Empat.Tiga

648 96 1
                                    

"Kau mau pergi kemana, Dafa?!"

Dafa menepis tangan Inu. Tapi sayang, cengkeraman Inu malah semakin kuat.

"Saya tidak akan mengizinkanmu pergi!"

Dafa tak kehabisan akal. Ia menggigit tangan Inu keras sekali.

Perih dan sakit yang dirasakan Inu. Tapi dia tak merasa kalau gigitan ini tak seberapa perih dan sakit, seperti apa yang dirasakan anak muridnya itu.

Dafa melepaskan gigitannya. Ia menangis namun tak bersuara. Inu pun langsung mendekapnya.

Inu sendiri merasa telah sangat bersalah karena telah membohongi Dafa selama ini.

"Saya juga salah, Dafa. Saya minta maaf..." Suara Inu terdengar serak dan kaku.

Dafa tak merespon. Kenyataan pahit ini harus diterimanya. Dan sesungguhnya ia belum siap untuk menghadapi semuanya.

Saat Inu melepaskan dekapannya, ternyata Dafa sudah tertidur. Wajah anak laki-laki itu terlihat lelah dan pucat sekali.

Sekali lagi, Inu merasa telah menyakiti perasaan Dafa. Dan ia berjanji dalam hati, akan melakukan apa saja untuk bisa menebus kesalahannya itu.

Inu menggendong Dafa ke kamar tidurnya. Menidurkannya di atas kasurnya. Lalu menyelimuti tubuh muridnya itu.

Setelah berbulan-bulan tinggal bersama, mungkin ini adalah kali kedua Dafa tidur di atas kasurnya yang tak seberapa nyaman itu.

Tok.. Tok.. Tok..

Inu bergegas membukakan pintu kosannya. Ia melempar senyum segan pada orang-orang di hadapannya itu.

"Maaf, keadaannya seperti ini.."

Anggita Suryatama agak ragu untuk masuk. Ia benar-benar takut untuk bisa bertemu secara langsung dengan cucunya itu.

"Kenapa ada koper dan tas disini?" Tanya Rafa ringan.

"Itu --"

"Apa cucuku hendak pergi lagi, Pak Inu?" Tanya Anggita Suryatama dengan wajah sedih sekali.

Inu mengangguk lemah.

"Tapi dia tidak pergi kan?!" Ardiansyah menimpali.

"Sekarang Dafa sedang tidur. Kelihatannya dia sangat lelah sekali." Jelas Inu.

Dan untuk pertama kalinya, mereka bisa melihat kembali Dafa dalam jarak yang amat begitu dekat.

"Lihatlah dia, Yah. Bahkan setelah menginjak remaja pun dia masih suka tidur sambil mengemut jempolnya.." Ucap Sam pelan.

Ardiansyah diam mematung. Ingin sekali rasanya bisa memeluk dan menatap langsung mata anak bungsunya itu. Tapi ia sangat takut sekali, kalau-kalau Dafa tidak akan bisa memaafkannya.

"Apa selama ini Dafa tidur disini?" Tanya Rafa curiga. "Berdua dengan Om Inu?"

Inu menggeleng seraya mengulas senyum tipis.

"Selama disini, Dafa tidak pernah mau tidur di kamar ini."

"Lalu dimana cucuku tidur, Pak Inu?"

Inu pun menunjuk pada sebidang ruang kosong di antara rak tv dan sofanya.

"Anda tidak bercanda? Cucuku selama ini tidur cuma beralaskan karpet?"

Inu mengangguk. "Meskipun saya sudah memaksanya untuk bertukar tempat, tapi Dafa tidak pernah mau melakukannya."

Anggita pun duduk pada tempat dimana biasanya Dafa mengistirahatkan tubuhnya. Mengambil bantal putih itu, dan memeluknya erat.

"Dia selalu mengatakan kalau disini ia hanya menumpang dan tidak ingin membuat saya repot."

Perhatian Sam lantas tertuju pada kaleng bekas biskuit yang ada di balik tumpukkan bantal dan selimut.

"Ternyata Dafa kecil itu masih saja suka mengemil ya, Nek.."

"Sebenarnya itu --- isinya bukan biskuit."

"Lantas apa, Om Inu?" Sam mengerutkan dahi. Namun dia lebih dahulu membuka penutup kaleng biskuit itu. "Uang?"

"Itu adalah uangnya, hasil dari berjualan makanan selama ini.."

Anggita Suryatama meraih beberapa lembar uang kertas yang dalam kondisi lusuh itu.

"Ya Allah, Ardiansyah --- dia mengorbankan waktu dan tenaganya cuma untuk mengumpulkan beberapa ribu rupiah ini..?" Air mata Anggita Suryatama tak terbendung lagi.

Tubuh Ardiansyah bergetar hebat. Seolah ia bisa merasakan betapa rasa sakit dan pegal yang mendera tubuh anak bungsunya itu selama ini.

Sementara ia sendiri bisa tidur di atas kasur yang sangat hangat dan nyaman, makan makanan apa saja, dan membeli apa saja dengan pundi-pundi kekayaan keluarganya.

"Jangan pegang uangku!!" Dafa muncul di muka pintu kamar tidur dengan mata memelotot dan berkacak pinggang.

Mereka semua tersentak. Mereka semua terdiam. Dan mereka semua menunggu.

Dafa mendekati Anggita Suryatama. Merebut kaleng uangnya itu.

"Dafa.."

Dafa menepis tangan Anggita Surytama. Lalu ia kembali bangkit. Menatap tajam pada Inu.

"Kalau uangku udah banyak, nanti aku akan bangun rumahku sendiri!! Biar gak ada orang yang bisa masuk seenaknya!"

Brakkk..!!

Dafa kembali masuk ke kamar tidur Inu. Membanting pintu dengan sangat kencang sekali.

"Da --"

"Biarkan saja ia, Pak Inu.." Ucap Anggita Suryatama lemah.

Tak sampai berapa detik, pintu itu kembali membuka. Dafa pun keluar dan langsung masuk ke kamar mandi.

"Kosannya jelek banget. Ke kamar mandi aja harus keluar kamar segala!"

Sam tersenyum saja dari posisinya. Ia menyadari bahwa adik bungsunya itu memang tak akan pernah berubah.

Dafa keluar kembali. Sambil marah-mara tidak jelas tentunya.

"Udah kamarnya sempit. Banyak orang. Emangnya lagi pada rapat!? Bikin gerah aja!"

Brakkk..!!

"Ckckck, Dafa -- Dafa. Dasar anak itu.." Gumam Sam sambil melihat foto Dafa dan Inu yang sedang bermain ke pasar malam. "Sampai kapanpun, kau adalah tetap Dafa adik kecilku..."

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang