnya ayah, Kak Sam, sama Mas Rafa. Mereka neninggal kecelakaan mobil. Kata Bunda mereka dilindes sama buldozer...'

"Ta -- ta -- pi.."

Anggita Suryatama meraih tangan Inu. Ia sudah bisa menebak kalau Inu pasti akan bereaksi seperti sekarang.

"Tolong rahasiakan pertemuan ini, Pak Inu.."

"Rahasiakan?!!" Suara Inu sedikit menghentak.

"Bagaimanapun juga, Dafa tidak boleh sampai tahu."

Inu menelan ludah. Ia menarik tangannya dari tangan wanita tua itu.

"Tapi Pak Inu tidak usah khawatir, jika waktunya sudah tepat, maka Ardiansyah akan kembali menemuinya.."

"Saya yakin dan percaya, kalau anda ini adalah orang yang bisa memegang janji." Tukas Ardiansyah. "Jadi, saya mohon kerja samanya."

"Pak Inu --- tolong katakan saja pada saya, kalau-kalau Dafa membutuhkan sesuatu. Sebab saya tahu, bundanya saat ini benar-benar sedang melupakannya..."

Beberapa puluh meter dari meja mereka, sesosok nenek tua sedang duduk menikmati secangkir kopi hitam dengan madunya.

Lalu nenek tua itu memandangi keempat orang itu dengan tatapan putus asa.

'Meooowww...!!'

Nenek tua itu menunduk. Memperhatikan kedua kucing persia berbulu cokelat keemasan yang sedang mengeong keras di kakinya.

"Aku tahu --- tapi tidak ada yang bisa kulakukan saat ini."

Kembali ia menatap keempat orang itu yang kini sedang berjalan ke arahnya.

"Seharusnya pertemuan ini tidak boleh terjadi... Ya Tuhanku --- bisakah Engkau menunda kedatangan awan gelap itu sebentar lagi saja..?"

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang