Enam.Delapan

645 89 2
                                    

Anggita Suryatama duduk termenung dekat jendela kamarnya. Empat tahun berlalu sudah cucunya itu menghilang tanpa pernah diketahui keberadaannya. Sedih dan luka itu masih tetap akan ia rasakan sampai ajal menjemputnya.

"Ibu Anggita.." Trinity memanggil sepelan mungkin. Takut kalau wanita tua itu akan terkejut nantinya.

Anggita menoleh. Wajahnya sedih dan sendu sekali. "Apa anak-anak itu sudah datang?"

Trinity mengangguk. Ia membetulkan kerudung putih Anggita Suryatama. "Kita turun sekarang?" Yang ditanya pun cuma memberi sebuah anggukkan lemah.

Disaat-saat seperti inilah luka dan rasa sakit itu akan kembali menguasai dirinya. Ia tidak tahu lagi harus berbohong sampai kapan kepada anak-anak panti itu.

'Ya Allah Rabbi, berilah hamba kekuatan untuk menghadapi mereka. Jangan biarkan air mataku menetes sore ini. Kuatkan dan tegarkanlah hamba..'

Anggita Suryatama pun sampai di teras belakang rumahnya. Dia melihat di halaman belakang rumahnya itu sudah ramai sekali oleh anak-anak panti, keluarga, dan juga beberapa kerabat terdekatnya seperti Stevie Wallerima dan Anthony.

"Bagaimana kabarmu, Anggita..?" Tanya Stevie Wallerima sambil memeluk sahabatnya itu.

"Seperti beginilah keadaanku.."

Meski Stevie Wallerima, Anthony Grooberry dan Martin Luther beragama kristen, namun mereka tetap hadir pada acara buka puasa bersama sore ini di kediaman Anggita Suryatama.

Mereka bukan memandang status sosial Anggita Suryatama yang merupakan pengusaha terkaya nomer satu di negeri ini.

Tapi mereka semua hadir sore ini -- dipersatukan oleh satu sosok. Sosok yang tak akan mungkin tergantikan. Dan tak akan mungkin bisa mereka lupakan.

Dafa.

"Nenek Anggita..!!"

Anggita Suryatama melempar senyum pada kelima sahabat yang kini telah tumbuh menjadi sosok yang hampir saja tak bisa dikenalinya.

"Nenek Anggita apa kabarnya?" Tanya Sheila sambil mencium tangan dan pipi wanita tua itu.

"Nenek..." Eka pun melakukan hal yang sama. Lalu bergantian dengan ketiga sahabatnya yang lain.

"Kalian..." Mata Anggita Suryatama berkaca-kaca. Ia membayangkan seandainya saja Dafa masih ada di tengah-tengah mereka, sudah pasti ia bisa melihat Dafa tumbuh berkembang menjadi seorang pemuda berwajah tampan dan gagah.

Tak cuma kelima sahabat itu saja yang tampak hadir dalam acara buka puasa bersama pada Jumat sore ini, melainkan ada beberapa staff pengajar SMK Ellite Rovario yang turut meramaikan suasana.

"Nenek Anggita, Kak Dafanya mana?" Tanya Anak laki-laki kurus itu.

Saat yang paling tidak diinginkan itupun akhirnya tiba juga. Satu persatu anak-anak panti itu mulai mendatangi dan mengerubunginya.

"Kak Dafa sudah sembuh kan, nek?" Tanya Aisyah.

"Terus, sekarang Kak Dafanya dimana?" Adit menimpali.

"Anak-anak..." Suara Anggita Suryatama terdengar bergetar.

"Anak-anak Kak Dafanya masih belum sembuh, jadi dokter masih harus merawatnya.." Bu Nuriyanti mengambil alih. "Maafkan saya, Ibu Anggita.." Bisiknya pada wanita tua itu.

"Sebetulnya Kak Dafa tidak sakit kan?" Puteri maju ke depan. Kalimatnya itu sungguh menyentak semua orang di dekatnya. "Kak Dafa pasti marah dan tidak mau bertemu lagi dengan kami.."

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang